Langsung ke konten utama

Mengenal Kitab Pesantren: Kitab Qudwatul Hasanah karya Sayyid Muhammad




Woks

Fenomena kekinian banyak orang mendaku sebagai ustadz padahal secara keilmuan termasuk kategori belum mumpuni. Walaupun demikian mayoritas ustadz-ustadz tersebut berani menyampaikan ceramahnya ke sana-sini. Fenomena tersebut dalam dakwah sering disebut kucing menyebut diri singa. Orang yang merasa percaya diri padahal secara kemampuan sangat minim literasi.

Perlulah sebelum menjadi pendakwah harus memiliki ilmu terlebih dahulu. Setelah itu kuasai medan dengan memahami retorika dakwah, etika, seni hingga saku untuk menghadapi kenyataan (baca: masyarakat). Salah satu buku saku wajib bagi para calon dai yaitu kitab karangan Sayyid Muhammad Al Qudwatul Hasanah fii Manhajidda'wah.

Dari banyak karya Sayyid Muhammad yang perlu untuk dikaji di pesantren terkhusus santri jurusan dakwah adalah kitab Al Qudwatul Hasanah ini. Anda tentu tahu mualif kitab ini adalah ulama besar, pendekar Aswaja di tanah Haramain serta guru dari banyak ulama di Indonesia. Beliau tentu sangat mahir dan faham terutama dalam dakwah nan memikat. Sehingga Islam di tangan pendakwah yang tepat akan terasa nikmat. Akan tetapi sebaliknya Islam di tangan orang jahil hanya ber-output caci maki.

Kitab Al Qudwatul Hasanah fii Manhajidda'wah ilaa Allah, merupakan buah karya Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani. Kitab ini diterbitkan atas prakarsa para alumni Abuya Al Maliki Al Hasani atau Ha'iah Ash Shofwah Al Malikiyyah yang berpusat di Sidoarjo. Kitab ini langsung ditahqiq oleh putra Abuya yaitu Sayyid Ahmad bin Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani.

Kitab Al Qudwatul Hasanah ini terdiri dari 10 bab berbentuk penjelasan singkat, deskripsi dan memiliki sumber rujukan baik dari al Qur'an maupun kitab hadits. Di antara 10 bab dalam kitab tersebut beliau menjelaskan tentang perjuangan Rasulullah SAW ketika awal mula berdakwah. Beliau juga menjelaskan tentang keikhlasan sebagai ruh berdakwah, berjuang untuk pendidikan jiwa agar mandiri, tekun, tangguh, selalu bersabar, memberi suri tauladan, seruan berpindah (hijrah) dan selalu kembali kepada Allah.

Isi keseluruhan kitab ini selain menyajikan perjuangan Rasulullah dalam berdakwah sekaligus menjadi tongkat agar seorang dai perpegang teguh di jalanNya yang lurus. Juga menyajikan step by stepnya dalam dakwah yang terdiri: pertama, mukadimah persiapan modal, faktor, perangkat dakwah serta bangunan kokoh akan pemurnian niat. Kedua, pintu masuk melewati ketulusan, keikhlasan serta terus melepaskan nafsu dan kepentingan pribadi. Ketiga, amal jad atau kerja keras untuk terus mendidik diri sendiri dan umat.

Sebelum seseorang mendakwahkan Islam kepada orang lain maka dakwahkan dulu pada diri sendiri. Sehingga dengan begitu seseorang akan berpikir mendidik jiwanya agar mampu memuliakan dan menghormati orang lain. Itulah salah satu inti dakwah yang disampaikan Sayyid Muhammad.

Menurut Habib Muhammad bin Abdurrahman Al Baity Tulungagung jika mengkristalkan kitab Al Qudwatul Hasanah ini setidaknya ada 2 hal utama modal berdakwah yaitu: menghadapi dengan sabar dan mendo'akan agar mendapat hidayah. Salah satu tantangan dakwah pastinya siap untuk dibenci atau menghadapi ujian. Jika seorang dai tidak ingin menghadapi aral melintang di medan dakwah maka tak usah saja menjadi pendakwah. Kita semua sepertinya memang perlu mengkaji kitab ini secara serius dan memang laik dipertimbangkan. Selamat membaca.[]

the woks institute l rumah peradaban 4/6/22


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde