Langsung ke konten utama

Nasionalisme dalam Sepak Bola




Woks

Beberapa orang kawan memposisikan diri sebagai komentator dadakan. Tentu ini tradisi alamiah yang mengakar khususnya bagai masyarakat kita baik di desa maupun di kota. Semua orang bisa sangat mudah untuk menjadi pakar dalam segala bidang. Bisa jadi tukang becak yang tiap hari mangkal membicarakan kelanjutan negara lewat analisis politik recehnya, petani yang biasa mencangkul di sawah juga tak kalah mereka bisa membahas bahwa pandemi tak jauh dari teori konspirasi dan pemuasan keuntungan semata termasuk kawan saya orang biasa yang mudah memprediksi skor hasil pertandingan final euro 2020.

Singkat kata seperti dikatakan Tom Nicols bahwa telah matinya kepakaran di antara kita. Akan tetapi semua itu di mata hiburan adalah sah-sah saja tanpa perlu dipermasalahkan. Semua orang berhak atas pendapatnya sendiri. Inilah negara demokrasi di mana semua argumen bisa mengalir tanpa perlu khawatir dikebiri. Selanjutnya yang menarik dari statement kawan saya terkait bola adalah di balik kekalahan beberapa negara baik sejak fase grup maupun ke fase puncak di piala Eropa.

Katanya sebaik-baik pemain bola mereka tidak lebih baik jika membela negaranya. Mereka nampak jago ketika membela club. Entah apa faktornya yang jelas setiap kemampuan pesepak bola akan diuji kualitasnya ketika membela negaranya. Untuk membela negaranya tentu tidak hanya skill yang dimiliki akan tetapi kerjasama dan kekompakan. Karena membela negara dalam sepakbola adalah kemampuan untuk meracik pemain dari setiap club. Tidak boleh ada egoisme ketika membela sebuah negara. Di sinilah peran penting pelatih untuk melihat setiap komponen pemainnya.

Ada hal lain yang sangat penting dalam membela setiap negara yaitu nasionalisme. Tanpa nasionalisme yang baik seorang pesepak bola hanya akan bermain egois ambisius sedangkan dengan nasionalisme yang baik seorang sepak bola akan mati-matian bekerjasama dalam satu tim untuk memberikan kinerja terbaik. Nasionalisme memang sangat dibutuhkan dalam membela negara tidak hanya dulu era penjajahan tapi saat ini melalui event sepak bola atau event lainya baik skala lokal maupun internasional. Menurut Otto Bauar nasionalisme adalah suatu persatuan perangai atau karakter yang timbul karena perasaan senasib. Jika seseorang telah merasa satu nasib maka tidak ada kata lain bahwa persatuan memang obat paling mujarab untuk menggapai cita-cita.

the woks institute l rumah peradaban 18/7/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde