Langsung ke konten utama

Mauidhoh Hasanah KH. Abdul Kholiq di PPHS Srigading




Woks

Pada Sabtu, 11 Juni 2022 kami santri PPHS berkesempatan menimba ilmu dari Abah KH. Abdul Kholiq Pengasuh PP. Mbah Dul Plosokandang Tulungagung. Beliau memberikan mauidhoh hasanah dalam rangka Haul Muassis PPHS yaitu Bapak H. Slamet bin Mbah Tarni.

Seperti biasa beliau dalam tausihnya mengajak kepada jama'ah untuk berdizkir dan bershalawat bersama-sama. Dalam tausiahnya beliau berpesan agar santri, kiai atau siapapun untuk tidak meninggalkan shalat. Atau dalam bahasa beliau jika ingin selamat maka ikutilah tuntunan ajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW yaitu shalat.

Beliau juga menjelaskan mengapa kita disunnahkan bertakbir atau mengangkat tangan ketika takbiratul ihram, rukuk, i'tidal, dan tasyahud awal karena takbir tersebut tanda penyatuan niat supaya shalat yang sejatinya menghadap Allah itu kuat dan tidak goyah.

Beliau lalu menukil hadits Nabi Muhammad SAW, الصلاة عماد الدين فمن اقامها فقد اقام الدين ومن هدمها فقد هدم الدين. Bahwa orang yang meninggalkan shalat itu berarti telah merobohkan tiang agama. Maka khususnya santri jika sudah shalat ya harus berdampak utamanya pada akhlak. Termasuk jika sudah di pondok jadi santri besok ketika pulang ke rumah minimal harus berubah dalam hal tata krama berbicara. Dalam hal ini orang Jawa mengenal istilah boso, (bahasa krama) karena dengan menata bahasa santri akan menghormati orang tuanya. Sederhananya perubahan dalam hal berbicara tersebut merupakan bentuk revolusi akhlak dari pondok pesantren. Inilah juga bagian dari perubahan total seorang santri terhadap lingkungannya.

Kata Mbah Kholiq bahwa misi Nabi Muhammad SAW tak lain adalah akhlak وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ. Dengan misi akhlak tersebut jika perkataannya baik maka dalam istilah Jawanya, wong boso iku gak iso misuh. Artinya dengan menggunakan bahasa krama seseorang tak akan bisa berkata kasar. Apa mungkin berkata kasar dengan bahasa halus. Oleh karena itu ajak beliau, "Mari buktikan jika kita umat Nabi Muhammad SAW maka buktikanlah dengan akhlak".

Beliau juga berpesan bahwa lek pingin jagongan karo Allah (berkomunikasi dengan Allah) maka bacalah al Qur'an. Sebab dengan membaca al Qur'an hati seseorang akan terang. Tapi ingat bahwa saat ini terjadi fenomena menghafal al Qur'an justru malah melaknati karena bacaanya salah (baca: tidak bersanad). Kata beliau baca al Qur'an itu tidak mudah maka pentingnya sanad adalah dalam rangka tetap satu rel dengan para guru yang terus bersambung dengan Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Dulu ketika beliau mondok untuk ingin bisa baca al Fatihah saja harus memerlukan waktu minimal 3 bulan.

Disela-sela menjelaskan hafalan tersebut beliau menyenandungkan syiir dalam kitab Ta'lim Muta'allim bab فيما يورث الحفظ وفيما يورث النّسيان yaitu :
شكوت الى وكيع سوء حفظى * فأرشد نى الى ترك المعاصى
فإنّ الحفظ فضل من اله * وفضل اللّه لا يعطى لعاصى
Syiir tersebut menjelaskan betapa sulitnya orang hafalan termasuk pesan agar berhati-hati bahwa orang yang hafalan terutama Qur'an itu bisa melaknati jika mereka ahli maksiat.

Menjelang penutup beliau menegaskan agar seseorang terus mengevaluasi diri di saat kesendiriannya. Dalam istilah Jawa dikenal dengan angen-angen atau mentadaburi sesuatu. Persoalan mentadaburi dan mengevaluasi diri adalah lebih baik daripada ibadah setahun maka dari itu perlu dicermati oleh setiap santri. Beliau membacakan surah Ali Imran ayat 191 yang isinya mengajak kita untuk berpikir tentang mahluk ciptaannya.

Pesan pamungkas beliau di manapun anda jika mendengar adzan kalau bisa langsung segera menghentikan aktivitas dan shalatlah. Berkatalah dalam hati, "Aku kawulo manut bendoro" aku adalah seorang hamba butuh tuanya (Allah). Dalam rangka hormat shohibul haul ini beliau mengajak untuk mempersiapkan diri kelak ketika besok menghadap kepadaNya apa yang akan kita bawa. Maka kita harus mencari penetralisir, penerang hidup di atas bumi yang tidak jelas dan semu ini untuk selalu memohon keselamatan bukan hanya di dunia saja tapi slamet dunia akhirat seperti nama yang kita hauli yaitu H. Slamet.

Baca juga sambutan panitia Haul Muassis PPHS 2022 selengkapnya di link berikut : http://wokolicious.blogspot.com/2022/06/haul-muassis-dan-sesepuh-pp-himmatus.html

the woks institute l rumah peradaban 12/6/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde