Langsung ke konten utama

Review Buku Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas




Woks

Membaca Kuntowijoyo berarti membaca titik-titik embun di ujung pedang. Alirannya deras dan tentunya kritis. Kuntowijoyo melalui buku ini telah hanyak menyuguhkan hal-hal yang menyentak. Seorang Muhammadiyah, intelektual sekaligus budayawan itu memang piawai dalam menggerakkan pena-nya. Kali ini buku yang kita baca adalah kumpulan esai-esainya tentang politik dan budaya.

Buku Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas adalah satu dari sekian karya Kuntowijoyo yang berisi kumpulan esai. Sebelumnya ia telah menerbitkan beberapa tulisan terkenal seperti; Perubahan Sosial Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940 (buku ilmiah), Khotbah di Atas Bukit (novel), Dilarang Mencintai Bunga-bunga (cerpen), Suluk Awang-awung (puisi), dan Muslim Tanpa Masjid (esai). Kuntowijoyo memang penulis prolifik produktif bahkan ia masuk kategori akademisi cum sastrawan.

Buku esai ini berisi dua bab besar yaitu budaya terdiri dari 15 tulisan dan politik terdiri dari 19 tulisan. Rerata tulisan yang dimuat dalam buku ini mencerminkan alam pikiran Kuntowijoyo kritis dan penuh kritik. Ia tidak segan memberi komentar dan saran bagi masyarakat dan bangsa. Perihal kebudayaan misalnya Kuntowijoyo sudah memprediksi bahwa budaya bangsa kita sedikit demi sedikit luntur sejak memasuki milenium kedua. Misalnya banyak anak muda yang kehilangan sensibilitas alias kepekaan sosial, anak muda lebih gandrung lagu-lagu pop daripada gendingan, teror budaya dan berpikir mitos sudah terjadi sejak lama.

Mitos-mitos itu hidup di tengah masyarakat hingga menggerakkan sejarah baru. Misalnya pada konteks politik masyarakat masih mengenal istilah "ratu adil" sehingga mereka terus dibayangi sosok yang akan menjadi juru selamat baik di tengah kepungan perubahan maupun resesi ekonomi. Mitos-mitos itu muncul sejak lama yaitu era Majapahit hingga kesultanan Islam sekalipun seperti Pajang yang dipimpin Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir. Berpikir mitos berarti mengenyahkan sesuatu yang realitas menjadi pola abstrak. Dari sanalah akhirnya masyarakat kita masih belum berpikir maju. Kuntowijoyo bahkan tidak segan menyuguhkan orang Jawa yang feodal penuh dengan TBC sejak dulu. Soal weton atau naga dina pada pola pernikahan orang Jawa begitu menghormati warisan berpikir leluhurnya. Dari sanalah akhirnya kita akan dipaksa untuk mengikuti tradisi yang berkembang di masyarakat.

Walaupun demikian setidaknya lewat sejarah kita dapat terus belajar. Selama ini sejarah masih setia dalam memberikan penerang, petunjuk jalan bagi bangsa yang tersesat. Sejarah menjadi pangemong bagi bangsa yang masih balita. Kendati mitos-mitos itu berada di sekitar kita ada saja beberapa orang berpendapat bahwa solusi dari terkikisnya mitos adalah masyarakat teknologi. Katanya dengan teknologi dan modernisasi orang akan menggeser mitos menjadi berpikir realistis. Nyatanya menurut Kuntowijoyo sekalipun teknologi sudah maju menjelang PD II Jerman justru tidak bisa meninggalkan mitos berupa keunggulan ras tertentu. hlm. 104.

Menjadi ruh dalam buku ini yaitu sesuai dengan judul utama adalah di halaman 97 di mana Kuntowijoyo menawarkan adanya demitologi. Kuntowijoyo yang mewarisi pemikiran besar Muhammadiyah tentu saja berpatokan pada arah kemajuan. Ia menawarkan agar mitos bisa dikikis dengan berpikir ilmu pengetahuan, gerakan puritanisme (seperti cita-cita Muhammadiyah dalam memberantas TBC), dan lewat seni. 

Dalam konteks lebih luas Kuntowijoyo menginginkan adanya radikalisasi Pancasila. Artinya Pancasila sebagai ideologi bangsa harus dimaknai secara mendalam. Ia memaknai radikalisasi Pancasila dengan cara: kembalikan Pancasila ke jati dirinya, menjadikan Pancasila sebagai ilmu, tuntut Pancasila dilaksanakan secara konsisten, koheren dan koresponden, menjadi pelayan horizontal bukan vertikal, Pancasila sebagai kritik kebijakan. Dengan cara itulah rasanya masyarakat akan terbuka bahwa Pancasila merupakan antitesis buat melunturkan mitos. Demikianlah esai Kuntowijoyo mengenai mitos dan realitas yang patut kita baca.[]

Judul : Selamat Tinggal Mitos, Datang Realitas 
Penulis : Kuntowijoyo
Penerbit : IRCiSoD
Tahun : 2019
Tebal : 291 hlm
ISBN : 978-623-7378-02-0

the woks institute l rumah peradaban 1/11/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde