Langsung ke konten utama

Belajar Asyik Lewat Zoomeeting Art


Oleh: Woko Utoro, S. Ag

Hampir di penghujung tahun kita masih berjibaku melawan Covid-19. Virus yang telah mengubah keadaan dan tatanan menjadi new normal. Keadaan di mana kita dipaksa untuk beradaptasi dan bertransformasi memanfaatkan waktu dalam berbagai hal tak terkecuali pembelajaran dalam pendidikan formal. Sekolah, instansi atau lembaga apapun mengalami sedikit hambatan gerak dengan keadaan ini akan tetapi kehadiran teknologi bisa membantu meredakan keadaan walaupun tidak signifikan.

Kita tahu pandemi ini memukul mundur tatanan dari tatap muka menjadi daring atau dalam jaringan. Pemanfaatan teknologi berupa software pembelajaran menjadi alternatif ketika anak hanya bisa beraktivitas dari rumah. Termasuk penunjang utama adalah kuota internet yang tak kalah pentingnya. Semua terintegrasi bersama antara siswa, guru dan orang tua di rumah sangat dibutuhkan. Walaupun beberapa kendala seperti susah sinyal, habis paketan dan cuaca buruk kita masih bisa memanfaatkan pembelajaran kreatif di beberapa kesempatan. Salah satunya menggunakan aplikasi zoomeeting dengan pembelajaran kesenian dan keterampilan.

Selama ini kita tahu saat anak-anak di rumahkan hal yang di hadapkan mereka secara personal adalah dengan rasa bosan. Belum lagi keluhan orang tua terhadap anak adalah saat mereka tak kenal waktu, hidup selalu di depan layar komputer atau hp bahkan selalu lupa ibadah, makan, dan mandi. Alih-alih pembelajaran berbasis teknologi secara fakta anak-anak lebih asyik nge-game daripada belajar. Secara psikologis perbuatan anak tersebut tidak salah, mereka cuma ingin hiburan sebagai obat rasa jenuh dari keadaan pandemi yang terus mengkhawatirkan itu. Maka dari itu peran orang tua dan guru sangat penting dalam rangka merawat psikis dan kognitif anak.

Selama ini pembelajaran dengan asupan kognitif masih terlalu dominan. Sehingga anak akan terus merasa bosan ketika hanya di hadapkan dengan soal, soal dan lembar kerja lainya. Sehingga metode zoomeeting menjadi salah satu alternatif mengajak anak untuk terus memunculkan kreativitasnya melalui seni dan keterampilan. Guru diharapkan menjadi garda terdepan dalam memunculkan ide agar belajar terasa bermain dan bermain sambil belajar.

Zoomeeting Art adalah salah satu aplikasi pembelajaran daring dari rumah yang memanfaatkan aplikasi zoom untuk pembelajaran seni kolektif. Ambil contoh saat pembelajaran menyanyi di mulai anak bersiap-siap mengikuti musik yang di mainkan oleh sang guru. Di sana mereka menyanyi bersama sesuai dengan kriteria pembelajaran yang telah ditentukan. Termasuk belajar membuat anyaman, melukis, membuat khat, menyusun puzzle dan lainya. Metode guru dan siswa secara bersamaan dalam pemanfaatan aplikasi zoom tersebut dirasa sangat efektif di saat kita masih berjaga jarak. Metode seni menjadi salah satu metode katarsis sekaligus sebagai metode terapi agar anak tetap semangat dan menghindari kejenuhan. Di sinilah perlunya pembelajaran keterampilan sebagai metode terapan mengasah kemampuan psikomotorik anak.

Walaupun dalam keterbatasan keadaan dan teknologi tentu sebagai guru harus terus optimis demi memunculkan ide-ide segar serta menebar energi positif. Dengan ide dan gagasan guru di harapkan pembelajaran baik daring maupun luring tak jauh berbeda. Yang membedakan hanya jarak saja dan rasa tetap sama yaitu edukatif dan bahagia. Lebih jauh dari itu seharusnya konsep merdeka belajar harus dimaknai dengan melihat kemampuan bahwa anak itu berbeda. Tidak semua anak harus mencecap lembaran tugas berupa uraian soal akan tetapi perlu juga keterampilan seninya agar dapat memunculkan ekspresi diri yang sesungguhnya. Anak dididik untuk menjadi diri sesuai keinginannya bukan malah sebaliknya ia dikonstruk menjadi orang lain yang hanya pintar secara kognitif. Kita juga perlu menghargai mereka secara afektif dan psikomotorik. Semoga saja siswa-siswi kita bisa menjiwai semangat belajar walau dalam keterbatasan. 

Pandemi ini membawa hikmah untuk kita dapat bergandengan tangan dengan memanfaatkan teknologi tepat guna, memacu para guru dan orang tua untuk kreatif dalam membina anak-anaknya. Harapan besarnya dari pandemi ini kita senantiasa belajar untuk memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Sekalipun jarak harus berjauhan setidaknya lewat teknologi jarak bisa dilipat. Termasuk belajar pun bisa di mana dan kapan saja.

http://gurupenggerakindonesia.com

Biodata Penulis
Penulis bernama lengkap Woko Utoro atau biasa disapa Bang Woks. Ia lahir di Indramayu, 22 safar 1417. Menempuh Pendidikan di IAIN Tulungagung Jurusan Tasawuf & Psikoterapi. Tercatat juga sebagai santri di PP Himmatus Salamah Srigading Tulungagung. Kini bekerja sebagai pendidik di SDI Pesantren Al Azhaar Tulungagung. Memiliki minat pada kajian sosial, keislaman dan kebudayaan. Pernah menerbitkan beberapa buku baik solo maupun antologi seperti, Jalan Terjal Meraih Mimpi Kuliah (2016), Aku, Buku dan Membaca (2017), Musafir Ilmu (2018), Insan Jomblo Community (2019), Dzikir Pena Santri (2019), Wong Edan Kui Bebas (2019), Lampion Masa Depan (2020) dll. Bersilaturahmi lewat fb Almahry Reprepans & surel woksma@gmail.com.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde