Langsung ke konten utama

Fobia Simbol 30 September dan Tantangan Pendidikan Islam




Woks

Setiap tanggal 30 September pasti kita selalu diingatkan dengan peristiwa pilu, tragedi berdarah bangsa ini karena sebuah pertaruhan politik. Seperti halnya foto yang mengingatkan momen psikologis di dalamnya, tanggal 30/S pun menjadi waktu yang tak pernah dilupakan bangsa ini. Entah sejak kapan orang-orang justru lebih gandrung dengan tragedi berdarah daripada momen lain seperti kelahiran, prestasi atau peristiwa bersejarah lainnya di luar tragedi pilu.

Jika ada survei yang menyebutkan apakah orang lebih ingat momen pilu atau cinta rasanya jawabannya lebih ke peristiwa pertama. Ya, orang lebih mengingat tragedi pilu daripada momen berbunga-bunga. Sudah berapa banyak sobat ambyar atau barisan para mantan yang menjadi korban sehingga pesakitan adalah hal yang selalu diingat daripada saat saling memiliki. Alasan lain mengapa orang mudah mengingat momen pilu? karena masyarakat kita masih memegang sindrom Joker phobia alias, "kejahatan itu berawal dari kebaikan yang tersakiti". Padahal konsepnya tidak demikian. Yang jelas masyarakat juga masih mengidap ketakutan akan simbol sudah di level akut bahkan di level phobia.

Menurut ilmu psikologi ketakutan adalah respon negatif terhadap suatu pengalaman, sedangkan phobia adalah ketakutan luar biasa, berlebihan dan tidak realistis. Keduanya lebih dari sekadar kecemasan atau rasa khawatir akibat memikirkan sesuatu yang belum terjadi (Halgin & Whitebourne, 1997). Lantas bagaimana 30/S bisa menjadi bumbu yang selalu ditabur setiap tahunnya dan polanya sudah bisa ditebak. Apakah hal itu hanya sekadar hantu yang datang temporal dan sengaja jadi topik politik ketakutan. Lalu bagaimana dunia pendidikan merespon hal ini sebagai sebuah pembelajaran.

Pendidikan dan Isu 30 September

Menurut saya pendidikan hari ini masih buta akan sejarah. Terlebih ketika pembelajaran sejarah dihapuskan dari muatan utama di sekolah. Rasanya ini akan kontradiktif dengan kenyataan yang ada. Di satu sisi guru harus menjelaskan mengenai sejarah 30/S itu akan tetapi di sisi lain pelajaran sejarah bukan konsumsi utama.

Rasanya kita memerlukan strategi khusus dalam merespon pelajaran sejarah khususnya yang memiliki penalaran mendalam. Karena sejarah bersifat debatebel maka seorang guru perlalu memiliki bacaan yang juga kredibel agar anak didik tidak tersesatkan. Hal yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana mengolah pengetahuan sejarah di media sosial.

Selama ini media sosial masih menjadi subyek yang meresahkan lebih lagi ketika peristiwa berdarah mencuat kepermukaan. Pemanfaatan medsos di dunia pendidikan sendiri belum begitu maksimal. Sehingga tantangan ke depan dunia pendidikan semakin jelas bagaimana bisa menetralisir isu-isu kemanusiaan tersebut. Pendidikan juga punya tanggung jawab besar terutama dalam memberikan pemahaman kepada siswa SMA dan mahasiswa di tingkat perguruan tinggi. Pasalnya terkait dengan ideologi dan isme-isme sudah diajarkan kepada mereka hingga bagaimana hal itu dimaknai sebagi pengetahuan sejarah.

Di sinilah pentingnya dunia pendidikan untuk terus mengupayakan, memberi pemahaman, dan menengahi jalan pikiran para siswa guna mendapatkan pengertian sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan. Sejarah yang mampu menjadi perekat bangsa untuk terus belajar dari masa silam tentang arti kehidupan. Selamat memperingati hari kesaktian Pancasila 2022.

the woks institute l rumah peradaban 1/10/11




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde