Woks
Pada perkuliahan bersama Prof Mujamil kali ini saya harus mencatat ilmu yang didapat selama 2 jam tersebut. Pasalnya perkuliahan kali ini berbeda dengan sebelumnya yang memang banyak faktor. Menariknya perkuliahan kali ini adalah karena tema, penyampaian, pengetahuan baru dan pastinya sinyal sangat mendukung. Berbeda dengan sebelumnya yaitu banyak kendala seperti susah sinyal yang utama hingga menyebabkan suara tidak terdengar jelas padahal temanya sangat menarik yaitu Islamisasi ilmu.
Salah satu motivasi utama teman-teman jika kuliah bersama Prof Mujamil adalah bertujuan agar beliau tertawa atau minimal tersenyum. Karena kita tahu bahwa guru besar yang satu ini terkenal sangat sulit untuk dibuat tertawa sebab keseriusan beliau dalam menjelaskan ilmu. Akan tetapi pada akhirnya kita bisa menaklukkan beliau.
Pada perkuliahan pertama beliau berkomentar tentang kondisi kelas yang tidak aktif dan miskin pertanyaan. Wajar saja memang karena masyarakat kita sudah mentradisikan monolog dalam aktivitas sosialnya. Misalnya dalam acara pengajian atau seminar kita hanya membiarkan narasumber menjadi titik pusat dan audiens tidak berfungsi apa-apa kecuali pendengar. Maka dari sanalah salah satu mengapa output mahasiswa kita menjadi tidak kritis.
Kedua, beliau menjelaskan bahwa soal pengilmuan Islam ini pasti akan bersinggungan dengan Kuntowijoyo dengan teori sosial profetiknya. Prof Mujamil tidak sependapat dengan Muslim Abdurrahman yang menggunaan teologi sebagai dasar berpijak awal dalam keilmuan tersebut. Karena bagi beliau terutama di Islam persoalan teologi telah usai misalnya sejak kecil anak-anak diajari sifat-sifat ketuhanan. Tidak hanya itu kaidah teologi pertama kali diperkenalkan dalam tradisi Kristiani. Bahkan terkesan kontradiksi karena persoalan dasar ketuhanan misalnya bagaimana merasionalkan trinitas itu saja belum usai.
Prof Mujamil lebih setuju pendapat Kuntowijoyo dengan ilmu-ilmu sosial profetiknya. Karena ilmu-ilmu sosial profetik tidak melalu terpaku pada 4 sifat wajib bagi nabi akan tetapi bisa lebih dari itu dan disesuaikan dengan konteksnya. Kata Prof Mujamil, Kuntowijoyo memperkenalkan teorinya itu berdasarkan 3 pisau bedah yaitu humanisasi, liberalisasi dan transendensi. Pandangan Kuntowijoyo tersebut berdasarkan pada firman Allah Surat Ali ‘Imran Ayat 110.
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ ٱلْكِتَٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ
Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
Kemanusiaan atau humanisasi disandarkan pada كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ. Sedangkan تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ dipararelkan dengan liberalisasi atau upaya pembebasan dari keterbelengguan, kemiskinan, kebodohan dll. وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ menjadi nilai transendensi yang merupakan tujuan utama ilmu itu sendiri.
Menurut Prof Mujamil Islamisasi pengetahuan dan pengilmuan Islam itu berbeda. Pengilmuan Islam lebih bersifat pro aktif, tidak usah nunggu stimulus ada atau tidak tetap terus jalan proses keilmuan tersebut. Sedangkan Islamisasi pengetahuan sifatnya reaktif, ada stimulus. Maka sejatinya pengilmuan Islam adalah kreasi Islam itu sendiri. Mengapa pula harus ada Islamisasi pengetahuan karena pengetahuan awalnya kafir sehingga harus disyahadatkan kembali. Hal itu di latar belakangi oleh keilmuan yang bercorak sekuler.
Salah satu hal menarik soal pengilmuan Islam ini adalah ketika Kuntowijoyo melontarkan gagasan ilmu-ilmu sosial profetik. Di mana oleh sebagian kalangan hal itu merupakan sepotong daging yang oleh Kuntowijoyo di manfaatkan demi proyek akademik. Padahal tuduhan itu tidak benar dan Kuntowijoyo tidak sependapat jika hal itu dituduhkan padanya. Bagi Kuntowijoyo justru Islamisasi pengetahuan lah yang awalnya justru harus dimengerti sebagai alternatif atau hanya sekadar ingin mengubah wajah Islam itu sendiri. Jadi tidak semua hal harus diislamisasikan. Ada batas tertentu yang perlu diperhatikan oleh kalangan akademisi bahwa pengetahuan dan Islam sesungguhnya merupakan satu kesatuan utuh. Cuma sayangnya Barat membuat dikotomi seolah-olah agama dan ilmu adalah musuh.
Prof Mujamil di sesi akhir perkuliahan justru memberikan refleksi kepada mahasiswa bahwa kita harus berpikir metodologis. Misalnya dalam hal fikih di Indonesia seharusnya seperti halnya Gus Dur, Cak Nur, Buya Syafi'i, Azyumardi Azra memandang perlu adanya fikih keindonesiaan. Tujuannya sederhana agar fikih tidak melangit dan bisa dipahami sebagai konteknya. Hal ini pula telah digagas lewat pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudz melalui nuansa fikih sosialnya.
Menurut Prof Mujamil fikih kita masih bercorak fikih hijazi (Makah Madinah), fikih misri (Mesir), fikih iraqi (Iraq) dan fikih hindi (India). Hal itu pula didasari oleh banyaknya penggunaan kitab fikih sebagai rujukan yang berasal dari ulama-ulama wilayah non-Indonesia tersebut. Prof Mujamil menjelaskan misalnya mengapa zakat pertanian hanya disebut kurma, gandum dan anggur hal ini didasarkan pada konteks turunnya yaitu di Arab sedangkan di Indonesia tidak ada. Maka sejak itu ulama langsung mengqiyaskan jika tidak ada buah yang di maksud itu akhirnya makanan pokok suatu tempat itulah menjadi penggantinya misalnya di Indonesia berarti padi, jagung, ketela, sagu.
Beliau juga bercerita bahwa dulu di Arab strata ekonomi tertinggi adalah petani bukan pedagang. Dulu di Arab untuk bertani harus mereka yang kaya karena faktor pengairan yang sulit sedangkan pedagang berada di bawahnya. Di Indonesia justru terbalik petani berada di bawah pedagang atau pengusaha. Maka dari itu perlu ada pertimbangkan terkait fikih misalnya apakah zakat di antara keduanya lebih tinggi petani dari pada pedagang. Seharusnya jika ditarik ke konteks Indonesia petanilah yang seharusnya zakatnya lebih sedikit karena di sini petani justru strata ekonomi nya berada di bawah pedagang. Tapi jika hal itu masih kita lakukan berarti fikih kita masih merujuk kepada fikih hijazi. Di sinilah perlunya kita merenung sebagai orang yang terus bergelut dalam ilmu pengetahuan.[]
the woks institute l rumah peradaban 13/6/22
Komentar
Posting Komentar