Langsung ke konten utama

Catatan di Pojok Sekolah





Di depan perpisahan saya adalah laki-laki lemah. Di depan air mata kekuatan tak ada artinya. - Woko Utoro

Siang itu tepat pukul 09:15 di hari Jum'at barangkali akan saya kenang sebagai hari bersejarah sekaligus lara. Entah apa yang merasuki saya, mungkin demikian orang-orang berpendapat mengenai keputusan saya. Tapi apa mau dikata momen itu sudah saya lewati.

Sejak pagi sesudah surat sakti pengunduran diri itu saya tanda tangani lalu sesegera mungkin saya taruh di meja admin. Bukan tanpa etika, saya justru sejak pagi menunggu dan ternyata orang-orang sudah sibuk dengan urusan masing-masing termasuk ziarah umrah dan pengajian. Akhirnya semua berjalan apa adanya dan saya sudah memprediksi konsekuensinya.

Tepat pukul 10:00 siang saya berpamitan dengan wali kelas dan beberapa guru yang ada. Di sana saya mendapat wedjangan hidup yang tak akan terlupakan. Mungkin selebihnya saya tak akan lupa bingkisan dari seorang guru tahfidz serta amplop putih dari guru kelas. Hingga akhirnya dengan sebungkus kresek putih berisi nasi lauk saya pun pamit. Waktu terus mengejar sedangkan hari Jum'at begitu singkat. Saya harus segera menemui anak damping yaitu Agung dan Alvaro untuk pamitan.

Di sudut ruangan di antara gedung depan lorong itulah barangkali frekuensi dua bocah itu terkoneksi. Saya pun bertemu mereka tanpa susah payah mencari. Alvaro sesegera mungkin menghampiri dengan langgam khasnya, "Pak Ustadz" agar mengabari mamanya untuk minta dijemput. Sedangkan Agung sesuai gayanya yang banyak bertanya dan mengulangi pertanyaan ditambah salaman khasnya. Di momen inilah saya mulai kebingungan kata dan bahasa apa yang digunakan untuk meyakinkan dua bocah itu. Bahwa saya akan pamit undur diri dari sekolah ini.

Tapi alhamdulilah sesuai prediksi mereka baik-baik saja. Alvaro dengan gaya rasional nya santai menanggapi bahwa saya akan purna tugas. Alvaro memang datar ia menganggap saya akan keluar dan naik pangkat maka jika keputusan itu diambil dia santai saja. Dengan senyum khas dan rambut kriwulnya ia hanya menatap saya sederhana, sambil sesekali mengkibaskan tanganya. Sedangkan Agung nampak kebingungan dan saya paham dia. Bocah Grabb itu memang selalu tidak mengerti akan arti perpisahan. Yang ia tahu hanya, "apakah ustadz akan pindah?" dan itu pun dijawab oleh Alvaro, "iya Gung, ustadz mau naik pangkat". Tapi bagaimanapun juga mereka adalah kelas 6 yang polos. Maka pantaslah jika mereka masih memerlukan pendampingan.

Dalam keadaan flu batuk dan kurang enak badan saya mencoba bertahan. Sebenarnya secara jujur hati saya hancur. Entah harus bagaimana lagi sedangkan semua ini adalah keputusan bulat. Beberapa kali saya melihat wajah Agung nampak kebingungan bahkan sesekali memerah entah marah atau guncang. Sedangkan Alvaro masih santai dan memang sedang menunggu jemputan. Keadaan itu akhirnya saya didatangi wali kelas bersama kawan beliau menenangkan sekaligus memberi pengertian jika nanti Ustadz Woko sudah tidak mendampingi maka Agung Alvaro harus rajin belajar dan nurut dengan wali kelas. Selain itu seorang guru muda sama satu profesi dengan saya nampaknya kesal dan gugat. Ia seperti sedang menahan amarah dan rasa kecewa. Rasanya ia ingin menampar wajah saya karena keputusan yang mendadak itu. Akan tetapi saya hanya bisa diam. Saya sesekali hanya melihat wajahnya yang nampak pucat sambil menguatkan psikologisnya bahwa semua akan baik-baik saja. Akhirnya kita pun berpisah sambil saya menjanjikan bahwa di dunia maya silaturahmi masih terbuka luas.

Waktu menunjukkan pukul 11:00 sekolah mulai sepi dari anak-anak sedangkan tamu-tamu pengajian mulai berdatangan. Tak lupa para polisi perempuan juga ambil bagian dalam pengamanan. Tiba-tiba saya mendapat laporan bahwa Agung tengah terisak dalam tangis. Di pojokan dekat mushola bocah Grabb itu menangis tersedu-sedu katanya ia kecewa dengan keputusan saya. Mendengar hal itu saya hanya tertunduk lesu. Saya tentu merasa berdosa dengan Agung dan umumnya dengan Alvaro berserta perkembangan mereka. Tapi apa mau dikata karena krisis kepemimpinan akhirnya mereka terkena dampaknya.

Singkatnya saya mencoba tenang. Saya coba datangi Agung dan sesekali mencoba merangkulnya. Saya tanya mengapa menangis? apakah lantaran saya. Ternyata di luar dugaan, Agung bukan menangisi saya tapi karena jemputan Grabb nya belum juga datang. Rasanya saya ingin tertawa sekaligus misuhi diri saya. Tapi akhirnya saya memesankan Grabb sambil dibantu seorang kawan. Sedangkan ibunya Agung sesuai tradisi sangat sulit dihubungi. Alvaro sudah dijemput sejak tadi sedangkan Agung baru saja pulang dengan Abang Grabbnya. Kami pun berpisah dalam keramaian.

Flashback singkat, saya mengenal Alvaro baru di kelas 6. Sebenarnya saya sudah tahu namanya sejak di kelas 3 dulu. Tapi saya tidak tahu apa problem psikologis yang menyebabkan ia minta pendampingan. Setelah kelas 6 itu saya baru paham bahwa bocah blasteran anak pegawai BUMN itu mengalami keterlambatan pada syaraf otak. Akibatnya ia slow learner serta emosi yang tak terkendali. Di sisi lain pola tidur sejak kecil yang tak wajar membuatnya selalu tidur di kelas. Ditambah lagi ia mudah memiliki tipe pikiran leterlek alias harus sama dengan buku. Sehingga menghadapi Alvaro harus ekstra sabar. Memberi pengertian dan memahaminya.

Agung atau sering saya sapa Si Jagung sudah saya kenal sejak kelas 3. Ia seorang siswa pindahan dari Trenggalek. Anak seorang wiraswasta itu terlambat penanganan sejak di masa kecilnya sehingga berdampak hingga kini. Waktu di kelas 3 dan bertemu lagi di kelas 6 saya mengira bahwa ia masuk kategori disleksia ternyata saya salah. Setelah saya pelajari Agung ternyata masuk kategori retardasi mental ringan atau bahkan autism. Salah satu hal mengapa kategori itu pas buatnya karena berciri-ciri: sering mengulang kata atau tanya, lebih fokus dengan benda, mudah mengibaskan tangannya, tidak fokus dan sulit menatap wajah orang lain, tidak mau dipeluk, dalam hal kognitif masih seperti anak usia 5-7 tahun.

Walau bagaimanapun akhirnya hari itu saya berhasil pamit dengan mereka. Saya memohon maaf pada mereka sekaligus memohon do'a agar terus diberi kekuatan lahir batin untuk menjalankan amanah lain yang intinya bisa bermanfaat bagi banyak orang. Saya belajar pada mereka akan arti kepolosan, ketulusan dan kesederhanaan. Kesabaran dalam mendampingi mereka begitu juga terus saya asah hingga kini. Saya belajar kerapihan dan keindahan tulisan ala Alvaro termasuk kritisnya terhadap sesuatu. Saya belajar akan rasa ingin tahu dan sederhananya seorang Agung. Dan hal yang akan saya ingat seumur hidup dari Agung adalah soal keshalehan sosialnya. Saya tidak pernah mengajari bagaimana cara membersihkan tempat ibadah tapi dengan sigap setiap akan shalat dhuhur/asyar dia sudah dengan pel di tanganya. Membersihkan lantai tempat lalu lalang anak-anak selepas berwudhu.

Dari lubuk hati paling dalam, Agung dan Alvaro saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Jika saya masih layak disebut ustadz, toh dalam waktu cepat atau lambat kita akan bersua lagi. Saya terus berdo'a buat kesuksesan kalian berdua. Jangan tinggalkan shalat dan selalu hormat guru orang tua. 

Penghujung September 2022

Woko Utoro 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde