Langsung ke konten utama

Hegemoni Syetan Di Balik Sebuah Kebaikan




Woks

Sebagai seorang santri tentu saya berteman dengan siapa saja, berbagaimacam kalangan dari yang alim sampai yang unik. Di pondok tempat kami belajar ada seorang santri yang dalam bahasa kami STMJ alias sholat terus maksiat jalan. Kami juga akrab dengan santri STMJ ini bahkan beberapa kali terlibat debat dengannya perihal pemikiran dan hukum.

Beberapa pikiranya yang sering kita tangkap adalah perihal hidup tidak usah dibuat pusing, tetap enjoy saja karena tanpa belajar pun seorang santri bisa pintar sebab di pondok itu banyak keberkahan. Termasuk tidak usah berambisi (ngoyo) dalam mencari harta karena jika sudah waktunya ia akan datang sendiri.

Santri ini memang unik sepanjang yang kami tahu dia masih sering mengkonsumsi alkohol. Katanya selama masih mau ngaji, berjamaah shalat maka jika bermaksiat pun Allah lebih luas pengampunanya. Ironisnya semua minuman haram itu ia beli dari uang kiriman orang tuanya. Segala macam nasehat teman sudah tidak mempan bahkan beberapa kali dipanggil pengurus pun selalu bisa lolos. Ia masih bertahan di pondok karena memang anaknya pintar dan kadang solidaritas terhadap temanya tinggi. Maka dari sanalah kadang teman santri yang lain merasa bingung bagaimana cara menyadarkannya.

Beberapa kali kami mengaji tiba dalam sebuah majelis yang berbeda dengan santri STMJ tersebut. Pengajian kali ini pembahasannya sangat menarik yaitu tentang tema orang fasik. Kata sang ustadz orang fasik itu adalah mereka yang masih selalu beribadah tapi juga sering berkubang dalam maksiat. Mereka menganggap bahwa maksiat yang dilakukan akan diampuni oleh Allah. Dalam Kitab Wasiyatul Mustofa Imam Sya'rani menulis bahwa antara kebaikan dan keburukan itu sangatlah tipis. Termasuk dalam mengartikan banyak rizki bisa jadi yang banyak itu tidak berkah karena beberapa sebab. Atau sebaliknya kadang kala yang sedikit justru malah berkah dan bermanfaat.

ياعلى : إذا غضب الله على أحد رزقه مالا حراما فإذا اشتد غضبه عليه وكل به الشيطانا يبارك له فيه ويصحبه ويشغله بالدنيا عن الدين ويسهل له أمور دنياه ويقول ألله غفور رحيم
Wahai 'ali : apabila Allah murka kepada seorang hambanya, maka Allah akan memberikan rizki kepada orang tersebut, (berupa) harta yang haram, maka apabila Allah telah sangat murka kepada seorang hambanya, Allah akan mengutus syetan kepada orang tersebut untuk memberikan keberkahan di dalam harta yang haram bagi orang tersebut, dan menjadikan syetan sebagai teman orang tersebut, dan syetan akan menyibukan orang tersebut dengan urusan dunia (agar) jauh dari urusan agama dan syetan akan mempermudah orang tersebut terhadap urusan dunianya, dan syetan berkata : "Allah maha pengampun, maha penyayang.”

Imam Ghazali dalam Kitab Bidayatul Hidayah juga menjelaskan bahwa orang itu jangan sekali-kali berkata bahwa Allah itu maha mulia lagi maha penyayang, yang mengampuni dosa-dosa orang yang berbuat maksiat. Pernyataan tersebut memang nampak benar, akan tetapi oleh orang fasik sering diplintir untuk kepentingannya sendiri. Di sinilah syetan menelisik dengan begitu halus. Bahkan ia seperti berbuat riya' yaitu  bagai semut hitam berjalan di atas batu hitam di malam gelap gulita. Jadi sangat lembut sekali.

Seseorang bisa sangat mungkin tertipu oleh syetan karena jika yang dihadapi sebuah keburukan pasti setiap orang akan bisa membedakannya. Akan tetapi sebaliknya syetan justru membungkus kemaksiatan dalam bingkai kebaikan. Di sinilah pentingnya mempelajari ilmu tasawuf sebagai detektor sejauh mana tipuan syetan berselancar.

Seperti kasus di atas bahwa terkadang orang mudah tergelincir karena dirinya sendiri. Orang yang kaya biasanya akan tergelincir karena kekayaannya. Begitu pula mereka yang berilmu, ilmunya justru akan menjadi cobaanya. Hal itu terjadi karena nafsu selalu membisik untuk memberikan pilihan ke arah kebaikan atau keburukan yang di tuju.

Dalam syair Burdah Imam al Bushri menuliskan syairnya tentang warning agar seseorang memperhatikan syetan melalui gerak nafsu.
 وراعهاوهى فى الاعمال ساءمة
Jagalah nafsumu baik-baik walaupun ia telah bergelar dalam ruang ketaatan
 
وان هى استحلت المرعى فلا تسم
Karena bila ia sudah menguasai maka akan memesonakan ketaatan

Demikianlah hegemoni syetan yang selalu mengikuti ke mana manusia berada. Tidak salah jika mereka menguasai nafsu manusia sekalipun manusia tersebut dalam ketaatan. Di sinilah kadang syetan membuat jebakan berupa kenikmatan semu. Maka pantaslah jika seseorang semakin tinggi derajatnya maka syetannya pun yang tinggi pangkatnya.

Bisa sangat mungkin si santri STMJ tersebut sesungguhnya sedang dalam perangkap syetan. Mungkin ia tidak sadar jika sudah berada di dalam dan menganggap bahwa apa yang dilakukan terasa benar. Padahal di dalam kasus ini yang benar belum tentu benar. Bagi orang yang suka memlintir kebenaran semau gue alias untuk kepentingannya sendiri Rasulullah SAW memberinya gelar Al Ahmaq atau orang pandir, yaitu orang mengikutkan hatinya kepada hawa nafsunya.


the woks institute l rumah peradaban 14/7/21




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde