Woks
Gus Dur kepada kang Maman Imanulhaq bahwa kita harus menulis karakter para kiai dan momen-momen penting di pesantren seperti haul. Sebab scripta manent verba volant, tulisan itu abadi, sementara lisan cepat berlalu bersama derai angin.
Begitulah salah satu pesan Gus Dur yang selalu saya ingat lewat banyak tulisanya baik di media massa maupun dalam banyak macam judul buku. Tentu kita tahu Gus Dur sebagai orang yang rakus akan bacaan ia juga tak ketinggalan untuk selalu menuliskan apa yang ia dapatkan dari membaca itu. Konon Gus Dur memang sudah berkacamata tebal sejak remaja. KH Bukhori Masyruri sahabat beliau sejak di Tegalrejo sekaligus pencipta lagu Nasyida Ria mengisahkan bahwa bacaan Gus Dur di usia itu sudah bukan kaleng-kaleng. Pada saat itu Gus Dur sudah membaca the Holy Quran, the Satanic Verses karangan Salman Rushdie dan banyak lagi. Mayoritas bacaan tersebut adalah berbahasa asing tentu suatu ketidakumuman bagi santri pada saat itu. Akan tetapi Gus Dur melakukannya dan Tegalrejo lah saksi pergulatan intektualnya.
Selain kutu buku Gus Dur juga dikenal sebagai the Master of Essai, karena banyak tulisan berupa artikel dan essainya tersebar di mana-mana. Muhammad Sobary yang juga budayawan dan sahabat Gus Dur saat di LIPI dan LP3S mengisahkan betapa urakanya Gus Dur dalam menulis. Urakan di sini bermakna gila karena cara beliau menulis tidak seperti orang pada umumnya. Seperti halnya Emha Ainun Najib, Gus Dur juga mampu menulis sesaat ketika meja redaksi membutuhkan tulisanya untuk dimuat besok. Sehingga dalam menulis mereka tidak perlu membutuhkan basa-basi karena saking banyaknya perbendaharaan kata dan pengetahunnya.
Bagi Gus Dur menulis tidak hanya sekadar mencari profit tapi melalui tulisan kita dapat menyimpan gagasan, berbagi pengetahuan, metode kritik dan menjawab isu yang berkembang. Gus Dur memang esais pemberani bahkan ia sering kali terlibat kritik kepada penguasa orde baru. Lewat tulisan-tulisanya Gus Dur tidak bermaksud menyerang melainkan memberi pencerahan agar orang yang berniat berbelok menjadi terarah ke jalan yang benar.
Saat ini kita belajar kepada kertas dan pena Gus Dur bahwa kita harus merawat pikiran dengan cara membaca dan menuliskanya. Hal itulah cara agar kita bisa terus berdiskusi menziarahi pemikiran besar Gus Dur. Kita tahu bahwa Gus Dur adalah santri yang mengamalkan kitab Adabul Alim wal Mutaalim karangan Mbahnya sendiri Kyai Hasyim Asy'ari bahwa pegangan santri adalah kitab dan pena. Kitab berarti pengetahuan dan pena adalah pengikatnya. Begitulah kiranya, saat ini 11 tahun sudah Gus Dur meninggalkan kita semua akan tetapi nama beliau masih harum hingga kini tak lain karena tulisan, pemikiran, gagasan, dan laku hidup beliau masih terus dikaji. Sehingga beliau tak pernah mati. Beliau selalu hidup di ruang hati pecintanya. Saat ini kata Ning Alissa Wahid Gus Dur telah meneladankan dan kitalah yang melanjutkan.
the woks institute l rumah peradaban 29/12/20
Komentar
Posting Komentar