Langsung ke konten utama

Membaca Karakter Melalui Profil Medsos




Woks

Saya mengamati media sosial hampir setiap hari sejak bangun hingga tidur lagi. Rutinitas yang menghabiskan waktu itu memang nampak membosankan lebih lagi ketika banyak hal lucu yang muncul misalnya saja fenomena orang membuat status galau hingga sering curhat di media sosial. Satu hal menarik lainya yaitu fenomena gonta-ganti profil WhatsApp.

Sebenarnya gonta-ganti profil WA bukan masalah bagi diri sendiri karena hal itu hak pribadi masing-masing. Akan tetapi jika diamati oleh orang lain hal itu menjadi memiliki arti. Sama halnya seperti senyuman bagi politikus akan membawa pesan tertentu. Saya menganalisis secara serampangan bahwa orang yang sering berganti profil WA secara berkala memiliki pengertian tersendiri secara kepribadian.

Dalam disiplin psikologi tentu hal kecil itu bisa dengan mudah dibaca. Misalnya gonta-ganti profil WA bisa jadi seseorang tersebut tidak percaya diri terhadap diri sendiri sehingga memilih profil yang tepat merupakan salah satu usaha pencarian kepercayaan diri tersebut. Arti lainya bisa jadi seseorang tersebut ingin tampil eksis bahwa dirinya bisa tampil sempurna dengan profil tersebut. Bisa juga berarti dengan profil tersebut seseorang ingin mengklaim bahwa dirinya penuh pesona. Sisi positifnya yaitu ungkapan rasa syukur atas pemberian tubuh yang sempurna dari Tuhan.

Ada arti tersirat lainya khususnya jomblo yaitu ingin menarik lawan jenis entah sekedar bertanya atau justru menikmati seni fotografi. Orang tua yang baru memiliki anak biasanya akan memasang profil anaknya tanda kesyukuran atau menandakan bahwa ia tengah bahagia. Banyak hal memang terkait dengan fenomena ini lantas kita bertanya bagaimana dengan mereka yang tak pernah mengganti foto profil nya atau bahkan tanpa foto profil sama sekali. Bisa jadi orang dengan foto profil tetap adalah bukti bahwa ia penuh kesan dengan foto tersebut atau memang karena tidak ada pilihan lainya. Lalu jika yang tanpa foto profil bisa jadi karena orang tersebut mencirikan pribadi yang pemalu, tidak percaya diri atau tak mau peduli dengan profil.

Entah bagaimana pun juga foto profil adalah kejadian pribadi yang setiap orang punya otonomi nya tersendiri. Yang jelas semua hal bisa diamati. Bisa jadi orang yang memasang foto profil kiai atau kaligrafi menunjukan kecintaanya atau justru agar tampak religius. Sama halnya dengan fans bola bisa sangat mungkin foto profil bola sebagai bentuk kesukaanya atau justru di sana terletak kebahagiaan. Kita memang tidak bisa memastikan kesenangan setiap orang. Yang penting itu bernilai positif tak masalah. Selama tidak menggangu stabilitas orang lain bolehlah kita mengekspresikan diri sendiri lewat foto profil.

the woks institute l rumah peradaban 27/7/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde