Woks
Bocah-bocah sebegitu cepatnya dewasa. Mereka selalu nampak digdaya di depan kamera. Setiap saat setiap waktu kamera tak pernah lepas dari wajah. Seolah-olah wajah dan kamera adalah saudara muda yang memberikan apa saja. Wajah yang biasa seolah bisa nampak muda hingga tua. Mereka memang telah gila kamera sepanjang ada momen diambilnya gambar lalu ditambahnya hiasan. Rasanya penuh sesak di sekujur tubuh foto dan kamera memang tiada duanya.
Saya tidak bisa membayangkan perkembangan zaman begitu cepat. Bahkan kecepatanya mengalahkan kepul panasnya kopi yang menjadi dingin. Seolah-olah hanya sekejap kemarin sore kita baru akan beranjak dari tempatnya tidur dan kini harus bangun lagi. Mungkin itulah gambaran akhir zaman. Peradaban memang semakin mempercepat kita untuk menua.
Salah satu produk teknologi yang selalu digandrungi hingga kini adalah kamera. Baik kamera yang tersemat di gadget atau kamera foto secara umum yang jelas kamera adalah komoditi kedua yang laris manis dipuja. Anda bisa bayangkan kaum selfitis bisa berkali-kali dalam mengabadikan kehidupan lewat kamera, belum lagi aplikasi penunjang gairah bernarsistik begitu banyak ditemukan. Ego narsistik memang sedang menggurita menjerat siapa saja yang sedang lupa. Maka dari itu kaum kapitalis melihat fenomena ini sebagai pangsa pasar yang menguntungkan. Kita lagi-lagi menjadi object buying atau objek industri. Lebih tepatnya menjadi dimanfaatkan atas kepentingan orang lain.
Saat ini varian kamera dari berbagaimacam vixel, hingga berfitur canggih sudah merambah ke pasar dalam negeri. Mereka merasuk ke setiap penjuru lapisan untuk memaksa seseorang membeli. Maka secara tak sadar sebenarnya masyarakat terkena impulsive buying yaitu sebuah sindrom untuk membeli tanpa perencanaan. Mereka hanya tergiur oleh fitur dan tipe terbaru sehingga urusan harga menjadi nomor sekian. Selain itu adanya diskon juga menjadi daya tarik lainya seolah-olah konsumen untung dan produsen rugi karena harga turun. Padahal nyatanya tidak, semua sudah diatur sedemikian rupa. Apa ada produsen mau rugi rasanya kok tidak ada kecuali semua demi keuntungan.
Tidak salah jika kecenderungan sikap konsumen kita bisa berpotensi dibodohi atau dirugikan karena masih belum dewasa dalam berpikir. Jika masyarakat tahu bahwa tidak semua kamera menjadi komoditi utama (primer) seharusnya mereka bisa menekan angka keinginan tersebut. Salah satu tujuannya agar terhindar dari penipuan dan budaya konsumtif yang mengakar. Sebisa mungkin kita berpikir kritis apakah kamera bagian dari kebutuhan atau hanya sekadar nafsu belanja kita sesaat.
Saya tau bahwa kamera bisa menjadi partner kita dalam menunjang aktivitas kehidupan seperti memotret alam, kejadian, momen, kenangan dan sebagainya. Akan tetapi dalam ruang kecil ini saya hanya ini mengetengahkan bahwa di balik efek positif ada dampak negatif pula yang sedang mengintai. Tentu kita berharap manusia dan kamera bisa saling mengerti bahwa hidup memiliki ruang privat yang harus dihargai. Termasuk tidak semua orang nyaman dengan keberadaan kamera. Sehingga sebelum memotret laiknya kita berpikir sejenak untuk mencuci klise kehidupan sebelum ia dihisabNya.
the woks institute l rumah peradaban l penghujung Desember 2020
Komentar
Posting Komentar