Woks
Dalam satu kesempatan perkuliahan kami mendapat pencerahan lagi dari Prof Mujamil. Kali ini beliau menjelaskan betapa islaminya negeri kita ini. Saya lalu terbayang dengan kutipan dari Buya Syafi'i Ma'arif bahwa bagaimanapun ruwetnya Indonesia tetap cintailah. Karena mencintai Indonesia memang bagian dari hidup bukan paksaan.
Prof Mujamil menjelaskan bahwa Indonesia itu walaupun bukan negara Islam akan tetapi dalam proses bersosialnya justru paling islami. Misalnya beliau menjelaskan di Arab itu jika ingin menikah sulitnya minta ampun. Pertama, di sana perempuan itu tidak seleluasa di sini. Di Arab perempuan itu geraknya sangat terbatas dan hampir sebagian hidupnya dihabiskan di dalam rumah. Kiai Said Aqil Siradj misalnya bercerita bahwa untuk membuang sampah saja perempuan dilarang keluar rumah akhirnya urusan sepele itu harus dikerjakan oleh kaum Adam (pen).
Berbeda di sini (Indonesia) bahkan perempuan sudah terlibat dalam urusan lebih luas tidak hanya sekadar urusan domestik. Perempuan di sini bahkan sudah sangat mudah dijumpai di warung kopi. Kedua, ketimpangan ekonomi di Arab sangat jelas sehingga bagi tradisi di sana menikahi perempuan lebih dari satu itu biasa. Rasionalisasinya sangat jelas bahwa mereka dengan strata ekonomi tinggi akan lebih mudah menikahi siapapun termasuk budaknya (istilah dulu). Maka bagi lelaki dengan ekonomi pas-pasan akan kesulitan dalam menimang gadis di sana sedangkan lelaki Arab memiliki kondisi di mana syahwatnya besar. Tidak aneh jika misalnya buruh migran Indonesia yang sering mengalami kasus asusila di sana. Salah satu faktornya selain karena iklim, geografis juga pengaruh makanan yang didominasi oleh daging.
Berbeda dengan di Indonesia khususnya Jawa untuk meminang seorang gadis sangatlah mudah apalagi jika suka sama suka. Hal inilah dianggap sebagai cermin mengamalkan hadits nabi bahwa menikah itu sebenarnya mudah. Hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi ra, Rasullullah SAW bersabda: “Carilah sesuatu (mahar) cincin sekalipun terbuat dari besi. Demikianlah orang Jawa bahkan ada yang memberi mahar sandal ya tetap jalan, pernikahan dan syarat tertentu tidak menjadi penghalang jika sudah sama-sama saling memahami.
Dalam persoalan zakat pun di Indonesia termasuk yang paling menyesuaikan berbeda dengan di Arab. Persoalan ini sudah saya bahas sekilas dan bisa dibaca di link berikut : http://wokolicious.blogspot.com/2022/06/kuliah-bersama-prof-mujamil-qomar-edisi.html
Saya menambahkan persoalan selebrasi para pemain bolanya di sini bahkan lebih islami. Misalnya posisi selebrasi di tempat pertama diduduki dengan gaya bersujud, selanjutnya disusul oleh salto, menembak, slading teckel, hormat, hingga mengelap sepatu. Selebrasi sujud syukur tentu tidak berkembang di Arab sedangkan di Indonesia gaya setelah mencetak gol ini begitu populer. Di sinilah barangkali para pemain bola juga berfungsi sebagai juru dakwah di lapangan hijau.
Sebenarnya masih banyak persoalan lain yang jika di negeri asalnya justru biasa saja sedangkan di Indonesia begitu kreatif dalam memaknai Islam. Untuk persoalan ini dalam bidang pendidikan saja misalnya bisa kita simak pembahasan lengkap di buku Prof Mujamil Qomar dengan judul Moderasi Islam Indonesia ( Wajah Keberagaman Progresif, Inklusif dan Pluralis). Di buku tersebut beliau banyak menarasikan bahwa Islam di Indonesia justru mengalami pemaknaan kreatif oleh pemeluknya. Sehingga di Indonesia Islam, dengan kebudayaan, politik, tradisi dan sosial selalu beriringan secara harmonis. Oleh karena itu percis seperti sebuah pesan bahwa Islam akan berkembang dengan budayanya bukan dengan peperangan atau ekspansi.
the woks institute l rumah peradaban 21/6/22
Keep up, Mas Woko!
BalasHapusAlhamdulillah, dapat pencerahan lagi mas Woko.
BalasHapus