Langsung ke konten utama

Gus Dur dan Pesantren Berjalan


Woks

Gus Dur selain dihina ia juga dipuji karena banyak hal yang mengagumkan dalam dirinya. Warisan Gus Dur terwujud kepada banyak hal terdiri dari semangat, ibadah, pemikiran, laku dan banyak lagi. Selain sebagai seorang ensiklopedis karena saking banyaknya bacaan, Gus Dur juga bisa diterjemahkan sebagai manusia pesantren. Atau lebih tepatnya produk pesantren berjalan. Atau bahkan ada yang menyebut bahwa beliau adalah pesantren itu sendiri.

Sebagai manusia multidimensi Gus Dur memang sosok yang lengkap. Hingga tulisan ini terangkai beliaulah kiai sejati. Sebagaimana judul tulisan ini mari kita pelajari secara singkat pesantren dan dunianya. Kita tentu paham bahwa setiap pendirian pesantren selalu menghadapi pil pahit berupa perjuangan. Lebih tepatnya menghadapi kondisi masyarakat dan pastinya ada saja yang membenci. Kehadiran pesantren memang sejak lama selalu tidak diinginkan maka dari itu wajar jika jalan dakwah pesantren selalu berhadapan dengan masyarakat yang belum mengerti. Hingga keberhasilan pesantren bisa berdiri dan mampu diterima oleh masyarakat tersebut.

Gus Dur pun demikian saat ia harus berjuang dengan penuh kharisma beliau tetap saja banyak yang menghujat. Jangankan soal perbedaan soal kebenaran pun masih tetap disalahkan. Akan tetapi sejarah menjawab bahwa esok pemenang akan berpihak kepada mereka pejuang kebenaran, pejuang kemanusiaan. Setelah Gus Dur wafat semua orang baru tersadar bahwa selama ini mereka telah keliru menilai Gus Dur yang sedemikian rupa itu.

Singkatnya saat pesantren telah berdiri maka yang paling sulit sekaligus menjadi tantangan yaitu proses mempertahankan dan meneruskan estafet kepemimpinan. Kita tahu bahwa pesantren menganut sistem monarkhi sejak masa klasik. Jika seorang kiai sebagai tokoh sentral pesantren wafat maka anaknya secara otomatis akan melanjutkan. Akan tetapi karena sistem pesantren di manapun masih patriarkal maka tidak salah jika laki-laki selalu harus menjadi pengasuhnya (penerus). Akan tetapi di era modern ini kita mendapati satu dua pesantren yang dipimpin perempuan. Hal ini merupakan fenomena keterbukaan bahwa dunia sebenarnya tidak melahirkan dikotomi apapun.

Kita akan jadi saksi saat Gus Dur hidup hingga wafatnya bahwa pesantren Ciganjur berdiri sebagai sebuah wadah santri berproses dan mengaji. Karena semua anak-anak Gus Dur perempuan maka pesantren tersebut merekalah yang meneruskanya termasuk juga dibantu oleh KH Muhammad Musthofa Amien, Kholil Zuhdi, Ngatawi Zastrouw alias Ki Ageng Ganjur dll. Putri-putri Gus Dur tersebut akhirnya memilih untuk mengurusi juga santri-santri yang tergabung dalam jaringan Gusdurian yang tentu hingga saat ini beranak pinak ke seluruh Indonesia.

Saya tidak tahu banyak tentang putri sekawan Gus Dur itu yang jelas Ning Alisa Wahid aktif sebagai koordinator jaringan Gusdurian Nasional, Ning Yenny Wahid aktif di Wahid Institute yang belakangan berubah menjadi Wahid Foundation dan baru-baru ini diangkat komisaris Garuda, Ning Anita Wahid aktif sebagai aktivis pemberantasan korupsi, dan Ning Inayah Wahid aktif sebagai seniman yang banyak orang menyebutnya mewarisi lelucon Gus Dur. Keempat putri Gus Dur tersebut tentu memiliki peranannya tersendiri seperti halnya Bu Nyai Shinta Nuriyah Wahid yang juga turut aktif dalam menyemai benih kedamaian dan menekan bibit-bibit intoleransi di negeri ini salah satunya lewat Yayasan Puan Amal Hayati.

Pesantren Gus Dur akan selalu dinamis melangkah ke depan dengan menatap rintangan yang kian hari semakin deras. Sejak wafatnya Gus Dur tentu tantangan itu bertransformasi menjadi ada di mana-mana, maka dari itu kitalah sebagai santri pewaris pemikiranya harus turut aktif pula membantu kerja-kerja kemanusiaan. Banyak di luaran sana kaum pinggiran perlu uluran tangan kita. Kita selalu mengingat pesan Gus Dur tentang Tuhan tidak perlu dibela sebab Dia sudah maha besar, belalah mereka yang terdiskriminasi.

Teruskanlah perjuangan beliau hingga membuat pesantren itu tetap berjalan. Ajaklah lebih banyak orang lagi untuk menjalankan 9 nilai Gus Dur salah satunya adalah jangan alergi terhadap perbedaan. Justru semakin berbeda kita semakin tahu di mana letak persamaannya. Semakin banyak orang yang peduli dengan sesamanya maka akan semakin nyata cita-cita Gus Dur untuk membuat manusia itu manusia. Membuat manusia bermartabat dengan kemanusiaanya itu.

the woks institute l rumah 28/12/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde