Langsung ke konten utama

Perempuan Indramayu Narasi Yang Tak Berkesudahan




Woks

Sebagai putra daerah saya merasa miris ketika membincang Indramayu, pasti yang muncul ke permukaan adalah tentang perempuannya. Entah mengapa hal itu bisa terjadi bagaimana prosesnya dan kapan semua itu akan berakhir. Nampaknya pertanyaan demikian selalu terlintas dalam pikiran. Mengapa orang luar Indramayu hanya tau tentang narasi seksualitas tanpa pernah tau hal lain misalnya Kilang Minyak Balongan, Batik Paoman, Festival Tjimanoek, Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah, Pulau Biawak, Dayak Segandu, Karangsong, Taman Buah dll.

Rasanya memang tidak sepenuhnya salah. Karena hingga hari ini problem perempuan memang tak kunjung berkesudahan. Setelah saya mencoba mencari tau akan stereotip tersebut ternyata memang demikian. Dari tradisi lisan saya mencoba mencari tahu ternyata benar saja setidaknya ada 3 faktor mengapa stigmatisasi perempuan Indramayu begitu deras mengalir.

Pertama, faktor agama begitu nampak kentara. Dulu bahkan hingga kini Islamisasi di Indramayu oleh para wali tidak begitu nampak signifikan utamanya di daerah Indramayu barat seperti Anjatan, Bongas, Haurgeulis, Gantar dan sekitarnya. Faktanya minim keberadaan pondok pesantren di daerah tersebut. Secara historis bisa kita lacak bahwa dulu Indramayu barat justru sarang PKI dan DI/TII buktinya adalah banyaknya korban yang berjatuhan. Kata saksi sejarah yang masih hidup keganasan PKI juga tak kalah seperti di Madiun, bahkan di Indramayu bagian barat saat sore atau pagi sangat mudah dijumpai potongan mayat di sekitar selokan, sungai bahkan kantor desa.

Agama belum menyentuh ke lapisan masyarakat karena pada saat itu banyak pula yang berprofesi sebagai bramancorah. Saya pernah diceritakan oleh bapak bahwa sekitar 30 tahun yang lalu ada sekumpulan orang mengatasnamakan diri "mata abang". Mata abang adalah semacam gengster yang dulu bekerja menjarah hasil bumi milik warga. Maka dalam masa kini pantas saja pemahaman agama mereka sangat minim karena yang diutamakan kekuatan, kekuasaan bukan keilmuan.

Agama mulai masuk ke Indramayu barat khususnya daerah Gantar-Haurgeulis karena adanya jaringan ulama dari Blitar, Brebes, Cirebon dan Tasikmalaya yang masuk ke wilayah ini. Mereka yang dalam istilah Clifford Geertz adalah kaum santri datang untuk mendirikan pondok dan majelis ta'lim. Singkatnya semua hal yang berbau kriminal mulai sedikit memudar. Orang-orang mulai belajar agama, majelis ta'lim hidup dan kini mushola madrasah ada di mana-mana.

Kedua, faktor pendidikan sangatlah vital di sini. Bagaimana tidak sampai hari ini orang-orang di Indramayu pada umumnya masih bergelut dalam pusaran ekonomi sehingga pendidikan bukan prioritas. Rerata anak Indramayu setelah lulus maksimal dari SMP langsung diburu kerja. Jika perempuan jika sudah punya pacar biasanya langsung segera dinikahkan. Di sinilah salah satu faktor mengapa pernikahan dini semakin langgeng.

Dari berbagai media ataupun secara fakta di lapangan, Indramayu belum tuntas menyandang gelar kota mangga, kota yang secara paradoksal mangganya manis-manis. Maksudnya bukan mangga buah-buahan akan tetapi yang dimaksud adalah gadisnya ayu-ayu luar dalam. Selain itu angka TKW dan perceraian dini kian hari bagai fenomena bola salju, semakin lama justru semakin bertambah. Miris memang sampai karena kasus perceraian itu sampai-sampai perempuan Indramayu dijuluki RCTI (Randa Cilik Turunan Indramayu).

Ketiga, faktor ekonomi adalah hal utama lainya yang harus dibenahi. Ketiga faktor di atas sebenarnya memiliki relasi yang kuat. Jika salah satunya lemah maka tradisi negatif yang selama ini berkembang tak akan pernah terhapuskan. Tradisi negatif itu masih akan terus menjadi momok menakutkan jika tidak segera diputus mata rantainya.

Faktor ekonomi memang menjadi sorotan sejak lama. Bisa dibayangkan karena kurangnya lapangan pekerjaan, hidup hanya sebagai buruh tani yang tak menjanjikan. Maka mereka berpikir instan dan tak ada pilihan lain selain bekerja ke luar negeri. Oleh karena itu, wajar kiranya jika Indramayu menjadi daerah pengirim buruh migran terbanyak di Indonesia (Ngaripin, 2011). Pengirimin buruh migran dari Indramayu ke luar negeri sampai dengan tahun 2020 mencapai 10.060 jiwa (BP2MI, 2020). Jumlah tersebut didominasi oleh perempuan. Mayoritas berangkat ke Taiwan yang mencapai 40 persen, sementara sisanya bekerja di Hongkong, Jepang, Korea, dan daerah Timur tengah seperti Saudi Arabia, Quwait, dan Abu Dhabi, Kebanyakan mereka bekerja di panti jompo, buruh pabrik, dan pembantu rumah tangga (BP2MI, 2020).

Karena iming-iming gaji yang besar itulah akhirnya perempuan Indramayu mendatangi PJTKI untuk mendaftar. Saya rasa di sinilah yang dari pemerintah daerah harus segera mencari regulasi terbaik agar masyarakat bisa berkarya di negeri sendiri. Jika hal itu terus berlarut-larut tanpa ada solusi maka sampai kapanpun Indramayu tak akan pernah bisa menghapus stigma negatif tersebut.

Beberapa orang tua bahkan menambahkan selain 3 hal tersebut ada satu lagi yang ternyata berpengaruh yaitu faktor sejarah. Dulu ketika Indramayu masih berbentuk pedukuhan lalu ingin memperluas wilayah, Arya Wilalodra sebagai penguasa pada saat itu justru merubah wujudnya menjadi seorang putri cantik. Kecantikan itulah justru menggoda penguasa Sumedang Larang untuk meminangnya. Hingga singkat cerita justru sang Prabu dikhianati karena ternyata sang putri cantik itu adalah seorang lelaki, padahal pada saat itu mahar berupa wilayah (yang saat ini meliputi Lelea, Kandanghaur, Gantar, Haurgeulis dan sekitarnya) sudah menjadi milik sang putri.

Singkat kata menurut para orang tua kejadian sejarah itu hingga kini masih membekas. Bahkan kata orang tua kejadian itu seolah menjadi kutukan yang terus berlangsung dan akan menimpa setiap perempuan muda yang menikah dini. Terlepas hal ini benar atau tidak tapi faktanya demikian. Orang desa masih menyimpan cerita ini secara tradisi lisan dan entah apakah mitos itu bisa diputus atau tidak.

Melihat kejadian demikian perlulah di antara kita saling menguatkan dan saling berupaya untuk mencari solusi bersama salah satunya lapangan pekerjaan, pendidikan layak dan penguatan sumber daya manusia. Perempuan Indramayu perlu juga keluar dari jerat dunia patriarki yang terus mengakar. Sejak dulu hingga kini setidaknya 3 hal yang perlu diperbaiki utamanya untuk generasi anak cucu agar tidak mewarisi dosa masa lalu.

Pemerintah perlu mengatur dan menekan angka pernikahan dini sehingga kasus perceraian tidak berangsur-angsur naik. Sedangkan masyarakat bersama untuk mewujudkan gagasan, mengembangkan wacana agama yang berbasis pada kearifan dan tradisi. Selain itu masyarakat terus diedukasi bahwa menghapus stigma negatif perlu uluran tangan semua pihak dan melalui kebijakan serta pendidikan yang inklusif.

the woks institute l rumah peradaban 17/7/21


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde