Langsung ke konten utama

Tipologi Gawagis


Foto: Masyayikh Tambakberas

Woks

Pesantren sebagai lembaga pendidikan tidak hanya mewariskan keilmuan melainkan juga mewariskan tradisi unik. Tradisi tersebut telah berkembang lama dan selalu hidup melalui tangan dingin para kiai hingga turun temurun ke para pewarisnya. Tradisi tersebut salah satunya harus memondokan anak turunya ke salah satu pesantren yang ditunjuk keluarga, termasuk soal memilihkan jodoh. Tapi sangat disayangkan beberapa kita kerap mendengar jika pondok telah ditinggal kiainya biasanya akan mengalami kemunduran. Jejak itulah yang menjadi tantangan para gus atau ning untuk mengembangkan pondok sepeninggal orang tua mereka.

Gus atau Agus adalah sebutan untuk putra kiai dan ning untuk putri kiai masing-masing jamaknya adalah gawagis untuk gus dan nawaning untuk ning. Penyebutan gus dan ning di setiap daerah akan berbeda misalnya di Madura gus disebut "lora". Tidak semua orang bisa disebut gus atau ning. Biasanya gus atau ning akan disebut oleh masyarakat secara alamiah sebagai penghormatan atas nasab orang tua mereka. Maka dari itu biasanya syarat untuk dipanggil gus atau ning setidaknya karena nasab, memiliki santri, keilmuan dan keistimewaan.

Dalam hal ini perlulah kita pahami tentang teori status sosial menurut Ralph Linton yaitu achievement status sebagai gelar yang diperoleh dari hasil prestasi, ascribed status gelar yang diperoleh sejak lahir dan assigned status gelar karena pemberian orang lain. Gus dan ning pun demikian, ada yang diberikan karena keilmuan mereka dan itu menjadi prestasi secara personal, ada juga karena mereka mewarisi pondok pesantren milik orang tua dan ini mayoritas kita temui dan terakhir yaitu mereka yang digelari oleh masyarakat. Bagian ketiga itu justru saat ini menjadi salah kaprah karena siapa saja mudah disebut gus atau ning. Seperti fenomena ustadz dadakan siapa saja disebut ustadz hanya karena hafal satu ayat dan hadits lalu mereka menyampaikannya atau dasar ولواية mereka disebut ustadz padahal tidak demikian.

Secara kehidupan gus dan ning pun mengalami hierarki tersendiri. Bisa jadi orang awam hanya melihat mereka secara sempit dan parsial sehingga kadang mengalami kesalahpahaman dalam menilai. Ada gus atau ning yang terlihat elitis padahal faktanya tidak. Ada gus yang memiliki istri lebih dari satu, ada juga yang ahli tirakat. Ada yang hidup begitu sederhana, penuh dengan ilmu dan adab bahkan berperilaku khumul. Ada yang rendah hati bahkan tidak mau dipanggil gus atau ning padahal jelas-jelas mereka keturunan kiai. Ada juga yang jadhab yaitu mereka putra kiai yang levelnya sudah khawarikul adah' alias memiliki keistimewaan tidak seperti orang pada umumnya. 

Para gus juga kadang berprilaku nyeleh, paling terkenal tentu Gus Miek dan personikafi Gus Jafar dalam cerpen Gus Mus "Gus Jafar dan Kiai Tawakal". Ada juga para gus yang senang dengan seni sebagai metode dakwahnya, ada juga yang ikut dalam perpolitikan serta banyak lagi tipe gus-gus yang tersebar di Nusantara ini. Tipe-tipe gus dan ning yang demikian itu dalam lingkungan NU merupakan hal yang biasa bahkan masih lestari hingga kini.

Tanpa menutupi kehidupan pesantren, ada juga gus dan ning yang tidak sesuai dengan perilaku yang telah dicontohkan orang tuanya. Mereka bahkan telah keluar jauh dari rel apa yang sudah menjadi tradisi pondok pesantren. Umumnya anak-anak kiai tersebut sejak kecil berprilaku nakal atau bahkan tidak dapat dipahami. Akan tetapi jika kita tahu demikian lah cara kiai mendidik mengkader putranya untuk kuat dalam menghadapi masa depan. Sangat mungkin di depan orang awam mereka terlihat nakal padahal di dalam rumah mereka diperlakukan super ketat oleh orang tuanya untuk belajar dan riyadhoh.

Dalam demokrasi pondok pesantren memang gus dan ning tidak selalu dipersiapkan untuk menjadi kiai pengasuh pesantren akan tetapi karena tradisi monarkhi pesantren hal itu menjadi sebuah keharusan. Alasanya sederhana bahwa agama dalam pesantren harus diajarkan sesuai dengan sanad keilmuan yang jelas. Inilah yang menjadi dikotomi antara pesantren dan pendidikan formal pada umumnya di mana mahasiswa yang berbeda akan dianggap kritis dan keren padahal dalam hal agama tidak demikian semua harus berdasarkan guru.

Sebenarnya pelajaran berharga dari para gus dan ning ialah soal semangat keilmuan dan menjaga nama baik keluarga. Mayoritas dari mereka memiliki semangat bahwa nama mereka tidak bergantung dengan nasab orang tuanya jika ingin pintar ya tetap harus dengan belajar yang gigih. Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah pernah berpesan 
لَيْسَ الْفَتىَ مَنْ يَقُوْلُ كَانَ أَِبيْ، وَلـٰكِنَّ الْفَتىَ مَنْ يَقُوْلُ هٰـأَنَاذَا bahwa mereka tidak membanggakan diri sendiri karena nama besar orang tua melainkan karena nama mereka sendiri.

Soal keluarga juga demikian mereka saling isi dan saling menghormati antara satu sama lain tujuannya agar keilmuan di pesantren terus lestari sesuai dengan wasiat orang tua mereka. Sungguh bercerai berai dalam mengurusi pesantren adalah pantangan bagi gawagis dan nawaning tersebut sehingga saling memberi kepercayaan serta membagi tugas adalah kunci utama selain tanggungjawab itu sendiri.

the woks institute l rumah peradaban 21/7/21

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde