Langsung ke konten utama

Peringatan Maulid Nabi bersama KH. Khasanun, MA




Woks

Derap langkah sore itu menghantar kami ke Masjid Riyadul Jannah Srigading. Kebetulan tepat di malam kelahiran manusia agung Masjid Riyadul Jannah nduwe gawe peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1444 H. Acara selepas magrib diisi dengan pembacaan maulid al Barjanzi oleh santri PP. Himmatus Salamah.

Mendung memang sejak pagi dan hujan terus saja mengguyur. Kami pun menikmati suasana hingga akhirnya di panggung utama pembacaan maulid al Barjanzi dilangsungkan. Kami baca selepas tawasul lalu rawi 1-3 diselingi beberapa qasidah. Setelah itu ditutup dengan do'a dan mahalul qiyam. Acara pra pun usai kami langsung shalat isya dan ramah tamah di ndalem Bapak H. Thoha Zuhry. Setelahnya barulah mengikuti acara inti yaitu ngaji bareng KH. Khasanun, MA dari Ponorogo.




Acara seremonial dimulai dari pembukaan, pembacaan ayat suci al Qur'an, sambutan dan mauidhoh hasanah. Singkatnya acara inti dimulai, KH. Khasanun rawuh diiringi oleh rombongan tim sholawat Syubbanul Muhibbin. Beliau pun langsung naik ke panggung dan menyampaikan petuahnya. Beberapa catatan yang sudah saya himpun dari ceramah beliau adalah:

Jika kita senang ketika anak lahir tentu harus lebih senang lagi di saat momen kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Anak yang belum jelas masa depannya saja begitu disenangi lebih lagi ini kelahiran manusia agung yang besok akan mensyafaati kita.

Nabi Muhammad SAW itu mencrang kados rembulan atau bercahaya laksana purnama. Maka dari itu jika kita ingin terkena sinar indahnya perbanyaklah bershalawat kepadanya. Jika kita mengaku mencintai nabi maka seberapa banyak kita menyebut namanya.

Dalam sebuah lembaga, masjid atau desa secara umum jika ingin mletor cahaya dan dijauhi dari mleretnya sinar rembulan Nabi Muhammad SAW maka ikutilah cara-cara ini. Pertama, rajinlah bersedekah. Dengan sedekah sama dengan membersihkan harta. Ketika harta telah bersih maka rezeki akan lancar.

Kedua, muliakan agama. Jika orang berniat memuliakan agama maka hidupnya akan dijamin oleh Allah. Ketiga, rajinlah shalat jamaah. Jangan sampai masjid mushola dibangun tapi kita meruntuhkannya dengan tidak shalat berjamaah. Jika banyak dosanya biasanya akan menentukan berkah dan tidaknya hidup termasuk kemajuan ketentraman suatu desa. Jika ingin tentram damai tentu masyarakatnya tidak lupa dengan shalat berjamaah.

Keempat, mencintai, menghormati, memuliakan ilmu dan ahlu ilmi. Apalagi di Plosokandang ini banyak pondok dan terdapat kampus UIN Tulungagung di mana di sana orang-orang datang dari jauh untuk menimba ilmu. Alangkah berkahnya suatu desa yang ditempati oleh mereka para pencari ilmu. Para ahlu ilmi, para penghafal Qur'an doanya insyaallah ijabah.

Kelima, memuliakan pemimpin. Jika ingin suatu desa mendapat keberkahan Kanjeng Nabi Muhammad maka hormatilah pemimpin siapapun mereka dan termasuk latar belakangnya. Bagaimanapun juga pemimpin kafir satu malam lebih baik daripada tidak ada pemimpin. Artinya peran pemimpin itu sangat luar biasa dan jangan sampai ada kekosongan. Lebih lagi pemimpin yang memiliki visi memakmurkan agama Allah swt.

Keenam, dalam konteks lebih sempit di keluarga jika ingin mendapat nur Muhammad maka hormati suami. Dengan menghormati suami maka keluarga akan dimurahkan rezekinya. Begitu pula sebaliknya suami jangan sampai meremehkan istri. Karena dengan menyayangi istri berarti suami akan mendapatkan kebahagiaan yang luar biasa. Beliau pun menutup ceramah untuk hati-hati jika rambut telah memutih, mata rabun, pinggang sering sakit itu tanda usia sudah diambang pintu. Maka mintalah kepada Allah, selalulah memohon ampunan dan taubat.

Di momen kelahiran Kanjeng Nabi Muhammad SAW ini beliau mengajak mari memakmurkan desa dengan memperbanyak mengikuti amalan sunnah nabi. Dulu Arab adalah padang pasir tandus tak bermasa depan tapi dengan kehadiran Nabi Muhammad SAW kini bangsa Arab menjadi cerah bercahaya. Maka dari itu dengan wasilah Nabi Muhammad SAW semoga desa kita cerah dan bercahaya. Acara ini pun ditutup dengan do'a dan srakal oleh beliau KH. Abdul Kholiq. []

Srigading, 12 Rabiul Awal 1444 H

the woks institute l rumah peradaban 8/10/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde