Langsung ke konten utama

Etika Mengkritik



Woks

Mengkritik di alam demokrasi sangat diperkenankan sebagai catatan bagi penguasa dengan segala kebijakanya. Kritik biasanya dilontarkan kepada siapa saja khususnya bagi mereka yang tak pernah puas. Biasanya di pihak oposisi kritik merupakan senjata sekaligus cara menyampaikan aspirasi. Mungkin kita memiliki pengalaman mendapat kritik karena beberapa hal yang perlu dibenahi.

Memang benar bahwa kritik memiliki dua sisi yaitu membangun sekaligus menjatuhkan. Akan tetapi yang perlu diperhatikan dalam kritik adalah etika yang berlaku. Di pesantren misalnya dengan tradisi syawir sering didapati santri yang berdebat, berbantah-bantahan hingga saling melontarkan kritik. Akan tetapi dalam koridor tertentu tradisi syawir atau ketika di forum bahtsul masail sangatlah biasa. Bahkan tanpa hal itu kegiatan tidak berjalan hidup.

Akan tetapi perlu diperhatikan jika ingin menyampaikan kritik atau saran masukan seseorang perlu memperhatikan yaitu pertama, kritik dilontarkan dengan santun dan tidak boleh dengan kata-kata kasar. Kita ingat ketika Nabi Musa AS ingin memberi peringatan kepada Fir'aun untuk tetap menjaga kata-katanya. Karena bagaimanapun juga kata itu menentukan siapa diri kita sebenarnya. Orang luar akan tahu dalamnya Islam bukan dari ajaran, kitab suci atau apapun akan tetapi pada akhlaknya. Jika umat Islam akhlaknya buruk maka hal itu akan tersemat padahal tidak berlaku secara umum.

Kedua, kritik harus melihat situasi kondisi. Jangan sampai seseorang mengkritik karena dorongan emosi. Kita ingat jika orang memberi nasihat di depan umum sebenarnya itu bagian dari menjatuhkan. Imam Syafi'i berpesan bahwa memberi nasihat itu harus di saat orang tersebut sendiri dan inilah baru bijak. Jangan dikira memberi pesan di muka umum adalah kebaikan justru malah sebaliknya itu adalah membunuh karakter. Terlalu banyak orang yang membunuh karakter saudaranya yang berakibat pada menurunnya sikap mental. Coba jika seseorang menyadari bahwa orang lain memiliki perasaan maka ia akan memperhatikan saudaranya.

Ketiga, kritik harus murni dengan tujuan membangun bukan justru mencari-cari kesalahan. Kadang seseorang berani mengkritik ketika di belakang layar dan itu menunjukkan bahwa objek yang dikritik berarti berwibawa. Akan tetapi mengkritik di belakang tak jauh berbeda dengan gosip. Seharusnya kritik itu berdasarkan pada fakta yang seharusnya memang perlu pembenahan. Kritik juga bisa menjadi pengingat agar seseorang mengevaluasi diri untuk terus berbenah.

Demikianlah etika mengkritik agar setiap orang memahami bahwa di setiap tempat berlaku nilai dan norma. Jika kita mampu memahami maka dewasalah cara berkipir dan lebih terbuka terhadap segala kekurangan.

the woks institute l rumah peradaban 20/6/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde