Langsung ke konten utama

Membela Tulisan Membela Kemanusiaan




Woks

Dalam percaturan arus sosial di masyarakat kita mengenal kritik. Kritik adalah sebuah penyampaian berkaitan dengan keberatan atau ketidaksetujuan perihal sesuatu. Kritik juga bisa berupa anulir akan ketikdaksepakatan. Penyampaian kritik bisa melalui media tulisan ataupun lisan. Kritik bisa bersifat membangun, menguatkan hingga menjatuhkan. Kritik menjatuhkan inilah bukan bagian dari sikap yang bijaksana. Maka dari itu perlu sikap arif dalam menyampaikan kritik tanda ketidaksepakatan tersebut.

Salah satu kritik bisa disampaikan lewat media tulis. Kita pernah punya kisah seorang ulama mengkritik Sayyid Muhammad ketika beliau mengarang Kitab Mafahim Yajibu An Tushohah. Ulama tersebut menyebarkan famplet berisikan cemooh dan penyerangan terhadap karya dan pribadi Sayyid Muhammad. Akan tetapi dalam sejarah tersebut akhirnya Sayyid Muhammad justru menemui ulama yang mencemarkan namanya itu. Lalu di sanalah terjadi dialog yang menyebabkan si ulama tersebut meminta maaf akan perbuatannya.

Di Indonesia kita juga pernah mendengar kisah Ki Panji Kusmin diduga telah membuat karya tulis cerpen berjudul "Langit Makin Mendung" di Majalah Sastra asuhan HB. Jassin yang isinya mendiskreditkan Islam. Sebelumnya ada Salman Rushdie dengan "The Satanic Verses" atau novel ayat-ayat setannya yang juga diduga menghina Islam dan Nabi Muhammad SAW. Ada juga Sutradara Keluarga Cemara Arswendo Atmowiloto yang juga pernah dianggap menghina Islam karena surveinya di Majalah Monitor atau sebelumnya ada Lekra sebuah wadah seniman Partai Komunis Indonesia yang menjadi musuh Islam. Tidak hanya soal karya tulis, kita juga pernah mendapati Inul Daratista saat kemunculannya ia dikritik sekaligus dirundung karena goyangannya. Dan yang terbaru mungkin kasus Ahok soal penistaan agama.

Apakah mereka benar-benar layak dikritik atau perlu dijatuhkan status sosialnya. Mari kita lihat lebih jauh tentang arti bagaimana menyampaikan pendapat terutama lewat tulisan. Pertama, bahwa kritik itu sangat diperkenankan dalam ruang demokrasi ini akan tetapi perlu adanya etika yang berlaku. Etika sangat penting lebih lagi soal bagaimana seseorang berhadapan dengan permasalahan. Jangan sampai karena dorongan emosi kritik justru hanya menjatuhkan bukan membangun. Ingat bahwa setiap orang perlu membela diri terkait kehormatannya walaupun mereka mengakui kesalahannya.

Kedua, seperti halnya Gus Dur kritik itu harus mengandung nilai sportivitas artinya setiap orang harus gentle. Jika orang mengkritik dengan tulisan lawan lagi dengan tulisan. Akan tetapi dewasa ini karena masyarakat kita adalah pelestari budaya lisan maka kadang kritik tidak fair, tulisan dibalas lisan. Maka sampai kapanpun tak akan pernah menemui ujung alias tak pernah dewasa.

Ketiga, kritik juga harus memiliki data alias memiliki dasar yang kuat dengan setiap keputusan. Orang boleh mengkritik asalkan berlaku bukan katanya, kata orang atau kata si anu melainkan benar-benar mengetahui objek yang menjadi sasaran kritik tersebut. Keempat, kritik itu harus logis dan rasional. Misalnya ketika Lekra dibombardir habis-habisan apakah ada orang yang tidak diam, ada. Muhyiddin M. Dahlan misalnya membela Lekra atas dasar pertanyaan apakah mereka tidak memiliki hal positif dari lembaganya. Mengapa mereka dimusuhi cuma karena berafiliasi dengan ideologi politik komunis.

Kata Gus Muh, setidaknya Lekra perlu dibela karena mereka tidak membakar buku. Anda tentu tahu banyak kasus di Indonesia karena khawatir disusupi ideologi dari luar khususnya komunis para aparat membakar buku dengan bengisnya. Padahal Indonesia bukan negeri pembaca lantas mengapa kita takut dengan ketidakmungkinan tersebut. Bagi Gus Muh seharusnya setiap orang seperti Gus Dur jika ingin kritik sampaikan dengan bijak. Jika orang punya karya buku kritiklah dengan karya buku lagi buka dengan omongan sampah yang tidak berfaedah apalagi membakar karya. Itu namanya tidak fair.

Selanjutnya kritik juga harus melihat kuantitas. Jika objek yang dikritik adalah satu orang maka datangilah ia juga dengan face to face, jangan beraninya keroyokan. Rerata saat ini orang berani kritik karena bersembunyi di balik ketiak kelompoknya dan tak pernah berani sendiri. Jika memang sebagai seorang pengkritik yang paham seharusnya mereka akan datangi gelanggang sebagai seorang ksatria bukan justru menjadi pecundang.

Pada saat itu Gus Dur menyadari bahwa apa yang ia bela mungkin bisa sangat mungkin salah. Tapi bagi Gus Dur ia membela Arswendo, Inul hingga karya Salman Rushdie bukan kapasitasnya membenarkan. Beliau hanya ingin mengajari pada kita bahwa sebagai sesama manusia harus mendudukkan terlebih dahulu akar permasalahannya. Ini bukan soal cinta atau anti Islam akan tetapi lebih kepada etika yang berlaku di manapun. Gus Dur hanya sangat menyayangkan bahwa kritik saat ini sudah kehilangan logika akibatnya orang mudah naik pitam. Gus Dur juga mengakui bahwa misalnya Inul salah dengan perbuatannya, Arswendo salah dengan hasil surveinya atau Salman salah dengan karyanya yang dianggap menghina Nabi. Akan tetapi seharusnya orang sadar bahwa setelah mereka usai mengkritik apa dampak positifnya. Jangan sampai kritik bengis hanya menjadi budaya pemuas sesaat yang tak juga berdampak apa-apa. Coba jika setiap orang berkesadaran berpikir sebelum bertindak maka mereka akan memposisikan diri sebagai seorang di jalur yang sama. Karya dibalas karya. Jika karya dikritik, kritik kembali dengan karya. Maka hasil dari kritikan tersebut jadilah polemik kebudayaan yang kaya dan sangat fair.

Terakhir, kelima yaitu kritik harus bersikap arif dan bijaksana. Barangkali kita belajar pada Gus Dur bahwa mengkritik itu harus disesuaikan dengan kapasitas. Bahwa setiap orang memiliki sisi kemanusiaannya. Mengkritik jangan sampai membunuh sisi kemanusiaannya. Mereka juga punya perasaan yang harus diteguhkan. Kritiklah yang seharusnya dikritik. Dalam kasus Ahok misalnya Buya Syafi'i Ma'arif tidak membenarkan perbuatan Ahok akan tetapi beliau membela bahwa apa yang diucapkan Ahok di Pulau Seribu itu bukan bagian dari penistaan agama. Itu hanya intrik saja karena di momen politik. Dan jika pun Ahok salah toh ia telah meminta maaf. Akan tetapi kita melihat para hatter buzzer masih saja menyerangnya. Itulah yang tidak disukai Buya karena kedangkalan berpikir masyarakat kita sekaligus lemahnya literasi. Pada kasus Arswendo pun demikian, Gus Dur tidak membenarkan perbuatannya akan tetapi bagi Gus Dur toh survei itu tidak akan membuat Nabi Muhammad atau Islam goyah sedikitpun.

Maka dari itu di sinilah kita berupaya untuk menjernihkan pikiran dengan berdialog minimal pada diri sendiri. Misalnya dengan mempertahankan apakah status kita layak untuk melayangkan kritik. Maka sebelum itu bertanyalah pada diri sendiri apa yang kita kritik itu memang perlu untuk dikritik. Jika kita mengkritik karena sentimen berarti nyata bahwa kita memang juga perlu dibenahi cara berpikirnya. Mengkritik lewat tulisan selama itu memiliki dasar adalah bentuk pledoi yang elegan. Karena dengan menulis orang akan berpikir dengan kata-kata bukan lewat emosi.[]

the woks institute l rumah peradaban 19/6/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde