Langsung ke konten utama

Tahun Landep




Woks

Kata guru kami tahun ini adalah tahun landep alias tahun tajam begitu bahasa Indonesia merespon artinya. Orang Jawa mengartikan tahun landep dengan banyak hal yang tak tertuga terutama di saat pagebluk seperti saat ini. Kita pasti yakin bahwa pagebluk ini memang ada walaupun di lain pihak keadanya telah dipolitisir untuk keuntungan sesaat.

Tahun landep menjadi pertanda banyaknya sakit, kematian, usaha sulit, banyak yang pailit, musibah, dan kedukaan yang mendalam. Kedukaan yang melanda itu percis pernah tergambarkan oleh Pujangga Surakarta Raden Ronggowarsito dengan istilah kalabendhu. Memang sudah hampir dua tahun ini angka kematian (lelayung) terus saja meningkat kata orang salah satunya karena pagebluk yang masih melanda. Untuk masyarakat sipil sendiri sudah ada sekitar 10 ribu orang belum lagi para kiai sesepuh panutan juga turut menjadi korbannya. Orang-orang meninggal silih berganti bahkan tak pandang bulu kepada siapa saja menimpa.

Di tahun landep ini justru yang berjaya adalah mereka para pejabat alias orang-orang yang memangku kebijakan. Keadaan ini percis ketika gerakan revolusioner kaum sufi yang mengkritik habis-habisan cara hidup glamor di era kekhalifahan Umayyah. Mereka menganggap bahwa penguasa sudah tidak layak menjadi panutan yang memimpin sebuah wilayah. Alasannya karena kian hari gaya hidup mereka menyengsarakan rakyat, semakin hedonis dan melupakan titah agama.

Jika dilihat secara sempit keadaan itu tergambar jelas saat ini. Para pejabat korup justru terang-terangan berpesta-pora di atas kesengsaraan rakyat. Keadaan pagebluk seperti sekarang justru dimanfaatkan menjadi proyek-proyek menguntungkan. Lantas apa lagi yang mau diharapkan dari pemimpin yang demikian. Bertahan di tahun landep memang sangat menguras energi. Hal yang bisa kita lakukan selain usaha dhohir tentu juga batin. Selaiknya kita memang harus lebih dekat kepadaNya. Dalam bahasa Eyang Semar "kudu tetep eling lan waspodo".

Keadaan yang seolah kelimpungan ini seharusnya manusia semakin sadar akan kuasa dan takdirNya. Termasuk menyadari bahwa kehidupan ini hanya fana dan sesaat. Manusia seharusnya diam sejenak, duduk bersimpuh, menengadahkan doa memohon kepadanya atas segala kesalahan. Pengakuan seharusnya menjadi dasar bahwa kita bukanlah mahluk yang kuat. Justru lewat pagebluk inilah kita harus semakin belajar bahwa gerak langkah ini di atas kuasaNya. Kita perlu lebih memasrahkan kepadaNya Tuhan semesta alam.

Untung saja Indonesia adalah salah satu negara religius yang salah satu usahanya berbasis kerohanian. Selain melancarkan usaha dhohir seperti prokes, 3M, vaksinasi kita juga melancarkan usaha batin dengan menggelar serangkaian acara seperti doa bersama, pembacaan istighosah, sholawat dzikir, hingga mengheningkan cipta. Sehingga bagaimana pun terpuruknya keadaan kini semua dipasrahkan kepada sang maha kuasa. Dia Allah adalah sebaik-baik tempat mengadu.

the woks institute l rumah peradaban 11/7/21

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde