Langsung ke konten utama

Bincang-bincang Alam Ghaib




Woks

Sore itu selepas pulang dari suatu acara pernikahan, motor kami melaju ke suatu rumah sederhana pinggiran kali (Pinka). Sesampainya di sana sang tuan rumah menyambut hangat dan langsung mempersilahkan kami duduk. Secangkir kopi dan beberapa buah air mineral gelas menjadi hidangan di sore itu. Kebetulan ini hajat beliau bersama kawanku itu dan mereka berbincang ngalor-ngidul. Ternyata di luar dugaan topiknya tentang hal-hal ghaib.

Aku hanya menjadi pendengar atas pembicaraan mereka yang ternyata berkaitan dengan mimpi sebagai sebuah pesan ghaib. Awal cerita sang ibu membukanya dengan kisah anaknya yang mondok di Gontor Putri Mantingan Ngawi Jawa timur. Di sana sang anak mengalami banyak gangguan dari barang-barang yang ghaib. Katanya di kamar yang ditempati itu rasanya sangat tidak mengenakan alias terasa mistis, orang Jawa menyebutnya singklu.

Kata sang ibu kamar itu memang termasuk dari bangunan lama terutama bagian kamar mandi. Banyak dari para santri yang sering mendengar suara tanpa rupa, jerit tangis hingga kesurupan. Kebetulan anak sang ibu tersebut sering merasakan adanya mahluk astral yang menyebabkan ia ingin pindah. Lantas sang ibu pun sering memberinya motivasi untuk bertahan bahwa menimba ilmu itu berat dan banyak ujianya termasuk orang tua yang mencari uang untuk biaya mondok tersebut.

Lalu kawan ku menanggapi kisah tersebut bahwa di mana pun tempatnya mahluk halus itu ada apalagi kita punya rukun iman kepada yang ghaib. Rukun iman kepada yang ghaib itu justru merupakan pemandu kita agar memahami mahluk lain di luar manusia. Pondok semakin besar tentu ya semakin banyak mahluk yang tak kasat matanya karena tujuan mereka jelas menggoda penghuni yang sering lengah mengingatNya. Maka dari itu katanya sambil memberi resep berupa mendzikirkan kalimat حسبن الله ونعم الوكيل نعم المولى ونعم النصير dan اهدنا الصّراط المستقيم di sujud terakhir sholat.

Lalu sang ibu menceritakan mimpinya yaitu sudah dua kali bermimpi tentang kucing hitam yang berlari hingga menghilang di Ponorogo. Ia mengira bahwa hal buruk tersebut juga berkaitan dengan salah satu keluarga yang ada di kota Reog tersebut. Karena ia menganggap bahwa keluarga yang ada di Tulungagung tidak memiliki masalah apapun apalagi yang menyangkut hak adami. Lalu kawan ku masih tetap memberi penegasan untuk membentengi diri dengan kalimat dzikir tersebut dan menghindari berpikir negatif.

Dari cerita tersebut aku berfikir ku kira Gontor itu rasional dan tak mempercayai hal-hal ghaib ternyata sebaliknya. Justru lewat hal itu lah seharusnya manusia tidak boleh lengah dan tetap eling lan waspada karena bagaimanapun juga manusia dan jin merupakan mahluk yang berbeda. Mungkin saja kisah yang demikian juga dialami oleh setiap orang termasuk anda.

the woks institute l rumah peradaban 2/8/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde