Langsung ke konten utama

Menimba Inspirasi dari Para Alumni(Catatan dalam rangka Milad ForMaSi ke-9)



Woks

Orang-orang datang dengan membawa kerendahan hati masing-masing. Mereka masih mengindahkan para generasi baru dengan suka cita. Memberikan banyak hal kepada mereka tentang cinta, cita dan segenap cerita. Atau lebih tepatnya kisah tentang sesuatu yang telah lalu namun masih relevan sepanjang zaman. Mereka belajar dari pengalaman masa silam. Seperti anak panah semakin kebelakang maka akan semakin melesat ke depan.

Begitulah kiranya saat kami bisa hadir dalam acara Inspiring and Leadership Talk yang diselenggarakan dalam rangka Milad ForMaSi ke-9. Walaupun dunia masih dibuat resah dengan pandemi tapi acara ini tetap dilangsungkan dengan virtual. Acara yang menggugah selera itu diawali dengan bincang sejarah dan literasi menghadirikan Mba Inari, Mba Ummi, Mba Dewi M, Mas Yusup, Mba Nailil dan Mas Jaza'. Mereka bicara hangat seputar proses kreatif menulis dan betapa pentingnya menulis. Seperti mayoritas narasumber mereka bicara bahwa menulis adalah upaya untuk menempa diri. Dengan menulis kita terus mengolah potensi dan turut berkontribusi lewat jalan merangkai kata. Menumpahkan pena dan gagasan adalah sarana ampuh untuk berbagi pengetahuan dan cerita. Bahkan menulis adalah sarana balas dendam karena hati pernah patah sakit hati. Kita mengingat Eka Kurniawan bahwa seperti dendam rindu pun harus terbalaskan.

Menulis adalah suatu sikap untuk mengolah informasi dan pengetahuan secara paling mudah. Walaupun faktanya menulis itu memang gampang-gampang susah. Bagi sebagian orang menulis hingga menerbitkan karya adalah kebahagiaan tersendiri. Karena di sana terselip seperuh hidup kita yang dituangkan dari goresan pena. Orang boleh saja mati tapi penulisnya akan terus abadi. Yang tak kalah pentingnya yaitu buku yang tercetak itu hanya baru melewati fase dibaca sedangkan buku kehidupan berupa pengalaman, kekeluargaan, kekompakan dan rasa saling mengisi adalah telah melewati fase aplikatif. Maka dari itu pentinglah membaca buku tapi lebih penting lagi membaca situasi.


Acara yang sempat diguyur hujan deras itu tidak menyurutkan peserta dan panitia untuk memungkasi acara. Kali ini giliran Saya sendiri, Mas Novel, Mba Setiamin dan Mas Rohman yang berbincang seputar prestasi dan kepemimpinan. Acara ini adalah sesi penutup dalam rangkaian milad tersebut. Narasumber pertama yaitu Mas Novel berkata bahwa anak Bidikmisi (BM) harus bersyukur karena mereka sudah menjadi kepercayaan masyarakat dalam bidang pendidikan. Dengan modal kepercayaan tersebutlah seharusnya anak BM bisa merealisasikan cita-citanya. Jika menjadi mahasiswa tentu kuatkan keilmuanya, perbanyak jaringan dan tak lupa semangat dan fokus. Selain itu beliau juga memaparkan bahwa anak BM semua sama memiliki kesempatan untuk bisa berprestasi dan utamanya dapat berguna bagi masyarakat.

Setelah itu saya sendiri mengatakan bahwa prestasi bukan melulu soal kejuaraan, piala, sertifikat, rangking dan lainya. Hal itu tidak lebih dari sekadar bonus. Menurut saya jika pengertian prestasi hanya melulu yang disebutkan itu maka artinya menjadi sempit. Justru prestasi adalah kemampuan untuk mewadahi apa yang kita cintai, hobi atau kesukaan apapun itu. Prestasi melalui kejuaran misalnya hal itu hanya sebuah cara penempaan sedangkan hasilnya merupakan bonus dari usaha gigih kita. Maka dari itu jangan berputus asa dan teruslah mencoba.

Termasuk Mas Rohman juga bicara bahwa kepemimpinan itu tidak ia kuasai secara teori melainkan otodidak dan dari hasil mengamati orang lain. Siapa saja bisa jadi pemimpin ketika kita bisa menjadi ketua DEMA misalnya semua hanya faktor kepercayaan. Maka dari itu tingkatkan kualitas diri dengan begitu orang akan tau seberapa percayanya mereka terhadap kita. Maka jangan lupa teruslah belajar berproses lewat organisasi sebab lewat jalur itu kita akan mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang tak didapat dari dalam kelas.

Terakhir Mba Setiamin juga berkata bahwa kita harus memahami ulang apa makna sukses. Makna itu selalu dipahami sebagai sesuatu yang waw atau lebih tepatnya hasil. Padahal kesuksesan adalah nuansa untuk menikmati proses. Bahkan beliau sendiri lebih banyak gagalnya tinimbang suksesnya. Sehingga kegagalan itu akan menunjukkan kepada kesusksesan. Jangan pernah bosan untuk mencoba karena disetiap akhir percobaan akan ada putus asa dan kesuksesan, tinggal kita mau pilih yang mana.

Refleksi

Di usia yang menjelang satu dasawarsa itu ForMasi akan segera menyudahi masa kanak-kanak dan akan menuju ke masa remaja. Masa di mana seharusnya dimaknai dengan rasa ingin tahu yang berkonotasi positif. Maka dari itu pentingnya untuk dipersiapkan sedari dini para generasi penerus estafet kepemimpinan. Selain itu ada beberapa pesan yang patut kita renungi bersama. Pesan ini saya rangkum dari semua narasumber yang meninggalkan pesan bijaknya.

Pertama, selalulah mencoba dalam hal-hal baru. Karena dengan terus mencoba berarti kita belajar untuk tidak mudah puas dengan apa yang didapat selama ini. Seperti kata pepatah barangsiapa yang merapa puas maka hanya sebatas itu pengetahuanya. Mencoba itu adalah sarana membangun passion. Dengan passion itulah kita bisa mewadahi minat yang berbeda-beda ini.

Kedua, belajarlah secara fokus. Karena dengan fokus kita bisa lebih terarah dalam menginginkan suatu hal. Kritik selama ini terhadap diri sendiri adalah mudah terbuai dengan suatu hal sehingga membuat kita tidak fokus. Maka dari itu tidak heran jika hasilnya adalah tau sedikit tentang banyak hal, seharusnya sebaliknya.

Ketiga, belajarlah apapun termasuk kepemimpinan kepada siapa saja. Karena pengetahun tidak melulu di dalam kelas. Justru di kelas kehidupanlah kita bisa mendapat pengalaman dan pengetahuan yang melimpah. Jika dalam ruang kelas kuliah kita hanya dapat sedikit itupun amat terbatas.

Keempat, perkuatlah mentalitas dan karakter. Dengan dua hal itu setidaknya menjadi kunci agar kita tidak mudah goyah dan rapuh dalam menghadapi zaman yang dinamis ini. Kita tahu jika orang punya mental ia akan menembus badai, menerjang ombang demi sesuatu yang ia cita-citakan. Setelah itu jadilah karakter jika seseorang telah hidup dengan karakter yang kuat ia tidak mudah terdoktrin selain dengan dirinya sendiri. Berdikarilah dengan diri sendiri.

Kelima, selalu kompaklah dalam setiap aktivitas. Termasuk selalu pupuk kebersamaan dan kekeluargaan. Dengan cara itulah kita akan terus bersatu. Saat ini problem utama kita adalah melawan kelompok yang ingin memecah belah. Maka dari itu persatuan memang mahal harganya istilah bahasa Arabnya الاتّحاد أساس النجاح.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde