Langsung ke konten utama

Perlukah Literasi Para Kiai?




Woks

Gus Ulil merasa gamang dengan banyaknya para kiai yang tidak menulis. Kegamangan itu beliau tumpahkan melalui berbagai tulisanya baik di web maupun di sosial media Facebook. Bahasa Gus Ulil, kini para kiai malas untuk mencatat sumber-sumber agama yang kaya itu. Akibatnya dalil agama yang seharusnya otoritatif kini justru digantikan oleh adanya mesin pencari alias internet dengan sumber yang belum jelas.

Tidak sepenuhnya salah apa yang diutarakan Gus Ulil berkaitan dengan minimnya kiai penulis. Jika dibandingkan dengan kiai zaman dulu (baca: ulama) tentu kiai saat ini sangatlah berbeda. Tidak hanya kiai, akademisi yang bercokol di kampus pun tak jauh berbeda. Prof. Mujamil Qomar guru besar UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung juga merasa prihatin dengan fenomena ini pasalnya menurut beliau terasa sangat ironis,"Kita minim pengetahuan di tengah surplus informasi di internet". Dari fenomena ini lantas apa upaya kita untuk merekonstruksi agar menulis menjadi budaya wajib tidak hanya untuk santri melainkan juga buat para kiai.

Zaman dulu dan kini memang sangat berbeda. Seperti sudah menjadi rumus bahwa keterbatasan justru dapat melahirkan keluarbiasaan. Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy'ari, Syeikh Ihsan bin Dahlan Jampes, Syeikh Abul Fadhol Senori, KH. Bisri Mustofa Rembang, KHR. Muhammad Nuh Bogor, KH. Asrori Ahmad Magelang merupakan sekian dari ulama Nusantara yang produktif menulis padahal kala itu penerangan saja sulit. Belum lagi masa pergerakan mengharuskan mereka berjuang, mendidik dan tetap produktif.

Saya menyadari bahwa di balik mengapa kiai sangat sedikit yang menulis. Tentu jika merujuk medan saat ini para kiai dapat dikategorisasikan setidaknya 3 macam. Pertama, kiai pendidik yaitu mereka yang lebih sering menghabiskan waktunya di pesantren guna membimbing para santrinya. Kiai pendidik lebih merujuk kepada keilmuan membaca kitab dan memimpin mujahadah. Tanpa mendiskreditkan kiai pertama ini biasanya tipe ini lebih disibukkan dengan urusan internal dan tidak sempat menulis.

Kedua, kiai pendakwah yaitu mereka yang disibukkan dengan urusan eksternal melayani umat. Kiai tipe ini jika sudah disibukkan dengan permintaan umat baik undangan ceramah, sambutan atau doa biasanya akan kesulitan dalam hal menulis. Bahkan masuk dalam tipe kiai ini adalah yang berkecimpung dalam politik. Sehingga urusan literasi baik baca tulis kitab sangat minim. Ketiga, tipe kiai penulis yaitu mereka yang sejak awal sudah mengabdikan diri untuk merawat ilmu. Selain itu perubahan zaman menggerakkan pena mereka untuk menjawab problematika umat.

Dengan ragam tipe kiai tersebut lantas perlukah literasi kiai untuk merawat keilmuan. Kiai-kiai dibina untuk bagaimana menghasilkan tulisan dari berbagai disiplin ilmu keislaman. Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua tentu pesantren bertanggungjawab atas perkembangan keilmuan Islam tersebut. Barangkali persoalan ini sudah direspon oleh pesantren lewat institusi Ma'had Aly. Ma'had Aly dianggap sebagai wadah untuk mencetak kader kiai muda cum mengahasilkan tulisan. Salah satu rujukan berkembangnya literasi pesantren di antaranya Lirboyo. Di sanalah para santri diajari bagaimana menulis dan syarat kelulusan adalah dengan membuat karya berupa tulisan ilmiah. Lantas bagaimana dengan kiainya? Barangkali ini yang belum terpecahkan atau bisa jadi kiai Lirboyo menulis dan belum terdeteksi selain seperti Almarhum KH. Yasin Asmuni Petuk Semen Kediri, KH. Mustofa Bisri, KH. Husein Muhammad, KH. Imam Jazuli, Lc dan lainya.

Saya kira aktivitas literasi sangat diperlukan dewasa ini dan itu dilakukan oleh setiap kalangan. Dalam hal ini pesantren tentu terus menata diri agar keilmuan agama akan terus dinamis. Lewat kiai menulis tentu harapannya perkembangan pesantren tidak stagnan dan dapat bersaing dengan institusi pendidikan manapun. Literasi barangkali merupakan jantung pesantren yang tidak boleh segera usang karena dewasa ini kajian turats akan terus berhadapan dengan perkembangan teknologi digital utamanya peran internet yang makin instan dan membuat orang malas berpikir.[]

the woks institute l rumah peradaban 8/6/22

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde