Langsung ke konten utama

Melihat Pendidikan Inklusi Secara Lebih Dekat

     (Ruang Kelas Terapi Inklusi. doc pen)

Woks

Kemarin aku berkesempatan mengikuti kuliah daring bersama Ibu Sulis Yuliani, S. Ag (Koordinator Kelas Terapi Inklusi SD Islam Al Azhaar Tulungagung) dalam kegiatan kuliah tamu jurusan Psikologi Islam IAIN Tulungagung yang diampu oleh Dosen Ni Putu Rizky. Dalam kuliah singkat tersebut kita membahas tentang penyelenggaraan pendidikan inklusi. Sebagai akademisi tentu kita perlu tau di ranah praksis kepada mereka yang sudah terjun dalam pendidikan inklusi dalam hal ini narasumber begitu ungkap Bu Rizky.

Pendidikan Inklusi adalah sebuah sistem penyelenggaraan pendidikan yang mewadahi anak-anak istimewa dalam hal ini berkebutuhan khusus (ABK) pada sebuah pendidikan reguler. Arti lainya yaitu sebuah komunitas anak yang mengalami keterbatasan akan tetapi bisa masuk dalam sebuah kelas umum. Di sinilah yang perlu dipahami bahwa pendidikan inklusi adalah pendidikan untuk semua tanpa membeda-bedakan istilahnya "one school for all".

Dalam penyelenggaraan pendidikan ini kita harus mempersiapkan manajerial yang baik. Agar terselenggaranya pendidikan yang inklusif dan sesuai dengan harapan pendidikan nasional. Manajemen tersebut di antaranya harus dipersiapkan (planning), terorganisir (organization), terpimpin (leading), dan terdapat pengawasan (controling). Di sana pula kita dibebani untuk memiliki acuan atau standarisasi pembelajaran melalui Program Pembelajaran Individual (PPI) atau Rencangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Tentunya program tersebut masih bersifat fleksibel karena disesuaikan dengan kebutuhan anak didik tersebut.

Model kurikulum yang dapat diaplikasikan di sekolah inklusi adalah pertama, duplikasi yaitu kurikulum yang hampir sama dengan siswa umum. Kedua, modifikasi disesuaikan dengan ragam permasalahan anak. Ketiga, substitusi yaitu beberapa mata pelajaran dan metode penyampaian ditiadakan dan keempat, omisi yaitu kurikulum sama sekali ditiadakan. Hal ini dikarenakan sistem pendidikan yang istimewa maka diharuskan menemukan metode baru yang lebih tepat guna. Hal lain yang tak kalah pentingnya yaitu dibuatnya sebuah portofolio untuk mengarsipkan, mendokumentasikan, serta menyimpan rekam perkembangan anak. Termasuk penjaringan bakat minat anak serta mengetahui permasalahan pada anak. Hal itulah yang menjadi acuan tingkat keberhasilan seorang guru pendamping (GPK) atau terapisnya.

Menurut Bu Sulis di sekolah ini masih mengkategorikan keterbatasan anak menjadi dua yaitu layak latih dan layak didik. Layak latih adalah keadaan anak yang masih harus mengalami pembiasaan melalui kelas terapi karena banyak perkembangan yang terganggu pada si anak baik secara motorik maupun sensoriknya. Sedangkan layak didik adalah kondisi anak yang sudah siap diikutkan di kelas reguler bersama anak-anak pada umunya. Di sini pula masih menggunakan metode behavioral terapi karena kita menganggap anak harus dibina soal pembiasaan emosional, perilaku, dan sosialnya. Sehingga anak tidak monoton hanya diberi asupan untuk mengasah kognitifnya saja.

Di kelas inklusi pula kita harus pintar mengaplikasikan metode modifikasi perilaku karena kebutuhan anak berbeda-beda. Hal itu pula yang perlu disamakan antar guru, orang tua dan konsultan terapi sebagai modal untuk mengetahui tindakan apa yang tepat diberikan kepada anak dampingnya. Termasuk memberikan motivasi khusus bagi mereka terutama terkait dengan mood belajar. Serta memberi penguatan psikis bahwa mereka bisa seperti orang lain pun bisa. Di sini pula kita harus jeli dalam melihat permasalahan termasuk bagaimana mengelola kelas dengan baik. Buatlah anak senyaman mungkin untuk belajar. Jangan sampai anak merasa terancam karena tidak ditangani dengan tepat.

Anak-anak dengan permasalahan seperti autis, DS, disleksia, slow learned, gifted, late development, celebrum palcy, ADHD, gangguan perilaku dan emosi, kesulitan fokus, kesulitan belajar dan lainya bisa di wadahi dalam kelas inklusi. Kehadiran mereka tentu harus pula diperhatikan dan jangan dibeda-bedakan. Toh pada akhirnya mereka pun bisa membuktikan dengan segala keterbatasannya pasti terselip kemampuan hebat. Ambil contoh tidak sedikit mereka yang difabel, disabilitas atau ABK sanggup menyamai yang normal dalam sebuah ajang prestasi. Ini artinya kehadiran mereka harus disambut baik dan tidak boleh dipandang sebelah mata.

Walaupun kendala masih banyak dalam penangan anak-anak tersebut. Setidaknya kita harus yakin dan optimis bahwa siapa saja sudah ada masa depanya. Permasalahan seperti problem keluarga, komunikasi serta perlakuan memang sering kita dapati. Termasuk SDM pendidik, GPK, kurikulum, sarana prasana, serta metode dan  penanganan yang juga masih menjadi PR kita sebagai pengelola. Sejak 2004 saat dideklarasikan sekolah inklusi pertama kali di Bandung kita tentu merasa optimis akan kebermanfaatannya di mana siswa tersebut menjadi senang dapat belajar, menempa kepercayaan diri, bisa menjadi pelajaran bagi yang normal, sarana toleransi, dan melahirkan perkembangan jiwa yang baik. Semoga saja mereka saudara kita yang memiliki keterbatasan selalu diberi kekuatan untuk menghadapi hari esok yang lebih baik.

the woks institute l rumah peradaban 10/12/20

Komentar

  1. Menarik untuk dibaca mas. Memang untuk kelas inklusi membutuhkan persiapan dan manajemen yang bagus. Baik berupa RPP, penilaian, kurikulum, dan khususnya kompetensi guru dalam mengajar di kelas inklusi. Ini menarik untuk ditelaah dan dikaji lebih lanjut

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde