Langsung ke konten utama

Resolusi 2021: Sebuah Angan Kecil Untuk Cita yang Besar

        (doc penulis: Gunung Tampomas)

Woks

Seorang penulis kecil memang punya cara untuk membuat buku catatannya penuh. Salah satunya dengan cara menuliskan resolusi di setiap pergantian tahun. Di sana kita akan melihat kaleidoskop tahun lalu untuk berpacu mewujudkannya di tahun mendatang. Menulis resolusi tak pernah salah. Tulisan itu justru menjadi barometer sebuah angan yang ingin diwujudkan. Walaupun cita-cita tak selamanya mulus setidaknya dengan catatan itu kita tergolong manusia visioner yang punya segenap harapan di tahun mendatang. Minimal buat diri sendiri dan umumnya untuk kebaikan banyak orang. Terwujud atau tidak itu tidak penting, yang penting kita terus mengusahakanya.

Di bidang pendidikan kita selalu berharap bisa terus menimba ilmu sampai kapanpun. Harapan untuk mengenyam bangku pendidikan hingga ke strata yang lebih tinggi adalah sebuah cita-cita. Karena hingga hari ini kita masih meyakini bahwa dengan pendidikanlah jiwa kita bisa tercerahkan. Walaupun harus kita ingat bahwa output dunia pendidikan bukan melulu soal materil tapi lebih kepada cara mengisi jiwa yang kosong. Perlu diingat pula bahwa pendidikan  yang kita pahami secara formal di sana hanya bagian kecil dari memberikan jalan menuju pintu gerbang cita-cita selebihnya adalah upaya gigih individu itu sendiri. Yang tak kalah pentingnya (ini soal gelar akademik) jangan sampai semakin tinggi pendidikan justru membuat kita semakin terasing di kampung halaman. Seharusnya sebaliknya pendidikan merekatkan semua tanpa membedakan mana pembatasnya.

Di bidang ekonomi harapan besarnya tentu ingin hidup yang layak. Kehidupan yang mampu bermanfaat untuk orang lain. Tentunya kita tidak berharap jadi orang kedua justru ingin tampil sebagai seorang inovator yang bisa membuka usaha sendiri. Di sana tentu ada setangkai asa untuk berniat mengembangkan bisnis yang berbasis kemanusiaan. Tapi bagaimanapun akhirnya rezeki sudah ada yang mengatur kita hanya diperintah untuk menjemputnya. Intinya bagaimana caranya kita terus melambungkan syukur. Sebab kehidupan ini indah karena tak lain oleh adanya rasa syukur.

Di bidang agama kita berharap masih terus dapat menimba ilmu, ngangsu kawruh, mengaji dan didekatkan kepada orang-orang arif yang menunjukkan jalan lurusNya. Darisanalah kita bisa terus mempelajari kebenaran agama lewat orang yang tepat. Agama dijiwai menjadi sebuah Inspirasi bukan aspirasi yang paling jauh hanya sebagai baju politik belaka. Memegang erat agama di era ini amatlah sangat penting. Maka saat orang lain terus memburu dunia, mengejar tahta, menjauhkan diri dari agama justru kita harus sebaliknya. Agama menjadi hal yang penting sebab saat ini orang-orang lebih tampak berani dengan persoalan dunia daripada akhirat. Maka tak salah kata pepatah bahwa agama di era modern ini seperti bara api, jika digenggam akan panas jika dilepas akan cilaka.

Dalam bidang sosial tentu kita berharap bisa bermanfaat bagi banyak orang lewat berbagai tangan. Misalnya mendirikan sebuah komunitas baca, sosial kemasyarakatan, peduli yatim, disabilitas dan merangkul mereka yang lemah. Di sana kita punya harapan bisa membantu mereka. Karena jika orang berilmu hanya berpikir perut maka akhirnya akan ke pembuangan. Tapi jika orang berilmu punya semangat untuk berbagi maka mereka akan berakhir ke syurga. Ini adalah bentuk jihad bahwa kita berusaha menjadi manusia bermanfaat yang memanusiakan manusia. Jika bukan karena kita lantas kepada siapa lagi mereka dirawat.

Dalam bidang kebudayaan kita masih terus berjuang, berusaha sekuat mungkin agar kebudayaan warisan nenek moyang tidak punah. Salah satunya dengan cara menuliskanya. Dengan cara sederhana itu setidaknya budaya kita yang kaya ini bisa terdokumentasikan dengan baik. Walaupun disadari bahwa prediksi akan kepunahan sudah di depan mata. Tapi setidaknya kita memiliki upaya preventif lewat tulisan, gagasan, pendidikan dan pengkaderan. Kepada anak-anak dan generasi mudalah kita percaya untuk terus optimis bahwa budaya kita bisa terus lestari.

Dalam bidang literasi semoga di tahun mendatang bisa lebih produktif lagi dalam membaca dan menulis termasuk mengolah informasi. Mampu berbagi dengan siapa saja bahwa dunia literasi sangatlah penting demi mewujudkan masyarakat yang literat. Masyarakat pembelajar dan pastinya bisa menginspirasi orang lain lewat tulisan. Di tahun baru ini harapan besar semoga tetap konsisten dalam berkarya atau sederhananya dapat lebih giat lagi menuliskan segala pengetahuan yang tercecer ini. Dengan demikian kita selalu nampak hidup dan merawat pikiran bahwa dunia ini terlalu indah jika tidak ditulis dalam sebuah catatan kehidupan. Kita berharap akan ada banyak orang yang mengikuti jejak sebagai aktivis literasi.

Sebenarnya masih banyak angan dan cita-cita lainya yang perlu dituliskan di tahun baru ini. Cuma rasanya kurang elok jika hanya berakhir hanya sekedar kata-kata tanpa tindakan nyata. Selain berdoa kita pun berusaha untuk mewujudkanya sedikit demi sedikit agar apa yang bisa ditanam akan dituai. Jika kita banyak menuntut nanti kecewa maka dari itu bersikaplah biasa saja. Mungkin saja kita berpikir jika Tuhan membaca tulisan ini mungkin Dia akan berkata "manusia kok maunya yang enaknya saja, padahal cobaan, rintangan, sakit adalah nikmatku juga. Tujuannya tak lain adalah agar ia lebih dengan denganku, menjadi manusia pilihan yang mu'minin, muhlisin, mutaqqin".

Oh iya sampai lupa satu lagi resolusi yang tak kalah pentinya yaitu dalam bidang asmara, lha di sinilah kita merasa bingung bagaimana cara melukiskanya. Di sini kita hanya bisa berharap yang terbaik. Kita serahkan saja kepada Allah, intinya rabbijalni muqimasholah waminn dzuriyyati rabbana wataqobal du'a. Yang perlu distabilo merah adalah seperti pesan Gus Mus "jangan berkhayal yang sempurna nanti kamu jomblo selamanya".

the woks institute l rumah peradaban 01/01/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde