Langsung ke konten utama

UUN: Seorang Gadis Besi


Woks

Wanita besi itu bernama Unasih namun orang-orang lebih familiar memanggilnya Uun. Nama sederhana pemberian bapak yang entah apa artinya. Sejak kecil Uun sudah ditinggal mati bapaknya sehingga sampai saat ini ia belum tahu seperti apa wajah bapaknya itu. Sesekali ibu bercerita tapi Uun selalu mengabaikanya. Katanya percuma mendengar cerita bapak bahkan bertemu dalam mimpi pun ia tak sudi. Mimpi-mimpi besarnya telah mampu menenggelamkan keinginan untuk bertemu sosok bapaknya itu. Uun memang sedikit sensi ketika ibunya memutar cerita semasa bapaknya masih hidup. Sebab cerita itu hanya membuatnya muak saja. Uun hanya tidak mau kasus lelaki panutanya itu kembali melukai relung hati ibunya. Kini Uun hanya tinggal bersama ibu dan adik laki-laki nya.

Di rumah Uun menjadi sosok pengganti bapaknya. Wataknya yang keras membuat ibunya tidak bisa berkata apa-apa selain mengikuti apa titah darinya. Sering saat Uun tidak di rumah ibunya bercerita kepada Iwan adik laki-laki satu-satunya yang Uun miliki, bahwa Uun sangat menyukai olahraga yang berkaitan dengan memukul seperti silat, judo dan tinju. Ia bahkan lebih garang dari Prapto, preman pasar penjaga parkir yang hampir sekujur tubuhnya dipenuhi tato. Walau begitu Uun tetaplah perempuan Jawa yang masih memegang erat budaya leluhur. Uun bercita-cita ingin sekolah tinggi hingga menjadi dosen. Tapi semua itu begitu sulit ia wujudkan karena bagaimanapun juga kebutuhan sehari-hari lebih utama dibanding keinginannya itu. Ia rela mengalah demi keluarga terutama untuk kebutuhan adiknya.

Sebagai perempuan tentu Uun masih sangat teriris betapa kehilangan sosok lelaki yang katanya menjadi kepala keluarga itu. Rasanya begitu membekas di mana ia harus berjuang dengan ibunya untuk tetap bertahan hidup. Apalagi dunia modern seperti saat ini semua tuntutan hidup tidak semudah berangan-angan. Hidup memang harus realistis. Seperti halnya keinginanya yang harus pupus terkubur dalam lumpur kebuntuan ekonomi yang mencekik. Saat ia duduk di bangku SMA Uun sadar bahwa ia telah menghabiskan hampir separuh dari warisan peninggalan kakeknya yang berupa tanah, kebun dan beberapa petak sawah. Bahkan kini sawahnya telah habis untuk biaya sekolah adiknya. Selepas SMA Uun langsung bekerja disalah satu kantor keuangan dekat rumahnya. Lumayan penghasilan selama ini bisa ia sisihkan untuk ditabung dan membantu perekonomian keluarga.

Pernah suatu hari Uun sangat marah kepada Iwan adik laki-laki itu sebab uang hasil kerja kerasnya ia habiskan dalam sekejap bahkan ia pernah kepergok sedang membawa perempuan. 

"Aku tidak habis pikir di mana otak dan perasaanmu? uang hasil kerja kerasku bukan untuk foya-foya tapi untuk pendidikan mu".

Sesekali kemarahan Uun itu menyebabkan adiknya itu tidak betah di rumah. Iwan memang lebih sering tinggal bersama teman-temannya terutama ketika sikap kakaknya itu makin superior. Kadang Uun sering diperingatkan soal sikapnya itu oleh ibunya.

"Kamu yo sing sabar cah Ayu, begitu juga adikmu. Maklumi saja ia kan anak muda kamu memang kayak ndak pernah muda saja".

Walau ibunya sering menasihati Uun ia tetap saja keras. Ia merasa bahwa adiknya tak tau apa-apa soal berjuang. Betapa pahitnya saat ia kecil dulu kemana-mana selalu ikut ibu berjualan di pasar, membawa dagangan, hingga memanen padi di sawah. Pernah juga hanya untuk membeli baju seragam ia harus rela kuli di kebun milik orang, berangkat pagi pulang sore. Bekerja layaknya seorang laki-laki sudah tak terhitung jumlahnya. Dan ia sendiri harus sering gigit jari karena hasilnya yang kecil harus menutupi kebutuhan dapur agar terus berkepul. 

Saat cita-cita Uun untuk sekolah tinggi pupus ia semakin sadar bahwa usianya tak lagi muda. Mungkin ibunya paham bahwa saat ini bukan lagi berpikir tentang berjuang tapi ia juga harus memikirkan tentang kebahagiaanya. Uun sampai lupa bahwa sekeras-kerasnya perempuan ia adalah bakal jadi ibu bagi anak-anak nya. Sesekali orang keras seperti Uun pun sering dibuat malu di hadapan tetangganya karena sampai saat ini ia belum juga menikah. Kadang ia juga berpikir kehadiran anak adalah dambaan semua orang tua. Begitupun kehadiran cucu adalah cita-cita bagi neneknya. Tapi berkali-kali ibunya selalu bercerita bahwa Uun tidak seperti perempuan pada umumnya yang mudah ditundukan hatinya oleh setiap lelaki. Atau bahkan lelaki mana yang berani menghadapi Uun gadis tomboy itu. Tapi ibunya hanya bisa berkeyakinan bahwa esok pasti akan ada orang yang tulus mencintainya.

Sesekali Uun memang mengakui bahwa untuk sekedar berdandan pun ia masih kesulitan. Bagaimana caranya memakai bedak atau perlukah memakai lipstik baginya tak begitu ia hiraukan. Saat melihat seisi lemarinya pun tak ada pakaian seperti daster atau baju koko ala ibu-ibu majelis taklim yang ada hanya pakaian ala laki-laki. Ia tak peduli apa kata orang yang penting selama tidak merugikan orang kehidupan tetaplah berjalan. Uun bukan berarti alergi terhadap gincu atau segala macam pernak-pernik perempuan ia hanya tidak mau saja jika dorongan dalam hatinya belum muncul seolah-olah ia memaksakan diri untuk menonjolkan sisi feminimnya. Bayangkan saja sejak kecil saat orang lain bermain layaknya anak-anak ia justru harus membantu ibunya wira-wiri ke pasar atau jika libur ia harus bekerja ke sawah. Memikul barang-barang berat hingga mencangkul menjadi hal yang biasa layaknya laki-laki. Jalanan yang panas bahkan kehujanan menjadi makanan harian. Tapi baginya ia tidak menyesal selama ibu masih ada ia akan tetap bahagia sekalipun seribu keringat harus ia tumpahkan.

Sebenarnya beberapa kali banyak pemuda yang bertanya pada ibunya mengapa Uun belum juga ingin menikah. Banyak dari mereka yang menaruh hati pada Uun namun lagi-lagi ya begitu, Uun adalah perempuan baja yang tidak bisa diusik sekalipun masalah cinta. Saat Uun ada di rumah selepas pulang kerja terkadang ibunya mengejeknya, "emang mau sampai kapan Un kamu sendirian? ndak takut tidur sendirian, awas banyak tikus lho".

"ahh ibu bisa saja, jangankan tikus buaya saja bisa aku patahkan lehernya", jawab Uun. 

Sesekali saat Iwan juga di rumah sang ibu mengajak agar anak lelakinya itu menggoda kakaknya minimal bertanya apa sudah punya pasangan atau mau menjomblo terus-terusan. Kan kasihan bantal guling lagi-lagi terasa bosan hidup hanya berdua dalam imajinasi. Bukanya menerima justru saat adiknya itu menggodanya Uun malah marah, "udah kamu saja duluan Wan, aku belakangan yang menikah".

Saat seperti itulah ibunya sering memberi nasihat bahwa candaan seperti itu jangan dianggap serius. Akan tetapi bagi orang Jawa pamali jika perempuan sudah berusia belum juga menikah, nanti apa kata tetangga. Sebab serangkaian stigma sudah pasti melayang setiap hari seperti sebutan perawan tua atau bujang lapuk bagi laki-laki. Tapi bagi Uun semua itu hanya tradisi yang tak perlu diindahkan. Toh jika kebahagiaan berpatok pada apa kata tetangga selamanya kebahagiaan itu tak akan pernah ada.

Sebagai orang yang terlahir menjadi bagian dari masyarakat Uun juga paham bahwa tekanan batin pasti melayang pada ibunya. Saat beliau ke pasar atau saat bercengkrama dengan tetangga pasti topik tentang pernikahan selalu menjadi bumbu utama untuk dikupas. Orang-orang selalu menganggap bahwa perempuan yang tak kunjung menikah biasanya tidak akan laku selamanya. Tidak hanya itu biasanya rezeki akan seret dan keluarga akan terkena musibah. Jika perempuan itu mati dalam keadaan belum menikah maka ia akan dicap sebagai perawan sunti. Yang mana jenazahnya nanti wajib untuk ditunggu dipemakamanya karena pasti banyak orang yang akan mencuri tali pocongnya. Orang-orang berkeyakinan bahwa tali pocong perawan sunti akan menjadi jimat keberuntungan. Walau tetangga sering cerita seperti itu bagi Uun semua adalah angin lalu, ia masih tidak bergeming soal itu. Hidup bukan tentang meyakini mitos dengan rakus tapi hidup adalah tentang berkeyakinan pada takdir.

Soal jodoh dan menikah ia memang keras kepala. Mungkin semua ini karena trauma masa kecilnya di mana ia benci sosok laki-laki bernama bapak. Mengapa juga ia rela meninggalkan ibu lalu selang tak lama kabarnya meninggal. Rasanya kelam sekali saat orang lain bahagia dengan keutuhan rumah tangga karena ada sosok bernama ibu bapak ia justru kehilangan salah satunya. Jika disesali dunia memang tidak adil. Tapi apa guna disesali semua telah digariskanNya. Uun hanya membayangkan seandainya bapaknya masih ada tentu beliaulah orang yang paling selektif saat menerima anak lelaki yang ingin mempersunting anak gadisnya ini. Pasti bapak akan di bagian paling depan untuk bertanya siapa, dari mana asalmu, apa keperluan mu dan lain sebagainya. Hingga akhirnya tiba saat di pelaminan Uun akan menangis bersimpuh bahwa kini ia telah resmi milik orang lain. Tapi semua hanya angan kosong. Bagi perempuan sekuat dirinya pun saat ingat bapaknya itu akhirnya meleleh juga. Mata tak sanggup menyembunyikan segala rahasianya. Tapi setidaknya ia masih punya Iwan sosok laki-laki satu-satunya yang dimiliki keluarga dan esok ia akan jadi walinya.

Saat usinya terus bertambah Uun sangat terasa bahwa ibunya tak lagi muda. Usianya semakin sepuh sedangkan ubannya terus saja memutih. Bahkan Iwan yang jarang di rumah kini malah sering bersama ibu karena akhir-akhir ini beliau memang mudah terkena penyakit. Maklum usia sepuh memang sangat rentan kelelahan dan akhirnya sakit. Untung saja Iwan mengerti bagaimana cara meringankan tugas kakaknya. Beberapa kali saat ibu terkulai lemah di tempat tidurnya beliau sering menanyakan kabar kakaknya pada Iwan terutama soal kapan ia segera menikah. Saat-saat seperti itulah waktu yang krusial untuk Uun dengan segala macam alasanya. Kini ia tidak bisa lagi berdalih terlalu banyak. Sebab ia sendiri tahu bahwa menikah bukan sekedar membahagiakan dirinya tapi juga keluarganya.

Di awal April bulan di mana Uun lebih banyak waktu di rumah untuk bekerja. Bukan karena kantor tempat kerjanya pindah melainkan ada wabah penyakit menular yang mengharuskan merumahkan semua karyawanya termasuk dirinya. Wabah ini akan hinggap kepada siapa saja tanpa pernah pandang usia. Selain membuat batuk dan dada sesak wabah ini juga bisa menyebabkan kematian. Uun tentu khawatir seperti halnya orang lain pada umumnya. Mereka harus berjaga jarak, hidup bersih dengan rajin mencuci tangan, hindari kerumunan dan tentunya tetap tinggal di rumah baik soal kerja ataupun ibadah sebab penularan wabah ini sangat cepat.

Aroma kecemasan massal memang begitu terasa di antara warga lebih-lebih ketika ada beberapa warga yang dinyatakan positif. Sehingga beberapa dusun di sana memberlakukan karantina dalam skala besar. Jalanan di tutup, rumah ibadah di kunci, sekolah tak beroperasi dan beberapa warung dilarang buka termasuk acara pernikahan dibatalkan. Semua merasakan dampaknya. Wabah ini memang benar-benar lebih menyiksa daripada masa lalu Uun yang keras itu. Beberapa hari di ujung bulan April ibunya semakin sakit parah. Akan tetapi Uun mengira bahwa itu hanya penyakit bawaan orang yang sudah lanjut usia. Iwan pun mengatakan demikian bahwa selama ini ibu hanya kelelahan dan memang membutuhkan istirahat yang cukup. Kian lama hari-hari terasa sunyi waktu juga kian mendesak Uun mencoba untuk tidak panik berlebihan. Ia mencoba menghubungi petugas kesehatan barangkali untuk sekedar menenangkan pikiranya bahwa ibunya baik-baik saja. Saat petugas kesehatan datang lengkap dengan pakaian APD beberapa tetangga mulai berkerumun. Mereka penasaran ada apa di rumah Uun itu. 

Stetoskop bekerja lebih cepat meraba dan mendeteksi. Badan yang terasa panas, tensi darah yang tinggi dan dada yang terasa terhimpit membuat sebuah kesimpulan bahwa virus ini telah menguasai ibunya sejak lama. Akan tetapi reaksinya baru saat ini. Uun tersontak kagek, kepalanya terasa pecah, badanya langsung lemah. Mendengar kenyataan pahit ini. Ia tidak ingin salah satu kebahagiaanya pergi. Bahkan jika pun virus itu berwujud menampakan dirinya tentu Uun akan siap mematahkan urat lehernya. Jika pun harus bertaruh nyawa tentu ia lebih rela mengorbankan dirinya daripada ibu orang tua satu-satunya yang ia miliki. Para petugas dengan sigap itu akhirnya membawa ibunya ke rumah sakit untuk menjalani perawatan intensif. Sedangkan ia dan adiknya harus menjalani isolasi mandiri. 
"ahh aku ini memang payah, tak mampu melindungi ibuku sendiri". 
Bahkan untuk memeluk ibunya pun Uun tidak diperkenankan oleh petugas medis. Uun harus rela berpisah sementara dengan orang yang ia cintai itu. Air mata mengalir dengan derasnya membasahir sekujur pipinya. Ia benar-benar tak kuasa melihat ibunya harus berjuang melawan virus yang juga telah menjangkiti banyak orang itu. Semoga saja ini bukan merupakan hari-hari terakhirnya bertemu dengan ibu. Jika pun hal itu terjadi tentu Uun akan menyesal mengapa hingga detik ini ia belum juga menikah.

the woks institute l rumah peradaban 4/12/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde