Langsung ke konten utama

Emak Sang Sufi Penyejuk Hati


Woks

Seperti Rendra aku pun memanggilnya Ma, Hai Ma, Mamah dan langsung bertransformasi menjadi emak. Emak atau sebutan apapun itu bagi setiap anak pasti punya kesan mendalam. Sekalipun anak tersebut adalah seorang yang pernah berbuat kriminal, ibu tetaplah ibu. Ia tak akan beranjak sedikit pun hanya demi anaknya. Sampai kapanpun kita juga tetaplah anak dari ibu bahkan seorang Nabi pun adalah anak dari ibu. Maka dari itu dalam sejarah Nabi Isa hanya memiliki Ibu, bukan ayah.

Di hari ibu kali ini izinkan aku tuliskan sebuah kesan tentang emakku. Di mana sesungguhnya hari ibu itu esensinya setiap hari. Maka ibu adalah kisah yang tak akan pernah berhenti ditulis, tak akan usai dibaca. Ibu adalah ruang rindu tempat di manapun anak akan menemuinya. Ia adalah sebuah titik di mana anak-anaknya berporos memintakan rindhonya. Doa seorang ibu sampai hari ini masih dipercaya lebih ampuh daripada 1000 wali Qutub.

Mari kita mulai ceritanya tentang emak. Menurutku seorang Ibu di manapun sama, mereka punya kisah menarik dan pelajaran hidup bersama orang tua perempuannya itu. Aku juga demikian, bagiku emak dan bapak adalah segalanya. Maklum saja mereka memang telah berjasa besar akan perkembangan anaknya hingga kini. Bahkan sampai hari ini aku masih belum bisa membahagiakan mereka. Barangkali membuat mereka tertawa pun aku belum mampu, tapi suatu hari aku yakin akan bisa membuat mereka bahagia walaupun saat ini masih merintis lewat untaian doa.

Emakku termasuk perempuan yang dilahirkan dari rahim orang desa. Selama hidup beliau pernah ke kota hanya satu kali ketika kerja di pabrik dan menjadi asisten rumah tangga. Hingga saat ini beliau tidak pernah ke luar kota dan hanya berdiam di kampung halaman. Barangkali itulah perjalanan beliau yang penuh liku di kota orang hingga akhirnya bertemu dengan bapak lalu menikah dan lahirlah aku.

Perjalanan heroik emak di mulai saat beliau masih anak-anak di mana dulu untuk sekadar ingin makan pun susah. Orang-orang dulu harus bekerja ke sana-kemari demi sesuap nasi begitu pula yang di alami emakku. Saat keinginan beliau sekolah dasar misalnya, beliau harus rela untuk berpanas-panasan bekerja jadi kuli di sawah. Kerja di sawah mulai jadi kuli tandur, kuli ngrambet (menyiangi rumput di antara tanaman), hingga kuli memanen padi dan cabai. Perjalanan jauh, menyusuri hutan dengan jalan yang berbatu harus beliau lalui kadang bersepeda kadang pula jalan kaki. Entah sudah berapa keringat yang beliau curahkan hanya demi sekolah dan bertahan hidup. Bahkan sering pula hasil kerja keras beliau hanya dibayar dengan sepiring nasi.

Zaman saat itu rasanya sesih sekali, penuh dengan derita. Rasanya tiap hari selalu berkawan dengan tangis bahkan harapan untuk bertahan hidup rasanya redup. Jangankan untuk sekolah makanpun susah. Beliau bersekolah jika bukan karena tekad yang membaja mungkin tak akan hisa sampai lulus. Dengan tekad itulah beliau hisa selesaikan semua rintangan itu walaupun seperti seorang diri. Walau hanya lulusan sekolah dasar beliau nampaknya sangat bersyukur, sebab di zaman itu bisa sekolah saja sudah suatu hal yang mahal. Maka dari itu dari iisah beliau itulah anak-anaknya didorong untuk terus mengenyam bangku pendidikan setinggi mungkin.

Emakku merupakan tipe orang yang agak keras dan sedikit judes. Semua sikap itu bukan tanpa alasan selain konstruk dari pola asuh yang tak sehat dari orang tuanya (kakek ku). Bisa dibayangkan emakku betapa traumatiknya beliau ketika diperlakukan diskriminasi oleh kakekku itu. Emakku memang korban persepsi adat yang keliru. Di mana kasusnya ialah saat weton beliau menindih weton kakek maka ketika ingin selamat hidupnya si perempuan yang hamil itu (nenekku) harus diceraikan, setelah itu rujuk kembali. Singkat cerita nenekku tidak mau mengikuti saran dari adat kepercayaan tersebut hingga akhirnya emakku lahir tanpa kehadiran seorang bapak. Sampai beliau punya anak hingga saat ini rasanya berat mengakui bahwa kakekku itu adalah ayahnya. Cerita ini tentu sangat panjang jika dituliskan di sini. Intinya beliau punya alasan mengapa ada narasi kebencian dalam dirinya.

Kisah selanjutnya saat emakku sudah berkeluarga. Di sinilah cita-cita dan harapan beliau bertumpu pada anak-anaknya walaupun beliau sadar semua itu akan berjalan begitu sulit. Masalah ekonomi lagi-lagi menjadi batu sandungan utama mengapa emakku pesimis terhadap kehidupan. Tapi akhirnya lambat laun beliau terbiasa berpikir bahwa hidup itu sudah dalam skenario yang kuasa.

Emakku adalah sosok perempuan yang kesabarannya luar biasa. Bahkan sudah belasan tahun berumah tangga dengan bapak walau sering disakiti emakku masih bertahan hingga kini. Kata emak perceraian bukanlah solusi, ia hanya alasan kita bertemu dengan masalah lainya. Kadang dalam renungaku aku bergumam benar juga bahwa orang bisa jadi wali (kekasih Allah) karena dua jalan, sabar dan ikhlas. Masalah memang selalu datang kadang kedatanganya tak diduga sehingga sambutlah ia dan bersabarlah, jangan lari darinya justru hadapilah dengan percaya diri. Di situlah aku melihat emakku orang yang penyabar. Kesabaran itulah yang membuatkku kagum hingga saat ini.

Di mana-mana mungkin orang tua akan sama seperti halnya emakku entah sejak kapan beliau selalu mengalah. Termasuk sering sekali aku dapati beliau tidur terkulai lemas ternyata menahan lapar. Aku pun kadang tak tega jika harus makan sendiri sedang emakku tak ikut makan bersama. Emak memang besar pengorbanannya sehingga saat jauh di perantauan aku sering menangis mengingat emakku yang mengalah karena makanan, berlapar-lapar yang demi anaknya.

Keikhlasan dan kesabaran beliau seolah-olah mengingatkanku pada sosok ibunda Nabi Isa Sayyidah Maryam di mana beliau sosok yang ikhlas menerima nasib asalkan semua dari Allah swt. Termasuk kesabaran ala Sayyidah Hajar ibunda Nabi Ismail, beliau adalah orang yang kuat, optimis dan selalu berusaha pantang menyerah. Juga kesabaran Sayyidah Asiyah istri Fir'aun, di mana ia selalu sabar dan menghadapi apapun dengan penuh pandangan positif dan penuh kelembutan. Sosok-sosok demikianlah yang kadang aku membayangkan ada sedikit dalam emakku. Walaupun sedikit tak apa setidaknya aku bangga, emakku telah mengajarkan banyak hal dalam hidup. Beliau bagai sosok penyejuk saat aku kehausan, sosok peneduh saat aku kepanasan. Tutur katanya yang walaupun ceplas-ceplos tapi sebenarnya beliau sayang pada kami. Bahkan pesan yang ku ingat hingga kini adalah "jangan tinggalkan shalat".

Walaupun pendidikanya rendah emakku punya pandangan visioner menembus ke masa depan. Beliau selalu ingin agar anak-anaknya tidak seperti dirinya. Beliau selalu berdoa agar anaknya senang terhadap ilmi, bakti pada orang tua dan guru, serta dapat bermanfaat kepada sesama. Ada satu hal lagi yang tak boleh terlewat kata beliau jika jadi perempuan jadilah yang tegar serta tak boleh cengeng. Tunjukan pada dunia bahwa kita mampu jangan ada peluang dunia menghinakan mu cuma karena kamu perempuan. Di mana pun perempuan sama dan seharusnya ia juga bisa melampaui laki-laki. Jika kau seorang laki-laki maka jangan berbuat diskriminasi. Jangan mentang-mentang superior kau gunakan untuk menindas. Seharusnya laki-laki menjadi peneduh saat orang lain susah, menjadi pelindung saat orang lain disakiti. Pesan itulah yang emak berikan kepada kami. Hal itu pula yang menjadi faktor mengapa emak masih setia dengan bapak. Kata emak hanya karena cinta sekalipun di atas bara menyala, api itu tak berasa apa-apa.

Mumpung emak masih ada berbuat baiklah padanya. Kasihilah dia sebagaimana ia telah mengasihimu sejak dalam kandungan hingga dewasa. Maka pantas saja bahwa jasa emak tiada tara, jasa emak tak ada bandingannya. Sampai kapanpun anak tak akan bisa membalas jasa emaknya. Berbakti pada seorang ibu tak terbatasi oleh apapun bahkan berlaku pada seorang nabi sekalipun. Maka tak salah jika sebuah pesan berbunyi jika boleh ada Tuhan yang layak disembah di bumi ia adalah ibu. Selamat hari ibu, sehat dan panjang umur bahagia duhai emakku.

*Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam buku Antologi Sejuta Kisah Untuk Ibuku 2020 bersama Penerbit Ainun Media Jombang

the woks institute l rumah peradaban 22/12/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde