Langsung ke konten utama

Review Buku Satu Islam Ragam Epistemologi




Woks

Membaca buku karya Dr. Aksin Wijaya (sekarang guru besar IAIN Ponorogo) akan membuka ruang berpikir kita mengenai Islam. Buku ini tergolong berani dan transformatif. Dr. Aksin sebagai penulis tidak merasa canggung untuk memberikan wacana baru seputar epistemologi Islam sebagai agama dan ilmu di tengah para pemikir besar klasik sampai modern.

Ya buku ini berbicara banyak hal seputar epistemologi Islam apakah ada atau justru hanya bagian tak terpisahkan dari tradisi filsafat dan Barat. Buku ini terdiri dari 8 bab yang membahas epistemologi sejak periode awal di masa klasik Islam sampai dengan tawaran penulis tentang logika dalam berpikir agama. Buku ini sebenarnya merupakan proposal penelitian kompetitif kolaboratif beliau bersama Dr. Rodli Makmun, Dr. Miftahul Huda dan Dr. Anis Thaha. Akan tetapi karena di tengah perjalanan terjadi kendala maka penelitian tersebut terpaksa dihentikan dan dijadikan karya individu.

Dr. Aksin merasa di ranah epistemologi, Islam justru masih merapal dan perlu inovasi dalam berpikir. Dalam tatanan praktis cara berpikir tersebut sangat diperlukan, oleh karenanya Dr. Aksin menawarkan cara berpikir epistemologi Islam antroposentris transformatif. Epistemologi yang Dr. Aksin tawarkan tentu berbeda dan masih berpijak dari pendahulunya seperti: epistemologi peripatetik emanasionis Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, keraguan sufistik Imam Ghazali, peripatetik teleologis Ibnu Rusyd, iluminasi Suhrawardi, transendental Mulla Sadra, iluminasi transenden Mehdi Ha'iri Yazdi, sekularisasi Islam Nurcholish Madjid, Islamisasi pengetahuan Naquib Al Attas, pengilmuan Islam Kuntowidjoyo, pribumisasi Islam Gus Dur, jaring laba-laba keilmuan Amin Abdullah dan pohon keilmuan Imam Suprayogo.

Menurut Dr. Aksin kita meyakini bahwa Islam adalah agama tunggal yang lahir dari sang Maha Tunggal. Akan tetapi ketika masuk ke dalam ranah pemahaman manusia, Islam menjadi beragam. Pada bagian inilah Islam terpilah menjadi Islam ideal dan Islam historis. Islam ideal tentu hanya dalam pandangan Tuhan dan nabinya, sedangkan Islam historis justru merasuk ke setiap tradisi budaya manusia. Maka Islam historis ini lebih bersifat realistis, relatif, partikular, terikat ruang waktu dan pastinya dalam genggaman manusia. Dari Islam historis inilah pada akhirnya melahirkan beragam epistemologi yang menjadi dasar sekaligus membentuk watak khas.

Dr. Aksin mengawali tulisan ini dengan menyuguhkan ragam epistemologi yang sudah diformulasikan oleh kalangan cendekiawan Muslim sejak Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina hingga Nurcholish Madjid dan Imam Suprayogo. Dr. Aksin menginginkan adanya upaya untuk menggali eksistensi epistemologi Islam seperti pendahulunya di tengah gejolak imperialisme epistemologi (Sardar, 1998). Maka Dr. Aksin menyuguhkan respon para ahli tersebut dalam upaya menerjemahkan epistemologi Islam yang sesungguhnya. Karena bagaimanapun juga epistemologi adalah cara penggalian pengetahuan yang melahirkan paradigma.

Di ranah praktis karena epistemologi juga dikembangkan dalam perguruan tinggi Islam, Dr. Aksin tidak segan mengkritik salah satunya soal pohon keilmuan Imam Suprayogo. Dr. Aksin menuliskan, "paparan argumentasi integrasi keilmuan yang ditawarkan Imam Suprayogo itu terlihat rancu. Di satu sisi menolak dibuatnya disiplin keilmuan Islam yang terpisah dari ilmu umum dan menjadikan al Qur'an sebagai sumber utama akan tetapi di sisi yang lain ia masih menggunakan pemilihan fardhu kifayah dan fardhu ain bagi pencari ilmu umum dan agama seperti nalar dikotomi ilmu ala Imam Ghazali" (hlm, 322).

Di bagian akhir buku ini menuliskan kegundahan Dr. Aksin di mana agama selalu dimaknai sebagai sesuatu yang melangit. Anggapan orang bahwa Islam ideal selalu menjadi dasar kuat dalam menyelesaikan problematika. Padahal di ranah ini Islam sudah berada di tangan manusia (antroposentris) maka dari itu soal beragama pun mulai menemukan tanya soal "taklif" atau "hak". Orang modern memang memiliki pemikiran yang berbeda dengan orang dulu sehingga cara pandang orang sekarang cenderung pragmatis. Dr. Aksin hanya tidak ingin orang beragama justru terjebak dalam nalar teosentris eskatologis yang menjadikan Tuhan sebagai eksekutor di bumi. Tuhan dijadikan jargon utama dalam menghakimi sesuatu dengan persepsi kelompok mereka. Maka dari itu bangunan nalar Islam antroposentris transformatif harus diketengahkan bahwa soal eksekusi biarlah pengadilan Tuhan di akhirat kelak. Bagaimanapun juga manusia adalah pelaksana pesan moral dan legislasi Tuhan di bumi, tak lebih.[]

Judul : Satu Islam Ragam Epistemologi
Penulis : Dr. Aksin Wijaya
Penerbit : IRCiSoD
Tahun : 2020
Tebal : 410 hlm
ISBN : 978-623-6699-02-7

the woks institute l rumah peradaban 21/10/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde