Langsung ke konten utama

Mengapa Kiai Harus Punya Hewan Peliharaan ? bag 2




Woks

Kemarin malam aku berkesempatan sowan untuk kedua kalinya ke ndalem KH. Abdul Kholiq yang ada di Plosokandang. Kebetulan di depan rumah beliau terdapat burung-burung yang bertengger di dalam sangkarnya selain itu beberapa ikan berenang dengan lihainya dalam akuarium. Aku langsung teringat untuk meneruskan cerita mengapa kiai harus memiliki hewan peliharaan edisi ke-2.

Jika melihat banyak hewan peliharaan di sekitar rumah aku langsung teringat bahwa sebagian masyarakat kita masih percaya akan nilai-nilai magis hingga sering disebut klenik. Hewan peliharaan tentu kita tahu seperti ikan, burung perkutut hingga kucing diyakini sebagai pembawa hoki. Tapi bagi kiai tentu soal hoki bukan seperti kepercayaan orang Tionghoa melainkan memiliki prinsip tersendiri sesuai dengan ajaran Islam. Yang jelas hewan peliharaan tak lain dapat berfungsi memohonkan istighfar jika si tuannya memperlakukan dengan baik. Karena ada kisah di mana seorang perempuan dilaknat karena memperlakukan kucing peliharaannya dengan semena-mena.

Selanjutnya aku mengingat bahwa keberadaan pesantren tidak setiap orang setuju. Artinya ada sebagian dari masyarakat yang menolak dengan keberadaan pesantren tersebut. Seperti sejarah awal didirikannya pondok pesantren pasti pengasuhnya akan gigih berjuang dalam membangun pondok tersebut alias babad alas. Misalnya Mbah Hasyim Asy'ari harus berhadapan dengan para bandar tebu dan jago tanding di daerah Pabrik Gula Tjukir, Mbah Chudori dengan preman Parto Tepus, Mbah Manaf dengan preman Bandar Kidul, Mbah As'ad Syamsul Arifin dengan preman Asembagus dll.

Tidak hanya saat pendiriannya ketika pondok sudah berdiri pun masih banyak masyarakat yang tidak suka dengan keberadaannya. Bahkan sering dijumpai mereka yang suka mengirimkan sesuatu ke areal pondok misalnya santet, teluh dan hal gaib lainnya. Maka dari itu kadang kiai pengasuh pondok sering memberi amalan keselamatan kepada para santrinya. Di sinilah peran hewan peliharaan berfungsi terutama di saat serangan gaib itu beraksi.

Hewan biasanya memiliki interaksi khusus dengan benda tak kasat mata. Seperti halnya ketika gunung akan meletus biasanya hewan menjadi pertanda akan datangnya sesuatu. Dalam persoalan gaib yang ingin mencelakai kiai tersebut biasanya hewanlah yang menjadi alarmnya bahkan tak sedikit hewan menjadi objek salah sasaran. Hewan akan paling sensitif dengan hal-hal yang ingin mencelakakan majikanya tersebut. Tentu dalam hal ini yang paling sering dijumpai adalah hewan anjing dan unggas. Hewan-hewan tersebut seolah memberi isyarat akan datangnya sesuatu.

Jika Tom Sanders mengistilahkan para kiai dengan the mountain maka hewan-hewan peliharaan sebagai entitas yang tak terpisahkan. Gunung dalam istilah Sanders adalah mereka yang kaya akan ilmu dan akhlak ketika gunung tersebut akan meletus, maka hewan-hewan itulah sebagai pemberi isyarah. Keberadaan hewan tersebut tak kalah pentingnya dimiliki kiai seperti awal yang telah dijelaskan yaitu sebagai sarana santri berkhidmat. Bahkan aku sering mengulangi topik bahwa di Madura itu jangankan orangnya, ayamnya saja NU.

Barangkali demikianlah kisah di mana hewan tidak bisa dipisahkan dalam hubungan sosial termasuk dengan kiai sebagai sosok utama pembimbing para santri. Hewan-hewan memiliki peranannya tersendiri tidak hanya sekadar pelengkap rumah akan tetapi bisa menjadi sahabat bagi berlangsungnya harmoni antar sesama mahluk Tuhan.

Baca juga catatan tentang hewan peliharaan dan kiai edisi 1 : http://wokolicious.blogspot.com/2020/11/mengapa-kiai-harus-punya-hewan.html

the woks institute l rumah peradaban 11/6/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde