Langsung ke konten utama

Catatan Sosialisasi Literasi di Hotel Crown




Woks

Saya sangat senang sekali ketika dikabari Pak Fauzan untuk ikut dalam acara sosialisasi literasi di Hotel Crown mewakili TBM Matahari. Pasalnya acara itu sekaligus membuat pengalaman pertama masuk hotel. Hotel bagi saya adalah tempat orang perlente, pejabat, berkedudukan, yang membuat acara sekaligus bermalam. Tapi bukan hotel yang jadi titik pembicaraan tulisan ini melainkan literasi.

Sejak pagi hujan mengguyur tak henti-hentinya. Bahkan kabar berita bersliweran beberapa daerah seperti di Blitar tergenang banjir. Saya berangkat pagi bersama teman sekitar pukul 09:00 padahal di jadwal tertulis 08:00 wib. Saya tidak membawa motor sendiri karena surat-suratnya tidak lengkap. Maka dari itu ikut teman adalah solusi utama.

Di tempat ternyata acara belum dimulai karena rombongan bupati datang sekitar jam 10 siang. Ketika semua rombongan datang acarapun langsung dimulai dengan seremonial. Di sana saya duduk bergabung bersama Pak Edi, Pak Febri, Pak Wasisto dan Pak Fauzan. Acara ini adalah Pengukuhan Bunda Literasi Tulungagung dilanjutkan Sosialisasi Budaya Baca dan Literasi Pada Satuan Pendidikan Dasar dan Pendidikan Khusus Serta Masyarakat. Bertempat di Ballroom Hotel Crown Victoria acara pun berlangsung cepat khidmat.

Saya sempat mencatat mengapa harus bunda literasi bukan bapak atau saudara? karena bunda atau ibu adalah madrasah pertama bagi anak. Ia adalah simbol hidup bagi perkembangan pengetahuan anak menuju masa depannya. Maka dari itu ibu adalah segalanya bagi anak dalam menatap hari esok. Ibulah yang memberikan lampu penerang bahwa ilmu, pendidikan dan moral adalah harta paling berharga. Maka dari itu tidak salah jika Nabi Muhammad SAW bergelar "ummi" atau yang keibuan, pangemong, lugu, orisinil dan tentunya diarahkan oleh adanya ilmu (wahyu).

Setelah pengukuhan, sambutan dan arahan bupati acara pun usai dan dilanjutkan sosialisasi dari Perpusda Tulungagung. Menurut petugas perpustakaan upaya untuk menarik minat baca masyarakat harus digalakkan sejaj dini. Maka dari itu dalam sesi sosialisasi tersebut pihaknya mengundang perwakilan instansi terkait salah satunya ibu camat, media, akademisi, guru dan pegiat literasi akar rumput. Tujuan agar kegiatan tersebut dapat tersampaikan ke masyarakat luas.

Kegiatan membaca adalah aktivitas penunjang kemajuan suatu daerah termasuk keberadaan perpustakaan. Maka dari itu Perpusda sebagai induk perpustakaan di sebuah kabupaten memberikan informasi terkait bimbingan teknis, pengelolaan, serta ragam kegiatan. Perpusda sendiri memiliki kegiatan berupa membaca bareng dan mendongeng. Bagi mereka pengelola perpustakaan di desa atau sekolah bisa bekerja sama dengan Perpusda untuk mengembangkan, sharing serta memberi pelayanan berupa peminjaman buku serta kolaborasi lainnya.

Acara ini pun diakhiri dengan sesi tanya jawab termasuk makan bersama. Terakhir para peserta diminta untuk mengisi legalitas terkait kepengurusan perpustakaan. Sebisa mungkin perpustakaan menjadi tonggak peradaban di mulai dari instansi paling bawah yaitu rumah, desa, sekolah. Bagi peserta yang ketinggalan materi bisa mendownload melalui link berikut: https://drive.google.com/drive/u/0/mobile/folders/1mXfyCRlZsoqpUXcLS3ZxidSxtz3u6yQ2?usp=sharing Setelah usai acara saya langsung bertolak bersama Ustadz Edi Suryanto teman kami sewaktu di Al Azhaar Tulungagung. Beliau mengantar saya hingga warung Mak Tun dan singgah sejenak untuk ngopi sambil menunggu cuaca karena hujan kembali mengguyur.

the woks institute l rumah peradaban 18/10/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde