Langsung ke konten utama

Pod-Writes bersama Mas Muhammad Imam Ghozali: Inisiator & Penggerak Majelis Rasulullah SAW Korwil Tulungagung




Pod-writes kali ini edisi spesial yaitu pergerakan dan perjuangan pemuda di bidang keagamaan. Kita kedatangan tamu tak terduga dan penuh semangat yaitu Mas Imam Ghozali. Pria hangat dan sederhana ini berasal dari Jombang dan menginisiasi lahirnya majelis dzikir dan shalawat yaitu MR Tulungagung. Mari kita simak perbincangan seru nan inspiratif kami dan Mas Imam Ghozali di sini.

Jurnalis TWI: Bisa dijelaskan Mas, apa sih MR itu?

Mas Imam: MR adalah kepanjangan dari Majelis Rasulullah SAW. Majelis ini didirikan oleh Al Habib Mundzir bin Fuad Al Musawa atas izin dari guru mulia Al Habib Umar bin Salim bin Hafidz bin Syeikh Abu Bakar bin Salim Tarim Hadramaut Yaman. Majelis ini bergerak di bidang shalawat memuji rasul, ta'lim dan dzikir. Tujuannya sederhana yaitu ingin menjadikan Indonesia secara umum sebagai negeri yang lidah rakyatnya basah dengan shalawat kepada Baginda Rasulullah SAW.

Jurnalis TWI: Bisa diceritakan kilas balik MR, mengapa ada di Tulungagung?

Mas Imam: Sebenarnya MR bergerak sejak tahun 2015 di saat kami mulai menginjakan kaki untuk menimba ilmu di Tulungagung. Awalnya hanya majelis kecil yang terdiri dari beberapa orang di mulai sejak kami mondok di PP. Himmatus Salamah Srigading asuhan Kyai Sholeh. Setelah itu dengan Hadrah seadanya dan nomaden dari mushola ke mushola kami pun mantap untuk melanjutkan syiar MR di Bumi Gayatri ini.

Sedikit lengkapnya begini ceritanya pertama, pembacaan maulid Adl Dliyaulami' dibaca mulai tanggal 23 Agustus 2015 ( 07 Dzulqo'dah 1436 H) tepat haul ke 2 Habib Mundzir Al Musawa pimpinan Majelis Rasulullah SAW pusat.

Kedua, tanggal 25 Desember 2015 ( 13 Robiul Awwal 1436 H) mulai memberanikan diri membuka rutinan tingkat lebih luas yakni kabupaten walau yang hadir masih sedikit. Di sanalah akhirnya kami mulai istiqomah rutinan 2 minggu sekali dan yang tausiyah biasanya dosen IAIN Tulungagung.

Ketiga, tanggal 12 November 2018 (03 rabiul awal 1439) memberanikan diri membuat acara besar di GOR Lembu Peteng dengan menghadirkan Habib Jindan Bin Novel dengan tujuan acara milad MR. 31 maret 2019 ( 23 Rojab) pertama kali mendatangkan Habib Idrus bin Muhammad Alaydrus di Tulungagung sekaligus pengenalan dewan guru. Selama proses panjang dan melelahkan itu akhirnya seiring waktu MR bisa mengepakan sayapnya walaupun berdinamika dan bisa kita rasakan manfaatnya kini dan nanti.

Jurnalis TWI: Lantas apa sih tujuanya didirikannya MR, khususnya di Kota Cethe ini?

Mas Imam: Ya seperti di muka kami sampaikan bahwa MR berdiri dengan tujuan melanjutkan syiar dakwah Al Habib Mundzir bin Fuad Al Musawa, mengajak masyarakat bershalawat kepada Nabi Muhammad, menyemai ajaran & uswah hasanah Rasulullah, memakmurkan masjid mushola dan mengkader pemuda untuk mengidolakan Rasulullah SAW.

Jurnalis TWI: Apa saja sih Mas kegiatan di MR tersebut?

Mas Imam: Dulu awal perintisan kegiatan hanya rutinan pembacaan tahlil dan shalawat Adl Dhiyaulami' saja. Akan tetapi untuk sekarang kita berkembang selain majelis dzikir, shalawat, maulid, milad ada juga tambahan yaitu ta'lim kitab. Salah satu kitab yang dikaji adalah Bidayatul Hidayah karya Hujjatul Islam Imam Ghazali yang diampu oleh Al Habib Muhammad bin Abdurrahman Al Baity.

Jurnalis TWI: Apakah MR mengenal sanad, dewan guru dan siapa saja tamu yang pernah dihadirkan dalam majelis?

Mas Imam: Wah sangat mengenal sekali, bahwa ketersambungan sanad keilmuan merupakan hal utama. Alhamdulillah keberadaan para guru di majelis ini menambah semakin semangat dan menguatnya perjuangan. Insyaallah lewat dewan guru seperti Ustadz Nanang Bukhori, Ustadz Murid Zakir, Habib Muhammad Albaity, Habib Hasan Al Bahjah, Habib Idrus bin Muhammad Alaydrus insyaallah bersambung hingga ke Rasulullah SAW.

Tentu dewan guru tersebut masih sebagian kecil saja. Jika dituliskan pastinya bisa lebih banyak lagi sebab kami telah berkomitmen bahwa baik ulama, kiai, habib dan para sesepuh semua adalah guru pembimbing kami dalam mengembangkan dakwah MR ini.

Alhamdulillah dalam majelis pernah kami merawuhkan beliau Al Habib Jindan bin Novel bin Jindan Al Fachriyah Tangerang, Al Habib Sholeh Al Jufri, Al Habib Hadi Mojokerto, KH. Agus Ali Masyuri Bumi Shalawat Sidoarjo, Habib Husein Ba'abud, Habib Syeikh Ba'abud, Habib Sayyidi Baraqbah Jogja, Gus Miftah dll.

Jurnalis TWI: Apakah MR memiliki markas khusus dan bagaimana cara gabung ke majelis ini?

Mas Imam: Kalau dulu MR ya masih nomaden, dari mushola ke mushola baik itu markas maupun rutinan. Kalau sekarang alhamdulilah kita bermarkas di mushola Al Hidayah Ketanon plus sekretariatnya bahkan sebelumnya kami sering mengadakan rutinan di Pondok Panggung Tulungagung tepatnya di depan maqbarah muassis pondok.

Kalau cara gabung sangat mudah, tinggal hubungi kami saja atau bisa cek di medsos MR Korwil Tulungagung. Kami sangat terbuka kepada siapa saja yang ingin berkhidmah di MR ini. Bahkan cara oprec pengurus pun sangat kultural yaitu diserahkan kepada teman-teman sesuai dengan kemampuannya. Misalnya ada yang minat di bidang vocal, hadrah, patwal (patroli pengawal), tim IT, hingga khidmat majelis lainnya.

Jurnalis TWI: Bagaimana pandangan Mas Imam terhadap pemuda masa kini dan apa pesan buat mereka?

Mas Imam: Terutama dalam kaitannya dakwah saya melihat pemuda saat ini mengalami pergeseran yang luar biasa entah itu berkaitan dengan semangat, minat dan etika. Tiga hal itulah yang kini justru mengalami degradasi maka dari itu kami terus mengajak mereka untuk menggunakan waktu sebaik-baiknya. Kita ajak mereka untuk berkhidmah demi agama, bangsa dan menyemai akhlak Rasulullah SAW.

Maka dari itu pesan saya khusus untuk pribadi dan pemuda secara umum yaitu ayo gelorakan kembali semangat kepemudaan dengan spirit nasionalisme religius. Kita boleh saja berorganisasi apapun yang terpenting adalah khidmah dan akhlak. Akhlak inilah yang selalu kita tekankan di setiap majelis. Dengan demikian mari bergabung bersama kami untuk mendidik akhlak karimah karena setinggi apapun ilmu jika tanpa akhlak, sia-sia belaka.

Kita juga ingat pesan wasiat Habib Mundzir untuk melanjutkan khidmah menegakan panji-panji Rasulullah SAW. Semoga Allah meridhoi perjuangan kita semua. Amiin.

the woks institute l rumah peradaban 07/6/22


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde