Langsung ke konten utama

Milad TP ke-12: Berbincang dan Mengenang




Woks

Sore itu aku bertolak ke gedung MWC NU Sumbergempol. Di sana sudah ada panitia Milad TP menunggu peserta berdatangan. Sebelum ke sana aku sempatkan mencari ATM untuk mencairkan dana dari seseorang untuk acara tersebut. Setelah mendapatkan ATM aku langsung menuju acara. Di sana masih nampak sepi kecuali beberapa peserta dan seorang alumni.

Di sana para peserta sudah melingkar dengan hidangan khas berupa jajan yang diwadahi kertas streples. Kopi hangat dan es sirup juga tersaji sebagai minuman pelepas dahaga. Singkatnya aku langsung masuk ke dalam aula dan membaur bersama para peserta. Kepul asap rokok dan rangkaian pertanyaan tersaji satu persatu dari para Maba, mengupas apa itu TP, apa yang sudah didapatkan dalam bangku perkuliahan dan akan ke mana setelah lulus nanti? Pertanyaan klasik itu terus terulang sepanjang tahun.

Waktu semakin malam acara masih datar-datar saja. Hingga akhirnya angkatan ku berdatangan terdiri dari Hammam Defa, Anwar Isbani dan Ubaidillah Hakim. Ada juga senior kami Pak Tri Abdul Rohman dan Mas Virgo Nandang serta Mas Rizki R. Syuhada. Mereka adalah alumni pelopor, mendobrak sekaligus pangemong. Di tengah kesibukan masih menyempatkan hadir untuk sarasehan, sebuah acara melingkar nan sederhana tapi gayeng dan hangat.

Suasana sudah mulai mencair. Kami pun bergerak maju, lingkaran semakin mengerucut ke depan. Hingga akhirnya ragam cerita pun dikupas dengan padat. Aku yang bertindak sebagai moderator berkisah tentang menariknya jurusan ini dan mantap memilih yang pertama. Aku juga berkisah betapa uniknya jurusan ini sehingga tidak semua orang dapat memahaminya. Setelah itu Hammam Defa menjelaskan tentang arti pentingnya organisasi dan menikmati proses. Ia menegaskan bahwa di jurusan TP itu bukan soal menjadi apa tapi soal proses apa yang dilakukan. Aku pun menambahkan bahwa hidup di TP bukan tentang apa yang dicari tapi tentang apa yang dinikmati (berproses).

Setelah itu Ubaidillah berkisah betapa asyiknya saat masih menjadi mahasiswa TP. Karena kesejarahan misalnya suasana di kelas, diskusi publik, tradisi tahlil, forling, berdebat, sayembara logo, organisasi dan lainya menjadi bumbu utama. Anwar Isbani pun menambahkan bahwa alumni TP bisa menjadi apa saja. Asalkan ada minat dan kemauan semua hal bisa dicapai. Yang terpenting meningkatkan keilmuan, relasi dan pengalaman. Acara ini pun semakin seru ketika Mas Virgo seperti biasanya dengan gaya tengilnya membuat peserta berpikir.

Ia menjelaskan tentang arti penting berpikir klinis, hendak apa dan seperti apa. Membahas keilmuan dan output pada jurusan pun ia tak pernah risau karena setiap orang memiliki bagian tersendiri. Kita tinggal hanya banyak membaca khususnya keilmuan filsafat agar pikiran terbuka. Bila perlu kita mempertahankan status sebagai mahasiswa. Apakah kuliah sebagai tujuan atau justru pelarian. Apakah kuliah itu keilmuan atau kerja. Banyak hal yang perlu dijawab dan menarik epistemologi sesuai dengan kapasitas. Selanjutnya Pak Tri menyuguhkan tanya apakah setiap orang ingin jadi PNS, jika ia jalanya sudah jelas. Tapi jika jurusan TP hanya berorientasi untuk itu siapkan saja mereka menjadi guru Aqidah Akhlak. Mas Rizky juga menambahkan pokok jadi apapun yang semangat kuliahnya. Jangan sampai kecewa menjadi saudara kita, eman-eman.




Setelah acara usai dengan diskusi dan tanya jawab. Akhirnya kami pun menutupnya dengan tradisi berdiri melingkar serta saling melempar kata mutiara. Sebelum itu kita juga menghadiahkan fatihah untuk para guru yang telah berpulang salah satunya Ibu Khalimatus Sa'diyah, Kajur kami kala itu, sosok yang murah hati. Dan kami memberikan amanah dari seorang alumni angkatan tahun 2014 yang bermurah hati mendonasikan hartanya untuk kegiatan milad tersebut. Ketika semua saling melempar quote akhirnya aku menutupnya dengan sebuah sajak singkat sebagai ungkapan rasa syukur di 12 tahun jurusan Tasawuf Psikoterapi :

12 tahun waktu yang masih kanak-kanak
waktu yang masih merapal jalan
jalan yang entah sampai mana muaranya
Kita hanya perlu menguatkan akar, menumbuhkan bunga dan buah

12 seperti Hawariyyun, sahabat Nabi Isa yang rela berjalan menempuh lelahnya menuju cahaya
mereka setia dan tanpa resah gelisah
hidup memang perlu keyakinan
seperti kata Rumi tak usah berlelah menunjukkan kemampuan cukup buktikan lewat perbuatan

12 tahun tempat menempa diri
mengikis kebodohan dan menikmati kerinduan 
waktu yang tak boleh lewat dengan hampa
nikmati prosesnya dan tuai hasilnya

the woks institute l rumah peradaban 31/10/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde