Langsung ke konten utama

Tantangan TPQ dalam Arus Teknologi dan Pandemi





WoksTantangan TPQ dalam Arus Teknologi dan Pandemi

Sejak revolusi industri bergulir dunia mengalami banyak perubahan. Semua hal yang dulu dikerjakan oleh tenaga manusia kini berganti dengan mesin. Dunia seketika berubah termasuk dunia pendidikan yang semula konvensional kini dikelola harus dengan modernitas melibatkan perangkat teknologi. Singkatnya kini di ujung abad 20 akan lebih banyak sektor yang terseok-seok akibat perubahan teknologi lebih lagi terpukul karena pandemi.

Sekolah sampai detik ini belum bisa masuk tatap muka secara full. Maka melihat keadaan demikian tentu cukup memprihatinkan. Sebagai komponen bangsa tentu merasa cemas dengan keadaan ini yang kian hari terus berlarut-larut. TPQ misalnya yang dulu sebagai alternatif pendidikan dasar Qur'an kini juga ikut kena imbasnya. Anak dan orang tua jadi punya ketakutan kolektif. Sehingga jangankan ingin memasukkan anak ke TPQ untuk sekadar ke luar rumah pun merasa takut.

Dampak dari pandemi memang luar biasa. Karenanya satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah bekerja, beraktivitas dengan bantuan teknologi. Sayangnya sampai hari ini teknologi belum sepenuhnya efektif sebagai mitra kerja manusia utamanya di sektor pendidikan. Dulu orang menimba ilmu akan memperhatikan syarat-syarat mencari ilmu kini semakin lama justru semakin terkikis. Orang-orang semakin lupa bahwa ilmu itu tergadai sedangkan cara untuk melunasinya ialah dengan akad pasrah, biaya dan kerelaan hati.

Masalah-masalah yang bersifat etika tidak bisa dicontohkan lewat teknologi. Alih-alih demikian justru malah timbul polemik anak-anak lebih patuh cuma karena gadget lebih menarik ketimbang laku hidup unggah-ungguh. Syaratnya mencari ilmu seperti dalam kitab Ta'lim Muta'alim: ألالا تَنالَ العِلمَ إِلّا بِسِتَّةٍ سَأُنبيكَ عَن تَفصيلِها بِبَيانِ ذَكاءٌ وَحِرصٌ وَاِجتِهادٌ وَبُلغَةٌ وَصُحبَةُ أُستاذٍ وَطولُ زَمانِ seharusnya dipegang teguh. Lebih lagi di era ini utamanya orang tua harus mengerti bahwa pendidikan dilakukan tidak secara cuma-cuma, sekarep dewe. Ada etika yang berlaku sejak di awal menitipkan anak hingga proses kelulusannya.

Keberhasilan pendidikan memang memerlukan kerja ekstra yaitu kerjasama, dukungan antara anak, ortu dan guru. Selain doa tentu orang tua juga harus memperhatikan hubungan mereka dengan guru tempat anak dititipkan. Jangan dikira TPQ sebagai tempat mengaji Qur'an dasar tidak memberlakukan etika moral atau dalam bahasa pondok adalah akhlak. Justru di tingkat terbawah itulah orang tua seharusnya lebih perhatian karena pendidikan dasar adalah modal untuk bersaing, bertahan ke tahap selanjutnya.

Realitas pendidikan saat ini tentu adalah dihadapan dengan teknologi sebagai tantangan utama. Era medsos juga menjadi tantangan guru dan siswa. Yang perlu di underline adalah akhlak mulia sebagai nilai luhur manusia harus terus ditanamkan walau dalam keadaan apapun. Baik di TPQ maupun pondok pesantren tentu menyemai akhlak di era teknologi seperti saat ini adalah tantangan yang tidak mudah. Jika ditarik lewat latar belakang sejarah keilmuan pesantren tentu kita tak kalah karena keberhasilannya sudah terbukti nyata.

Akan tetapi karena era medsos banyak serangkaian informasi yang mengalir deras orang tua masih menganggap TPQ dan pesantren tidak menjadi alasan utama. Mereka masih memilih pendidikan modern dengan alasan lebih rasional. Padahal pendidikan TPQ adalah tradisional, rasional dan nasionalis. Sejak dulu TPQ tidak merubah cara pengajarannya bukan karena tak mampu berinovasi justru itu adalah cara mempertahankan metode yang telah berhasil mendidik kader-kader mudanya.

Ajakan anak tentang pendidikan Qur'an tentu terus digalakkan. Karena dewasa ini umat Islam sendiri perlahan-lahan justru semakin jauh dengan kitab sucinya. Belajar al Qur'an di TPQ tidak melulu finish di membaca justru harus lebih dari itu. Jika hanya sekadar membaca pastinya esok akan lupa. Akan tetapi jika sudah ditahap pengamalan tentu efeknya adalah kebaikan yang terus mengalir.

the woks institute l rumah peradaban 5/7/21

Komentar

  1. Mantab, karena Al Quran itu juga perlu dikaji lebih dalam dengan berdampingan kehidupan nyata.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde