Woks
Rakyat sepertinya tak akan pernah bosan atau lebih tepatnya muak. Bagaimana tidak, sampai hari ini rakyat selalu disuguhi berita tertangkapnya pejabat karena karena kasus suap atau korupsi. Pejabat yang seharusnya mewakili rakyat itu justru terkena OTT baik secara langsung atau melalui surat panggilan. Rasanya miris pejabat dari kelas teri sampai kelas kakap semua hampir merasakan stempel koruptor karena perbuatanya yang merugikan negara. Disadari atau tidak mereka adalah pejabat publik yang seharusnya mengayomi rakyat malah justru menyengsarakan rakyat.
Saya tidak perlu membuat list siapa saja para pejabat yang terlibat kasus penggelapan uang rakyat itu. Yang jelas sebagai pejabat yang dipercaya rakyat mengapa mereka setega itu mengkhianati amanahnya. Apa salahnya rakyat kepada mereka sehingga harus ada pembelasan seperti itu. Apakah tidak sadar bahwa mereka pun berasal dari rakyat. Sehingga tak aneh jika slogan demokrasi berubah menjadi "oleh rakyat, dari rakyat untuk pejabat". Jika demikian lantas apakah ada sudut pandang mengapa kasus korupsi begitu subur terjadi di negeri ini. Seperti dalam catatan survei lembaga Transparency International mengatakan bahwa Indonesia berada di urutan ke-3 sebagai negara terkorup di Asia, survei ini digelar sejak periode Juni hingga September 2020.
Lebih jauh tentang korupsi mari kita coba kupas dengan pisau bedah psikologi. Bagaimana bisa sikap korup menjangkiti manusia dan apa pula faktornya. Setidaknya ilmu psikologi bisa mengurai hal itu dalam kacamata teori dan praksis. Pertama, dalam pandangan psikoanalisa Sigmund Freud menyatakan bahwa korupsi terjadi karena ada hubungannya dengan masa lalu. Masa di mana pola asuh pada fase kanak-kanak sedikit mengalami permasalahan. Di mana permasalahan tersebut cenderung dibiarkan acuh oleh orang tua. Padahal sikap tersebut akan mengendap dan terbawa hingga dewasa. Dalam fase perkembangan perilaku Freud membagi menjadi 5 tingkatkan setidaknya korupsi terjadi karena tingkatan fase anal pada anak terganggu. Anak adalah fase di mana anak sedang merasakan kenikmatan ketika buang kotoran. Fase inilah yang harus diperhatikan bahwa jika orang tua membiarkan cara hidup kotor dan membuat sang anak bermain dengan kotoran tersebut maka saat dewasa ia akan merekam kejadian itu sebagai sebuah kewajaran. Sehingga saat dewasa mereka melampiaskan ketidakpuasanya itu pada benda-benda yang diinginkannya dalam hal ini uang atau barang.
Kedua, masih menurut teori psikoanalisa bahwa kepribadian menurut Freud terdiri atas id (naluri), ego (kesadaran atau aku), dan super ego (hati nurani). Seperti yang telah dijelaskan bahwa saat manusia mengalami gangguan saat masa kanak-kanaknya maka kepribadian apapun bisa terjadi. Seperti halnya kelainan pada kecenderungan seksualnya bisa sangat mungkin ketika masa kanak-kanak mengalami pertumbuhan yang tak sempurna. Demikian pula korupsi bisa sangat mungkin super ego sebagai alat kontrol diri tidak berfungsi dengan baik. Bahkan menurut Freud kejadian itu pasti ada motif yang dalam bahasa perilaku didorong oleh sebuah energi bernama instinc atau naluri. Karena naluri korup lebih besar ketimbang super egonya maka pada akhirnya ia tidak bisa mengendalikan dirinya. Bisa jadi pada akhirnya subjek berkata semua karena pengaruh alam bawah sadar.
Ketiga, bisa jadi pelaku memiliki gangguan perilaku kleptomania, yaitu sebuah gangguan berupa kecenderungan untuk mengambil barang/benda milik orang lain tanpa pernah merasa bersalah. Penguasaan terhadap aset orang lain dianggap wajar bagi penderita kleptomania bahkan dalam taraf ekstrim ia merasa bahwa tindakannya benar dan tidak melanggar norma apapun. Tentu hal ini sangat berbahaya, lalu kita bertanya apakah koruptor demikian?
Keempat, bisa jadi faktor korupsi tersebut karena pelaku menyandang gejala halusinasi visual yang seakan-akan melihat sesuatu (cahaya, bayangan, hantu, atau malaikat) yang ia percaya betul bahwa yang dilihatnya itu realitas (seperti penyandang gangguan jiwa atau skizofrenia). (Sarlito W Sarwono: 2009:106)
Apakah para koruptor itu mengalami skizofrenia? jika merasa bahwa tindakan korupsi adalah sebuah hal yang wajar karena dibenarkan oleh apa yang ia halusinasikan seperti oleh roh, jin, prewangan, atau yang ia yakini sebagai wahyu/wangsit bisa sangat mungkin pelaku mengalami gangguan tersebut. Di sinilah perlu adanya test psikologi atau kejiwaan seorang pejabat baik pra maupun pasca.
Kelima, secara psikologi humanistik dalam 5 kebutuhan dasar pada hierarki Abraham Maslow pelaku koruptor besar kemungkinan masih berada di tangga pertama yaitu masih ditahap biologis fisiologis. Artinya seseorang itu masih berkutat persoalan seks dan nafsu perut. Sedangkan seharusnya orang yang sadar akan dirinya dipastikan mampu mengaktualisasikan dirinya (tangga ke-5 dalam hierarki kebutuhan Maslow) dalam hal ini sudah masuk fase interpersonal. Di mana spiritualitas menggerakan jiwa-jiwa yang sadar akan kebermanfaatan hidup.
Keenam, secara psikososial korupsi terjadi karena faktor eksternal internal. Faktor internal adalah karena dorongan dirinya sendiri secara sadar untuk melakukan hal itu, sedangkan faktor eksternal yaitu keadaan lingkungan yang memang mendukung korupsi bisa terjadi. Lingkungan yang korup memang berdampak besar untuk menciptakan manusia yang korup pula. Maka dari itu pintar-pintarlah dalam bersosial guna menghindari lingkungan yang hanya pragmatis kapitalis.
Sebenarnya masih ada faktor lain yang seharusnya menjadi sorotan utama yaitu terkait penegakan hukum, undang-undang yang mudah berubah, sistem parpol yang kotor, mentalitas individu dan pastinya karena adanya rencana sistemik sejak awal. Jika hal ini masih ada dalam jiwa bangsa kita niscaya sampai kapanpun korupsi akan terus membudaya.
the woks institute l rumah peradaban 12/12/20
Komentar
Posting Komentar