Langsung ke konten utama

Melihat Peruntungan Lewat Psikologi Industri


Woks

Aku dapat pelajaran berharga hari ini. Pelajaran tentang sesuatu hal yang besar akan tetapi kita tidak mampu menjalankanya. Ini tentang mancing ikan besar begitu kata temanku. Sehingga hanya pemancing tangguhlah yang dapat melewati semua sungai deras itu.

Sore itu temanku mengajakku berbincang tentang masalah yang tengah ia alami beberapa hari ini. Masalah tersebut berkaitan dengan kerjasama yang sebenarnya masih dalam bentuk lisan. Kerjasama tentang sebuah pekerjaan yang ternyata usaha tersebut adalah pelampiasan dari sebuah kegagalan.

Ia bercerita panjang lebar tentang masalah yang sedang dihadapinya itu. Terutama tentang mitra kerjanya yang berprilaku aneh di mana secara tiba-tiba ia memberikan mandat besarnya kepada temanku itu untuk menjalankan usaha. Ternyata usaha tersebut bukan usaha kecil melainkan usaha besar yang mengalami kolaps di Tanah Abang Jakarta. Lantas ia berinisiatif untuk membawanya ke Tulungagung. Singkat cerita karena rasa iba akhirnya temanku itu mengiyakannya tanpa memikirkan banyak hal. Lantas ia langsung bergegas menghubungi ku untuk membuat surat kuasa. Karena aku tak mampu masalah yang demikian akhirnya aku menghubungi teman-teman yang mengerti tentang perkara hukum. Di sanalah aku bisa bertanya dengan leluasa bagaimana cara menghadapi masalah seperti ini.

Singkat cerita dari proses negosiasi dan pencarian solusi akhirnya banyak hal yang aku catat dari peristiwa ini. Pertama, kita tidak boleh tergesa-gesa dalam mengiyakan kerjasama dengan orang lain. Apalagi orang tersebut baru kita kenal beberapa hari. Kedua, proyek kemitraan bagaimana pun usahanya harus memiliki kejelasan visi, misi, program, metode, dan hal lainya agar kita bisa sama-sama berjalan. Percuma saja bermitra jika ujung-ujungnya ada yang dikecewakan. Ketiga, kita tidak bisa menjalankan usaha orang cuma karena rasa ibu, kasihan, serta masalah psikologi lainya. Sebab jika indikatornya hanya rasa sedangkan kerja tersebut tidak sesuai dengan kemampuan sendiri maka bukanya ia akan jadi peluang malah justru jadi beban sandungan. Keempat, seharusnya kita lihat dengan jernih mana yang menjadi prioritas dan mana yang hanya sebagai kebutuhan sekunder. Dalam masalah ini aku melihat kawanku itu terlalu tergesa-gesa dan akhirnya hal yang pokok justru dikorbankan. Kelima, cobalah berpikir jernih, tenang dan arif. Jangan hanya berpikir tentang keuntungan semata sedangkan banyak hal lain yang terbengkalai karena hal yang belum jelas. Seharusnya carilah kejelasan terlebih dahulu setelah itu baru kita bermitra.

Dari kejadian ini aku juga belajar tentang memahami bahasa tubuh, melihat gerak gerik boss, karyawan serta orang yang terlibat dalam bisnis tersebut dengan pendekatan psikologi industri. Di mana kita bisa menebak sikap dan tindakan apa yang akan diambil oleh si mitra kerja guna menjalankan roda usahanya itu. Apalagi dengan catatan bahwa usaha ini baru saja dipukul secara telak dengan adanya Covid-19. Tidak hanya itu kita juga bisa melihat lebih jauh bahwa pemberian mandat via lisan belum hisa dijadikan standar hukum. Usaha sebesar itu harusnya perlu hitam di atas putih agar jelas legal formalnya. Sehingga jika suatu saat terjadi apa-apa kita bukanlah pihak yang bersengketa.

Terakhir ini yang tak kalah penting yaitu bagaimana menerapkan konsep corporite mystic dalam usaha kita. Anda bisa bayangkan dengan usaha yang belum jelas cara kerjanya kita sudah disibukan dengan berbagai tetek bengek. Lebih parahnya lagi hal-hal yang prinsipil menjadi taruhanya, sholat ditinggalkan, anak istri dinomorduakan, makan menjadi lupa bahkan tidur tidak nyenyak cuma karena berpikir kerja tanpa ada ujungnya. Kita seolah-olah menjadi budak dunia yang apakah mampu menolong kita di akhirat. Sedangkan konsep corporite mystic justru mengajarkan agar berkongsi dengan spiritual. Kita tidak hanya bekerja mencari keuntungan tapi lebih kepada ibadah, taqorrub kepada Allah swt lewat jalan bisnis. Sehingga kecenderungan untuk menipu tidak terjadi kecuali dengan yang dicontohkan Rasulullah untuk selalu jujur, ringan tangan dan saling membantu.

Aku merasa bahwa semua itu perlu ada gurunya sehingga kita tidak terjebak dari persaingan bisnis yang kotor. Kita perlu membangun pondasi berupa mentalitas illahi agar usaha yang dijalankan hanya karena Allah swt semata. Dari sini kita belajar tentang banyak hal dan yang terpenting mampu mengaplikasikannya mulai dari sekarang. Semoga peluang usaha ke depan semakin merata sedangkan tantangan dapat kita lewati dengan baik.

the woks institute l rumah peradaban 7/12/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde