Langsung ke konten utama

Resensi Buku Al Zaytun The Untold Stories




Woks

Ma'had Al Zaytun yang berada di Desa Mekarjaya Gantar Indramayu itu selalu menarik untuk diteliti pasalnya sampai hari ini masih banyak segudang pertanyaan yang belum terpecahkan. Membaca buku Al Zaytun The Untold Stories menjadi semakin menarik karena hasil dari penelitian yang menggabungkan banyak data, narasi, termasuk sumber-sumber buku dan majalah. Buku ini menjadi salah satu alternatif untuk pembaca dapat mengetahui beberapa jawaban atas segala keraguan yang berkembang selama ini.

Berbeda dengan buku karya pendahulunya seperti Al Chaidar, Amin Djamaluddin, Umar Abduh hingga hasil penelitian DEPAG 2002, buku ini justru memberi perspektif yang lebih moderat. Walaupun dari berbagai sumber dan tulisan memuat bahwa Ma'had Al Zaytun terbukti dilahirkan melalui jaringan NII bentukan SM Kartosoewirjo pada 1949. Akan tetapi uniknya hasil penelitian DEPAG maupun MUI terasa kontradiktif karena tidak menemukan penyimpangan yang vital terkait keterlibatan mereka dengan NII kecuali adanya hubungan asosial mereka dengan masyarakat dan penyimpangan masalah zakat fitrah dan qurban. (hlm. IX-X).

Membincang Al Zaytun memang tidak melulu soal dana, jaringan NII hingga cita-cita mendirikan Daulah Islamiyah melainkan bisa ditinjau dari status apakah ia bisa dikatakan pesantren secara teoritis. Dr. Abdul Aziz, M.A yang merujuk pada pendapat Abdurrahman Wahid (2001) bahwa pesantren tersebut telah menjadi tanda tanya karena telah melenceng dari pengertian awal bahwa pesantren bersifat subkultur. Sedangkan Al Zaytun justru bersifat kontrakultur dengan bukti berupa kurikulum yang sulit dipahami atau disembunyikan hidden curriculum. Akan tetapi tipikal pesantren demikian tidak hanya Al Zaytun melainkan ada yang lain seperti pesantren Bin Baz bercorak Wahabi dan pesantren Al Mukmin bercorak salafi. (hlm. XXVI)

Lebih lanjut keterlibatan Al Zaytun melalui salah satu pemimpinya yaitu Syeikh Panji Gumilang dengan NII bukan menjadi rahasia umum lagi. Mereka jelas menghimpun strategi, dana, kekuatan sipil yang disebut tentara hingga pendirianya sampai saat ini. Secara historis sejak dulu banyak orang tertarik jika Islam hadir sebagai sebuah gerakan yang bertujuan untuk mendirikan negara Islam. Orang-orang memang mudah terbuai oleh metodologi dakwah dan doktrin yang diperkenalkan. (hlm. 63)

Salah satu metode dakwah mereka yaitu hujumah tabsyiriyah (misi ofensif) atau pembinaan. Misalnya mereka calon warga harus masuk tahap tilawah yaitu pengajaran yang mengkaji al Qur'an. Setelahnya yaitu shadaqah di mana calon warga yang berhijrah harus membayar shadaqah yang telah ditentukan sesuai dengan besarnya dosa yang telah diperbuat. Jika semua telah dilewati maka tahap akhir ialah musyahadatul hijrah yaitu berpindahnya warga RI ke NII KW9. Bahkan ketika mereka telah resmi sebagai warga para petugas hijrah meminta agar jamaah membuat nama kedua (ismun tsani). (hlm. 65-67).

Selain metode dakwah NII dan Al Zaytun juga hanyak memuat doktrin agar jamaahnya setia. Mereka menganggap bahwa selama di periode Mekah (RI) semua eksponen harus berjuah berdakwah guna menciptakan Madinah yang diidamkan. Sejak dulu pikiran tersebut berkembang dari cara qital (perang fisik) lalu gagal kini mereka berjuang lewat jalur pendidikan. Jalur pendidikan inilah adalah harapan yang terus disemai guna melahirkan kader baru yang lebih militan.

Sebenarnya sepanjang pembacaan baik dari buku ini maupun buku sebelumnya kita justru telah banyak diberikan data dan fakta terkait Al Zaytun ini. Bahkan dalam catatan akhir Al Zaytun adalah metamorfosis dari Institut Suffah yang didirikan oleh Kartosoewirjo. (hlm. 205) Walaupun dari berbagai macam narasi menunjukkan bahwa NII dan Al Zaytun sebagai suatu gerakan keagamaan yang kontroversi setidaknya kita belajar dari mereka tentang semangat dan cita-cita memajukan bangsa lewat budaya, teknologi dan pendidikan.

Tapi sangat disayangkan baik buku ini ataupun buku sebelumnya belum menyentuh secara spesifik terkait isu politik apa yang menjadi backing di balik berdirinya pesantren megah al Zaytun tersebut. Walaupun banyak orang berspekulasi bahwa Al Zaytun berdiri tak lain karena ada aktor Cendana di belakangnya. Akan tetapi walau demikian buku ini selebihnya menarik untuk dibaca hingga khatam. Lebih dari itu perlu membaca pula bagian rekomendasi sebagai refleksi jika suatu saat kita bertemu dengan gerakan yang sama.

Judul buku : Al Zaytun The Untold Stories (Investigasi Terhadap Pesantren Paling Kontroversial di Indonesia)

Penulis : Tim Peneliti INSEP

Cetakan : Pertama, September 2011

Penerbit : Pustaka Alvabet

ISBN : 978-602-9193-09-1

the woks institute l rumah peradaban 7/7/21

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde