Langsung ke konten utama

Santri PPHS Ziarah Wali Brantas




Woks

Kemarin 27 Oktober 2022 tepat satu hari sebelum peringatan sumpah pemuda. Kami santri PPHS melaksanakan kegiatan ziarah wali Brantas. Entah istilah apa yang pas untuk judul catatan ini ketika harus mewakili wali plat AE, wali Ploso, wali gunung, wali lingkar selatan, atau wali dari kota-kota yang dituju (TanPoLekGung) Pacitan, Ponorogo, Trenggalek dan Tulungagung.

Yang jelas kami memilih judul wali Brantas karena memang dari wali-wali yang diziarahi telah melahirkan banyak ulama kyai yang mendirikan pondok di sekitar sungai Brantas. Mereka menyebar hampir ke semua wilayah Mataraman. Menurut Heru Harjo Hutomo pondok-pondok yang berdiri di sekitar kali Brantas tak lain karena dulu para sesepuh berafiliasi dengan tarekat Syattariyah (warisan keraton) dan Qadiriyah.

Ziarah wali kali ini dalam rangka ngancani (menemani) Abah Sholeh dan Bu Nyai Nita. Kebetulan beberapa waktu lalu beliau diminta KH. Najib Zamzami (Mayan Kediri) jika ziarah ke Ponorogo untuk singgah ke Makam KH. Hasan Jauhari yang masih tergolong nasab dengan beliau. Dari sanalah akhirnya kami santri sepuh dipilih Abah menemani. Dengan kendaraan Elf Long kami pun berangkat.

Kami menunggu sejak shubuh ternyata di luar dugaan. Elf yang akan kami tumpangi mengalami keterlambatan, akhirnya kami berangkat sekitar pukul 09:00 siang. Langsung saja tempat tujuan pertama adalah Makam Syeikh Yahudo di Pacitan. Sepanjang perjalanan dari Panggul Trenggalek hingga di Pacitan kami disuguhkan pemandangan berupa pohon pinus. Di sekelilingnya batuan curam dan ditutupi kabut menjadi sajian utama. Tidak hanya pohon, terasering, jalanan berkelok dan batuan cadas cukup mengoyak perut ku hingga hampir muntah. Akan tetapi sesekali tarian awan, rintik hujan dan birunya laut pantai mengubah suasana batin. Singkat kata kami pun sampai di Masjid Syeikh Yahudo.




Setelah menunaikan shalat dzuhur kami pun langsung menuju ke maqbarah Syeikh Yahudo yang ternyata berada di atas bukit. Untuk ke sana kami harus menaiki beberapa anak tangga dan sampai di tempat harus melepas alas kaki. Makam beliau di atas ketinggian itu masih nampak asri beralaskan tanah liat dan di kelilingi jenis pohon seperti pepaya, durian, tangkil, jonjing, serta trembesi.




Makam Syeikh Yahudo atau Syeikh Abdurrahman berada di Dusun Margodadi, Desa Nogosari, Kecamatan Ngadirojo, Pacitan. Sekilas beliau adalah Mbah Buyut dari Syeikh Ihsan bin Dahlan Jampes (Pengarang Kitab Sirajuth Thalibin syarh Minhajul Abidin) yang tak lain kakak dari KH. Marzuki Dahlan Lirboyo. Beliau diyakini sebagai penyebar Islam di wilayah Nogosari Lorok Pacitan yang masih bersambung dengan Ki Ageng Muhammad Besari Tegalsari Ponorogo. Menurut beberapa referensi, KH. Djazuli Utsman pendiri Pondok Ploso adalah anak turun dari Syeikh Yahudo. Mungkin di sinilah salah satu mengapa Abah kami ingin berziarah hingga ke pelosok Pacitan.




Selepas dari Pacitan kami langsung bertolak ke Bumi Reog. Kami dengan puas harus melewati jalanan yang penuh kelok itu tapi akhirnya sore sekitar jam 4:30 kami sampai di Ponorogo walaupun sempat diguyur hujan, terkendala jalan dan jembatan rusak. Kami langsung singgah ke Lengkong di rumah salah satu santri yaitu Mas Aziz Alfiyan atau Gintoki. Di sana kami dijamu, makan sore lalu shalat asyar. Dari sana kami langsung bertolak menuju Jenangan tempat Mbah Bethoro Katong disarekan. Mbah Bethoro Katong atau Raden Joko Piturun adalah salah satu putra dari Raja Brawijaya V. Beliau adalah Adipati pertama Ponorogo dulu Wengker, penyebar Islam sekaligus murid dari Kyai Muslim atau Ki Ageng Mirah, murid Sunan Kalijaga. Selepas magrib di malam Jum'at kami langsung berziarah di maqbarah beliau yang ternyata tempatnya agak masuk ke dalam. Setelah dibukakan pintu makam oleh juru kunci kami pun berziarah memanjatkan do'a dengan puas.









Waktu pun semakin malam kami langsung bergegas menuju Tegalsari yaitu maqbarah Ki Ageng Muhammad Besari. Ki Ageng Muhammad Besari adalah ayah dari Ki Ageng Hasan Besari serta putra Ki Ageng Anom Besari. Beliau adalah maha guru yang mendidik ulama dan umara. Raden Ngabehi Ronggowarsito atau Raden Bagus Burhan sang pujangga besar Surakarta adalah salah satu murid anaknya.




Waktu semakin malam dan syahdu. Setelah berziarah kami langsung mampir di angkringan sekitar parkiran makam. Suasana makin ramai, kepul asap rokok dan coletahan anak muda menggugah selera. Kopi dan gorengan hangat tersaji dengan nikmat. Setelah usai memburu wedhangan kami langsung shalat isya dan menuju Durenan Trenggalek ke makam Mbah Mesir.




Mbah Muhammad Mesir atau Abdul Mahsyir adalah waliyullah putra Mbah Yahudo Pacitan. Beliau seorang penyebar
agama Islam sekaligus penasihat Bupati Trenggalek pada saat itu. Beberapa kyai seperti Kyai Dahlan (ayah Syeikh Ihsan Jampes), Kyai Djazuli Utsman Ploso dan Kyai Abdul Fatah Mu'in Babul Ulum Durenan merupakan anak turun Mbah Mesir. Saat ziarah di maqbarah Mbah Mesir waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Suasananya makin wingit dan hawa dingin menyelimuti di antara makam lain di bawah pohon Beringin belakang Masjid Rohmiyyatul Baniin Joglo. Tapi akhirnya kami usai ziarah dan langsung menuju ke pegunungan Bolu di makam Srigading. Di sana kita menutup ziarah ke maqbarah Syeikh Basyaruddin.




Syeikh Basyaruddin bin Syeikh Abdurrahman terkenal sebagai tokoh pembabad desa Bolorejo. Beliau juga merupakan penasihat dari Adipati Mangundirono I yang tak lain merupakan Bupati Tulungagung pertama. Beliau juga merupakan saudara sepupu dari Ki Ageng Muhammad Besari Tegalsari Ponorogo yang bersambung sanad kepada Raja Brawijaya VI. Setiap malam Jum'at di kompleks makam beliau selalu dipadati para peziarah dari berbagai daerah.

Akhirnya pada pukul 01:00 dinihari kami sampai di pondok dengan selamat. Akan sangat disayangkan karena waktu sudah malam kami tidak sempat menemukan makam KH. Hasan Jauhari serta tidak mampir ke makam Sunan Kuning di Macanbang. Demikianlah napak tilas dan perjalanan ziarah kali ini bersama santri Himmatus Salamah Srigading. Semoga apa yang kami catat dapat bermanfaat dan mendapat keberkahan dari para kekasih Allah.

the woks institute l rumah peradaban 28/10/22



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde