Langsung ke konten utama

Catatan Untuk Apa Kuliah?




Woks

Siang itu selepas jum'atan aku langsung meluncur ke kampus. Di sana teman-teman sudah menunggu di gedung perpustakaan pusat. Agenda kali ini adalah menyimak sosialisasi seputar smartedu alias akses perpus baik secara offline maupun online. Kami pun beserta rombongan segera bergegas memasuki ruang utama dengan id card yang sudah di bagikan petugas.

Sejak awal aku sangat senang menyambut pertemuan ini. Aku melihat orang-orang sepuh, ibu-ibu dan bapak-bapak nampak semangat. Ada seorang ibu yang menggendong anaknya dan ternyata beliau calon magister. Ada seorang yang sudah berumur tapi ternyata mahasiswa program doktoral. Mereka dengan sisa-sisa tenaga dan kesibukannya masih menyempatkan kuliah. Aku langsung berseloroh untuk apa kuliah di usia lanjut?

Setelah semua sudah ber-id card akhirnya kami dipersilahkan duduk di ruangan khusus untuk mendengarkan pemaparan terkait fasilitas perpustakaan. Di antara peserta tepat di depanku ada KH. Muhson Hamdani, beliau Rais Syuriyah PCNU Tulungagung. Ada juga di belakang ku yaitu Gus Ahmad Kafa atau biasa disapa Cak Mad, beliau adalah putra KH. Kafabihi Mahrus sekaligus suami Neng Sheila Hasina Lirboyo. Ada juga teman kami Abah Sukir dan Pak Munahar, seorang perangkat di Desa Tarokan Kediri. Entah apa motivasi para tokoh itu sampai detik ini masih mengikuti kuliah.

Selepas acara pemaparan terkait fasilitas perpustakaan, akses jurnal dan submit artikel kami pun langsung berfoto ria. Setelah itu beberapa di antara kami berpamitan. Sedangkan rombongan lain memilih menepi untuk sekadar ngopi dan jagongan di kantin belakang gedung KH. Saifuddin Zuhri. Kami bercengkrama seputar tugas, dospem hingga keluarga. Salah satu hal yang ku ingat dalam perbincangan itu adalah selagi masih muda semangat keilmuan harus terus dipupuk. Karena ketika menjelang dewasa lalu tua energi terasa sirna, hidup diambang kecewa. Kata Pak Munahar, bukankah orang-orang sukses itu karena banyak bacaanya (beliau sambil menunjuk patung Gus Dur) di depan perpustakaan.

Selain itu kami berbincang kehidupan betapa peran keluarga sangat luar biasa. Keluarga adalah daya dorong kedua setelah diri sendiri. Dalam hal pendidikan support keluarga sangatlah kuat peranannya. Maka dari itu anak, istri atau suami adalah harta kekayaan yang tak terhingga. Tak terkecuali orang tua, kata para guru jika masih hidup kecuplah keningnya (memberi kasih sayang, penghormatan dan berbakti) jika sudah meninggal datangilah makamnya (sentuh dengan doa dan selalu bersambung ruhani).

Dua hal yang tak kalah menarik khusus ya ahlu jumbala jika mencari jodoh itu yang dekat. Ia yang memungkinkan hanya yang dekat dengan kita, ndak mungkin yang jauh misalnya di Hongkong, pungkas Abah Sukir membuat kami tertawa. Selanjutnya soal tradisi orang Jawa, misalnya weton dan lainya itu santai saja. Ketika anak tunggal apa harus diruwat, ketika anak pertama bertemu dengan anak ketiga apakah jodoh? kesemuanya bisa dikompromikan. Yang jelas adat tradisi Jawa tidak saklek dan semuanya memiliki jalannya tersendiri, walaupun kita tahu kaidah fikih al adatu muhakamah. Kata Abah, santai wae pokok enek seng cocok langsung nyatakan saja. Jika ditolak ya tinggal nyatakan ke lain pihak, kan masih banyak stok nya hehe.

Terakhir, barangkali ini menjawab dari judul tulisan di atas untuk apa sebenarnya kuliah?  tentu jawabannya bervariatif. Misalnya kuliah hanya mencari gelar, mengisi waktu luang, dipaksa orang tua, memperlambat pernikahan, tamba nganggur, tuntutan kerja, didorong oleh mertua, iri dengan teman, keinginan sendiri, dll. Yang jelas apapun alasannya intinya bukan pada kuliah tapi kesempatan menimba ilmu. Ada yang menyangkal, kan mencari ilmu tidak hanya di bangku sekolah? memang, tapi sekolah adalah institusi pendidikan formal yang memberi jalan, membuka pintu keilmuan. 

Ada yang masygul, kuliah percuma buang-buang waktu dan biaya. Mungkin di bagian ini kita bisa berdebat bisa jadi karena faktor individu tapi hal esensial bisa kita dapat dari pernyataan Imam Malik bin Anas bahwa salah jika menimba ilmu itu buang-buang waktu. Justru di luar jalur menimba ilmu itulah kita membuang waktu. Karena di sana kehilangan proses berpikir. Kata pepatah ketika proses berpikir mandek sejatinya kita telah mati walaupun jasadnya masih hidup. Nabi Muhammad SAW diberi wahyu pertama berupa "iqra" yang berarti membaca alias menimba ilmu. Bahkan al Qur'an menegaskan orang yang menimba ilmu akan ditinggikan derajatnya (Mujadalah:11). Ilmu bisa menunjukkan jalan ke sorga.[]

12 Rabiul Awal 1444 H

the woks institute l rumah peradaban 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde