Langsung ke konten utama

Pendidikan Untuk Orang Tua


Woks

Tulisan ini kaitanya dengan mindset lagi. Pantas saja para motivator lebih laku keras tinimbang para pendakwah yang tiap hari bicara agama. Para motivator sangat tahu bahwa audienya rerata memahami masalah di mana banyak mindset mereka yang perlu dibenahi. Pemahaman keliru memang bisa berpotensi berbahaya

Ambil contoh tentang pendidikan mayoritas orang tua selalu merasa bahwa pendidikan hanya berlaku pada anak. Sehingga saat mereka dewasa mindset keliru itu terus diwariskan. Betapa tidak saat ini belajar hanya dimaknai sebagai pendidikan formal di dalam sekolah, dan kelas. Sehingga saat mereka lulus proses belajar mandeg atau bahkan sesekali mati suri itupun jika ada yang mengingatkan.

Aneh memang jika pendidikan harus berhenti saat orang telah dewasa. Padahal jati diri pendidikan terus dinamis karena sejatinya manusia adalah sang pembelajar. Jika sistem pendidikan yang kita pahami sebagai sekolah formal bisa sangat mungkin berakhir seiring kelulusan atau ijazah. Tapi pendidikan yang belajar kepada alam dan lingkungan akan terus berjalan. Sebab ia tanpa sekat dan tanpa kurikulum semua berjalan dengan kehendak Tuhan.

Selama ini problem peserta didik sebenarnya tidak selamanya dialamatkan kepada mereka. Karena dari sana kita bisa berkaca bahwa salah satu problem pendidikan terletak pada orang tua yang masih selalu menggantungkan keberhasilan pada guru dan sekolah. Walaupun kita sadar bahwa pendidikan terdiri atas yang formal dan non-formal. Tapi yang harus dipahami pula yaitu seperti pendapat Ahmad Bahruddin (Pendiri Komunitas Belajar Qaryah Tayyibah) bahwa kini orang-orang sudah terlanjur menganggap pendidikan adalah sekolah dan obat adalah rumah sakit. Padahal pendidikan bisa dilihat di mana saja termasuk sosial yang ada di masyarakat.

Saat ini perlulah memberi pemahaman lebih jauh kepada orang tua untuk turut mendidik anak-anak mereka dengan baik supaya tidak ada tuntutan lebih kepada guru. Momen pandemi ini sebenarnya waktu yang tepat untuk mengembalikan anak ke rumah. Mereka belajar intensif dengan orang tuanya akan tetapi faktanya justru terbalik. Orang tua seperti tak punya waktu untuk perkembangan anak-anaknya. Lalu lagi-lagi mereka baru menyadari tentang beban berat dalam mendidik.

Pemahaman akan kerjasama atau kolaborasi antara orang tua dan guru sangatlah penting. Karena agar tercipta pemikiran yang sejalan bahwa antara orang tua dan guru punya pernanan dan fungsi yang sama-sama pentingnya. Maka dari itu pendidikan bagi orang tua juga sanga penting digalakan. Caranya dengan memberi pemahaman berupa teks atau seminasi agar mereka terbuka pikiranya. Melihat dunia tidak sebagai aspirasi dan tuntutan tetapi lebih kepada Inspirasi yang dapat membangun kehidupan. Marilah para orang tua teruslah belajar jangan lelah dan teruslah menginspirasi.

the woks institute l rumah peradaban 16/12/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde