Langsung ke konten utama

Sekolah Berbasis Ketauhidan




Woks

Sekolah berbasis agama saya kira banyak bahkan hari ini begitu diminati lebih-lebih yang menyelenggarakan program tahfidz. Sekolah jenis ini justru mayoritas diampu oleh pihak swasta. Penyelenggaraan pendidikan melalui sekolah justru kalangan swasta lebih bervariatif tidak hanya sekolah berbasis teknologi, alam, bahasa, vokasi bahkan agama semua tersedia. Akan tetapi sekolah agama belum tentu bertauhid bisa jadi agama hanya bersifat formalistik alias sebagai branding marketing.

Sekolah berbasis agama selama ini masih bercokol sebagai labeling dan faktanya hanya sebagai tandingan dengan sekolah umum. Di Tulungagung saya menemukan sekolah dengan agama dan basis tauhid yang kuat sekolah tersebut terdiri dari jenjang TK PAUD hingga SMA/SMK semuanya di bawah naungan LPI Al Azhaar Tulungagung. Lembaga ini didirikan oleh Ustadz Amin Tampa dan Ustadzah Nursyiami, kini dilanjutkan oleh KH. Imam Mawardi Ridwan.

Basis tauhid adalah sebuah cara di mana kepasrahan kepada Tuhan merupakan cara kerja utama untuk menjalankan roda pengelolaan sekolah. Nah, di lembaga inilah saya menemukan banyak hal yang menarik terkait basis tauhid tersebut. Di sekolah ini tidak hanya agama melainkan juga mengintegrasikan dengan keilmuan umum seperti kesehatan, teknologi dan sains alam. Arabisasi juga terjadi di lingkungan sekolah ini salah satu dengan penggunaan istilah Arab misalnya untuk penyebutan guru dengan ustadz-ustadzah, beberapa kegiatan dengan dauroh, multaqo, bina usroh, tadabbur, tarhib ramadhan, rihlah dan lainya termasuk tempat, dan hal lain berkaitan dengan pembelajaran.

Hal lain yang paling mencolok di lembaga ini ialah acara tiap bulan di minggu ketiga yaitu majelis dzikir al Azhaar atau Majlaz. Acara ini biasanya akan mendatangkan para habaib baik sekitar Tulungagung, lintas provinsi hingga luar negeri seperti dari Jordan, Tarim, Arab hingga Amerika dan Afrika. Lembaga ini pula sering bekerjasama dengan Majelis Muwasholah Baina Ulama wal Muslimin Jawa timur pimpinan Habib Ubaidillah Al Habsyi Surabaya dan ormas NU serta ulama sekitar. Sering juga terlibat dalam acara Majelis Dzikir wa Maulidurrasul Al Khidmah serta Liwetan dan Ngaji Kitab Al Hikam.

Lembaga yang mengelola sekolah, klinik dan lembaga bergerak lainya berjalan lewat roda medan dakwah. Sebagai lembaga dakwah tentu lembaga ini mewajibkan karyawanya mengikuti tradisi ulama seperti bekerja, beribadah, berkarya, berdakwah dan berkhidmah. Mereka diwajibkan untuk berwudhu sebelum pembelajaran, menjaga sholat, memperbanyak sholawat, menganjurkan puasa dan qiyamullail, termasuk dibina dalam membaca al Qur'an yang baik dan benar, mengikuti majelis dzikir, bersambung dengan guru (baca: murabbi) hingga dibekali dengan stamina tubuh lewat probiotik.

Jika memiliki masalah yang pelik maka cukup satu pintu saja yang tau sedangkan yang lain cukup fokus mengelola sekolah. Jika ada masalah pasti lembaga ini tidak pernah jauh dengan tradisi para ulama yaitu musyawarah. Mereka selalu memasrahkan segala sesuatu kepada Allah melalui ritual dzikir jamai', istighosah serta tahlil. Tidak hanya itu dalam proses berkegiatan awal hingga akhir tak jauh dari berdo'a sehingga "do'a ruhnya ibadah" sangat dijalankan di lembaga ini.

Di sini tidak hanya guru, semua karyawan pun memiliki porsi yang sama untuk dibina baik soal mental, ibadah, keilmuan hingga baca Qur'an. Alasanya sederhana jika ingin mendidik anak maka karyawan pun harus siap dibina. Sehingga dengan begitu akan menciptakan role model yang seimbang antara apa yang nanti akan disampaikan ke para santri.

Lembaga ini pula yang menjadi pelopor dan role model sekolah plus pesantren. Karena dengan sekolah berbasis pesantren lembaga ini ingin terus mencetak santri yang militan. Tidak hanya sekadar mampu ilmu umum tapi bidang agama lebih utama. Pelayanan di lembaga ini pun menghindari arogansi karena di atas sebuah pelayanan adalah etika utama seperti rujukannya melalui pesan Abi Ihya Ulumiddin yaitu ngwongne wong, nyenengke wong, jo gae gething wong. Sehingga dari pesan itulah semua berlaku universal di sini, semua sama, semua dilayani dengan tanpa membedakan bahkan berlaku "maa zilta thaliban" semua adalah santri selamanya.

Di sinilah sekolah atau lembaga dakwah dengan basis tauhid yang terus mengepakan sayapnya banyak mendirikan lembaga seperti pesantren, rubath tahfidz hingga tempat ibadah. Saya yakin sekolah model seperti ini tidak ada duanya. Perlulah setiap apapun untuk menyelenggarakan aktivitasnya dengan basis tauhid, jika semua diserahkan kepada sang pencipta niscaya semua akan baik-baik saja, semua akan kokoh.

the woks institute l rumah peradaban 19/7/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde