Langsung ke konten utama

Pandemi Kita: Merindu Gus Dur dan Sepakbola

                (Foto: Arista Mega Oktavia)

Woks

Di tengah pandemi yang tidak menentu kapan ujungnya Liga Inggris 2020/2021 sudah menentukan tanggal kick-off. Kompetisi bergengsi di Benua Biru itu dimulai pada 12 September 2020 dan berakhir pada 23 Mei 2021. Termasuk liga bergengsi lainya seperti liga Italia dan Spanyol. Kabar tersebut tentu membuat lega para fans diberbagai daerah di belahan dunia setelah lama tak ada kompetisi karena pandemi, walaupun mereka hanya bisa menyaksikan laga tim kesayangan lewat layar kaca. Akan tetapi bagaimana dengan fans bola di tanah air? 

Kondisi kompetisi di tanah air masih belum bisa digulirkan. Padahal sebelumnya PSSI melalui PT LIB berencana memulai pertandingan lanjutan Liga 1 pada 1 Oktober 2020. Akan tetapi karena kondisi pandemi yang tak kunjung membaik keputusan tersebut akhirnya dicabut kembali. Hal itu diperkuat dengan tak adanya restu dari kepolisian sebagai pihak pengampu keamanan. Termasuk masih dikhawatirkannya klaster baru dari sepakbola. 

Padahal realitanya para penggemar sepakbola sudah terlalu dahaga akan pertandingan. Para pemain pun demikian sebab mereka masih aktif berlatih dan menunggu pembayaran dari manejemen tim sebagai kelanjutan dari kompetisi. Beberapa pihak menyayangkan keputusan dari PSSI dan POLRI karena belum mampu memilih keputusan yang tepat. Seharusnya dengan segala macam peraturan dan persyaratan sesuai standar protokol Covid-19 kompetisi bisa bergulir. Termasuk sanksi jika sampai ada supporter salah satu klub yang datang berkrumun ke stadion.

Lebih jauh sepakbola kita memang menghadapi situasi yang tidak menentu. Paradoks keputusan selalu saja di ambang pintu, di satu sisi Indonesia di hadapkan dengan jadwal Piala Dunia 2021 di satu sisi yang lain kompetisi masih mandeg. Mereka pengelola klub tentu kelimpungan terutama terkait gaji pemain, booking hotel, dan menurunya nilai jual dari sponsor. Yang juga membuat kecewa tim, pemain dan official adalah masih diteruskanya kontestasi Pemilu di berbagai daerah. Seolah mereka para kompetitor sepakbola merasa tidak diberi keadilan. Jangan sampai insan pecinta sepakbola bertanya apakah tidak mungkin klaster Pemilu bisa juga terjadi?

Pemerintah, Sepakbola dan Gus Dur

Mengingat sepakbola mengingatkan kita pada Gus Dur. Orang mungkin sedikit yang tahu bahwa Presiden ke-4 RI juga punya hobbi bermain bola, pengamat bola, komentator hingga tukang analisis yang jitu. Orang hanya tau beliau adalah Presiden, ketua PBNU, Kiai, Akademisi, Aktivis atau guru bangsa. Padahal beliau adalah seorang yang multitalenta-multidimensi termasuk bicara tentang si kulit bundar, prediksi skor, taktik pelatih hingga analisis kemenangan lawan. 

Sejak medio 1970-2000 Gus Dur begitu rajin menuliskan komentarnya dalam kolom surat kabar baik di Kompas, Majalah Bola atau media lainya. Analisisnya tajam tentang bola tentu tidak dilahirkan dari sesuatu yang instan melainkan berdialektika dari proses panjang. Seperti banyak orang menuliskan tentang Gus Dur bahwa beliau menyukai bola sejak kanak-kanak bersama Ayahnya (KH Wachid Hasyim) bahkan sampai terbawa hingga kuliah ke Mesir. Konon beliau sempat tidak naik kelas gegara bola (Greg Barton 2011).

Saking maniaknya pada bola Gus Dur dianggap mampu dalam menganalisa pertandingan. Padahal ia bukan pakar sepakbola. Akan tetapi untuk menjadi pelatih tidak harus pernah menjadi pemain bola, contoh riilnya Jose Mourinho, Maurizio Sarri, Andre Villa Boas dan Julian Nagelsmann (Badawi 2019). Ketidakpakaran Gus Dur justru memperlihatkan kedalaman ilmu dan ketajaman intuisinya. Perhelatan sepakbola Eropa tahun 1988, 1992, 1996 hingga World Cup 1982, 1986, 1990, 1994 dan 1999 tidak luput dari perhatiannya. Ia terus menulis dan melontarkan opininya ke publik bahwa orang bisa bicara apa saja asal berdasar dengan pengetahuan yang kuat.

Bagi Gus Dur sepakbola adalah permainan tentang banyak hal. Pengertian sepakbola menjadi luas karena ia bukan sekadar permainan tapi strategi kehidupan. Bahkan sejarah mencatat bahwa saat Gus Dur menjadi presiden beliau sering mempraktekkan beberapa strategi bola seperti Catenaccio ala Italia, Hit and run, Kick and rush ala Inggris, dan Total football ala Belanda. Begitulah Gus Dur bahwa bola adalah bagian dari kehidupan manusia, sosial, budaya, agama hingga politik. Sulit rasanya kita bisa menebak apa yang dilakukan Gus Dur pada saat itu sehingga Romo Sindhunata (1999) mengatakan bahwa rakyat itu bundar seperti bola dan tidak bisa diprediksi pula. 

Sejak 30 Desember 2009 saat kepergian Gus Dur tentu kita merasa kehilangan. Sosok pejuang humanis itu selalu saja dirindukan kehadirannya. Apalagi di tengah pendemi ini pemerintah butuh pencerahan, rakyat butuh hiburan. Mengingat Gus Dur, pengetahuan, waskita dan joke nya serasa menghadirkan kembali sosoknya di alam nyata. Apalagi tentang bola dan kecintaan masyarakat terhadapnya, supporter layak kecewa sebab kompetisi belum saja dimulai. Kita hanya bisa menunggu kepastian akankah Liga 1 sebagai hiburan rakyat itu dilanjutkan atau justru terus diundur sampai datangnya kepastian. Entahlah, rakyat tak bisa berbuat banyak selain menanti dahaga dari rindu bola dan kebersamaanya. Jika pun tribun bukan pengobatnya setidaknya layar kacalah penangkalnya.

Menanti Angin Segar Sepakbola

Sebanyak 18 klub di liga 1 sebenarnya memiliki banyak pandangan terkait kompetisi. Apakah kompetisi tersebut dilanjutkan atau dimulai kembali dari awal. Tentu pandangan tersebut di lain pihak pasti akan menimbulkan pro-kontra. Sebab selama ini keadaan klub hampir merasakan dampak yang sama. Lebih dari itu mereka juga sadar bahwa virus ini hidup bersama kita. Pemberlakuan pola hidup sehat selalu cuci tangan, pakai masker, jaga jarak pun masih diimbangi dengan diberlakukannya herd imunnity. Hal itulah yang bisa dilakukan di masa pandemi ini.

Menurut hemat saya keadaan yang demikian ini harus ditanggapi secara serius, minimal PSSI dan PT LIB memberi keterangan akan kelanjutan kompetisi baik di liga utama atau liga yang berada di bawahnya. Sebab jika terus berlarut-larut masalah tidak akan usai. Ketidakpastian memang menimbulkan masalah yang kompleks seperti halnya makin menurunya performa pemain, psikologis terganggu, makin meruginya klub, dan tunggakan gaji. Belum lagi tuntutan klub akan ganti rugi, meminta garansi, atau digulirkanya kompetisi baru terus saja didengungkan. 

Perlu diingat bahwa keberadaan supporter fanatik di Indonesia sangat besar jumlahnya. Mereka tentu memiliki peran besar terhadap eksistensi sebuah klub sepakbola. Dari sanalah seharusnya pengampu kebijakan berkaca agar bagaimana kompetisi ini bisa bergulir dengan regulasi yang baru demi kelanjutan persepakbolaan Nasional. Maka dari itu saat ini kita hanya bisa menunggu kapan kepastian itu datang. Jika Gus Dur masih ada di kondisi seperti ini mungkin beliau akan berkata, "seng sabar wae, gitu aja kok repot".

the woks institute l 11.10.20

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde