Langsung ke konten utama

Bagaimana menjadi Seorang Perempuan

                (Sumber foto: Canva.com)

Woks

Menjadi perempuan sepertinya begitu melelahkan harus ini dan itu. Perempuan seperti mahluk kelas dua yang selalu berbenturan dengan banyak hal seperti agama, tradisi, budaya dan labelisasi yang menyertainya. Mereka seperti mahluk lemah (inferior) dan tidak bisa diandalkan sehingga era Jahiliyah banyak orang yang membunuh bayi perempuan karena anggapan aib. Saat Islam berkembang agama ini sangat menentang tradisi Jahiliyah yang mengakar itu termasuk mengikis perbudakan. Islam datang membawa angin segar dan sebagai juru selamat serta membawa ajaranya untuk memuliakan perempuan sebagaimana laki-laki dalam sebuah eksistensi mahluk yang berbudaya.

Semakin berjalannya waktu kini wajah Islam ditafsiri menjadi agama yang ketat terhadap perempuan. Bagi sebagian orang menganggap bahwa Islam memberi aturan yang tidak sama dengan laki-laki, salah satunya dalam hal pembagian warisan, pembagian tugas, kesetaraan, aurat, hingga tampil di ruang publik. Lagi-lagi perempuan menjadi mahluk yang syarat akan banyaknya aturan. Alasan lain karena perempuan merupakan mahluk yang perlu disayangi, mereka memiliki kodrat untuk mempunyai rahim, menstruasi, melahirkan dan menyusui. Darisanalah perempuan harus puas dengan jatidirinya sebagai penunjang kebutuhan laki-laki.

Saya jadi teringat mengapa perempuan sulit diterima di ruang publik sebagai entitas yang sama dengan laki-laki. Seorang Rabbi Kristen dalam catatan Goenawan Mohammad mengatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam yang notabene rusuk tersebut adalah bagian tubuh. Artinya perempuan diciptakan dari sempalan salah satu bagian tubuh Adam. Masih untung bagian tubuh terdalam bagaimana jika perempuan diciptakan dari salah satu anggota tubuh terluar Adam seperti, kuku, kulit atau tapal kaki, mungkin perempuan akan semakin tertindas lagi.

Lantas saat Islam datang agama ini berusaha keras untuk mengangkat harkat derajat perempuan terutama pada saat itu di zaman Jahiliyah. Perempuan dulu tidak boleh diakikahkan kini sudah boleh, ia juga boleh menimba ilmu setinggi-tingginya, bahkan perempuan boleh pekerja di ruang publik. Perempuan juga bisa menjadi pemimpin dalam sebuah organisasi, instansi bahkan pemerintahan. Untuk yang terakhir inilah sebuat saja sejak dulu ada Siti Aisyah, Laksamana Malahayati, Ratu Kalinyamat, Cut Nyak Dien dan banyak lagi bahkan hingga saat ini perempuan bisa memimpin perguruan tinggi sebut saja Prof Amani Lubis (UIN Jakarta), Ida Fauziah (Menaker), Khofifah Indar parawansa (Gubernur Jatim), Mundjiyah Wahab (Bupati Jombang) serta banyak lagi lainnya.

Lalu mengapa pula sulit menjadi perempuan. Sebenarnya tidak hanya perempuan atau laki-laki semua sama memiliki porsinya tersendiri dalam gendernya. Problemnya hanya dalam soal proses pemecahan masalah selebihnya sama. Perlu diingat mengapa perempuan nampak berbeda dan kesulitan terutama di ruang publik setidaknya ada tiga hal, pertama adanya domestikasi, marginalisasi. Kedua, adanya stigmatisasi berupa paham misoginis, di mana perempuan selalu di posisikan sebagai objek yang salah. Ketiga, budaya patriarki yang terlanjur mengakar.

Tradisi di masyarakat memang selalu memojokan dan selalu tidak adil, ambil contoh persoalan jam malam jika ada perempuan yang pulang melebihi jam 21:00 maka sering dicap perempuan nakal akan tetapi laki-laki tidak diberi label itu. Saat ujian Nasional jika ada siswi yang kedapatan dalam keadaan hamil maka ia langsung mendapat cercaan dari banyak orang sedangkan laki-laki tidak pernah mendapat ujian semacam itu. Tidak hanya itu tradisi yang berkembang di masyarakat pun tak jauh berbeda, misalnya ada perempuan yang memilih berkarir atau studi lanjut biasanya mereka dicap perempuan tua karena terlambat menikah. Sebenarnya perempuan atau memang cara pandang masyarakat yang salah? tentu benang kusut tersebut perlu diurai.

Menjadi perempuan memang begitu rumit laiknya menjadi laki-laki yang ditekan oleh sistem patriarki dalam peranan sosial di masyarakat. Menjadi perempuan memang sama halnya mengikuti arus keinginan budaya yang berkembang sehingga disebut perempuan ketika sesuai selera budaya tersebut. Bahkan perkara fashion pun perempuan harus pintar-pintar melihat pasar. Darisanalah perempuan selalu tampak terdikte oleh keadaan lebih dari itu persoalan gerak langkah pun pernah di kotak-kotakan dengan adanya sistem politik warisan masa lalu, ambil contoh adanya Dharma Wanita dan PKK era Soeharto, lebih lengkap bisa dilihat dalam Buku State Ibuism karya Julia Suryakusuma. Alih-alih perempuan memiliki peranan malah justru sebaliknya ia hanya menjadi pelengkap pekerjaan suaminya.

Lantas bagaimana menjadi perempuan sesungguhnya? menjadi perempuan yang hidup di tengah arus media dan pandangan masyarakat patriarkis. Tentu hal tersebut perlu sikap yang tegas dari perempuan itu sendiri. Sebab perempuan sudah saatnya menetapkan nilai-nilai agar tetap berdiri tegak di antara arus konformitas yang menyusahkan ini. Perempuan juga harus bercita-cita dan berdaya saing dengan laki-laki, terutama dalam hal pendidikan perempuan punya hak yang sama untuk mengeyamnya. Kini saatnya perempuan menjadi dirinya sendiri bukan karena orang lain atau bahkan lingkungan yang penuh dengan sudut pandang. Perempuan harus mandiri dan membawa dirinya sendiri di tengah masyarakat yang plural ini.

the woks institute l 25/10/20

Komentar

  1. Keperempuanan menurut Ashgor Ali Engineer dan Musdah Mulia akan sangat mantap apabila dipandang menurut Islam. Masalah pembagian ruang, hak, kewajiban dan sebagainya akan nampak lebih menyegarkan.

    BalasHapus
  2. Sampai kalimat terakhir tulisannya, saya benar-benar telah curiga. Bagaimanapun cara pandang dan konsepsi tentang perempuan yang telah diuraikan di atas tidak lain adalah dibentuk dari sudut pandang laki-laki sehingga nampak rumit dan kompleks. Tentu, pola pendefinisian dan pendekatannya akan berbeda jikalau perempuan sendiri yang menceritakannya. Jeheheh

    BalasHapus
  3. Wahh siiap, ahli feminis. Suwun atas komentarnya. Benar sampai kapanpun laki-laki tak akan mampu mengurai tentang perempuan bahkan ia sendiri helum final sebagai lelaki. 🙏

    BalasHapus
  4. Membaca quote sampai paragraf pertama saya sependapat. Tapi catatan berikutnya lebih condong kepada penafsiran Islam versi dominasi laki-laki. Jika teks Al Qur'an dan Hadis dibaca secara komprehensif, spirit kesetaraan dan keadilan menjadi pondasinya. Wallahu a'lam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siiap, Bu Nur Fadhilah. Semoga esok saya bisa menarasikan perempuan berdasarkan teks-teks Islam.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde