Langsung ke konten utama

Menulis Karena Uang Apa Salahnya

              (Sumber foto: Canva.com)

Woks

Saat di sekolah dasar (SD) dulu kita diajari menulis oleh guru atau sesekali diajari mengarang entah itu pantun, puisi, gurindam, sajak, hingga cerpen. Tapi kita masih belum paham untuk apa kemampuan menulis itu kedepanya. Bahkan saat kita dewasa pun masih mempertanyakan apa guna, manfaat, dan tujuan menulis? Seberapa pentingnya menulis bagi kehidupan kita. Banyak juga yang beranggapan seperti kaum utilitarian di mana kebaikan belum disebut baik jika belum bermanfaat.

Secara praksis saya tidak usah menjelaskan apa manfaat menulis. Kita tentu tahu bahwa dengan menulis seseorang dapat merawat peradaban, memperkaya wawasan, membagi pengetahuan, terus belajar dan mencari keuntungan. Bagian akhir ini beberapa orang masih tabu jika soal pendapatan. Apa mungkin dari menulis kita bisa mendapat keuntungan dan jika iya pun apa boleh diniati demi mendapat uang?

Saat ini kita tahu bahwa tujuan orang menulis itu bermacam-macam ada yang sekadar hobi, iseng-iseng, kebutuhan, profesi hingga keuntungan. Tidak salah jika menulis karena uang. Anggap saja tujuan itu adalah bonus sebagai pengganti waktu yang tersita, pikiran yang terkuras dan keringat yang bercucuran. Tapi pada intinya kebahagiaan seorang penulis adalah ruang kreasi dan apresiasi, termasuk menikmati bagaimana caranya berproses. Seperti para ahli berkata bahwa menulis adalah proses pembelajaran keadaban dan peradaban. Menulis berarti pembelajar sepanjang zaman. Ia akan terus menarikan penanya demi menciptakan gagasan. Terlepas dari jenis tulisan apa yang dihasilkan yang jelas keuntungan adalah kebaikan yang mengiringi.

Ada orang menulis untuk media koran, mengirimkanya ke platform digital hingga membuat buku semua pasti ada keuntungan. Sehingga bicara keuntungan tidak disebut salah. Ambil contoh hasil produk menulis berupa buku, majalah, buletin bisa menjadi uang berarti kita sedang memanfaatkan ruang komplit di mana belajar tak sirna dan keuangan selalu ada. Walaupun suka duka menulis juga ada, akan tetapi keuntungan tersebut salah satu kepuasan tersendiri.

Kita membaca sejarah dulu Gus Dur sering mampir ke kantor Tempo untuk menulis. Saat Goenawan Mohammad menjadi redakturnya, sering sekali Gus Dur meminjam mesin ketik Tempo lalu menghabiskan waktu 2 jam untuk menulis. Saat tulisanya dimuat lalu beliau mendapat uang dari jerihpayahnya itu. Gus Dur memang tidak gengsi saat mendapat honor dari menulis itu. Selama hal itu halal toh apalagi yang harus dipertanyakan. Saat ini menulislah saja. Jika kita menulis dan tidak memiliki tujuan apa tentu peranan politik dalam diri belum sepenuhnya jalan. Padahal di luaran sana banyak orang yang menulis selain demi uang ada juga karena eksistensi, propaganda, marketing, penggiringan opini, dan lainya.

Walau demikian kesimpulan mengatakan bahwa menulis itu susah-susah gampang. Apalagi saat kita mengirimkanya ke meja redaksi tentu butuh perjuangan dan kesabaran saat tulisan tersebut hendak di terbitkan. Sudah berapa kali kita ditolak redaksi saat mengirimkan serangkaian tulisan. Pastinya sangat banyak. Tapi walaupun demikian hal itu adalah bagian dari ujian dan proses. Tanpa hal itu penulis besar sekaliber J.K Rowling, Agatha Christie, Herman Melville, Yann Martel dan lainya tak pernah terlahir. Tapi ketika tulisan tersebut dimuat betapa bahagianya kita, bahkan ada rasa campur aduk ternyata perjuangan kita menulis tidak sia-sia. Dalam kasus ini bisa kita telusuri secara jauh di novel karya N Mursidi "Tidur Berbantal Koran". Dalam novel tersebut Mursidi menceritakan lika-liku hidupnya berjuang bertahan di Jogja demi kuliah dan cita-cita. Semua karena menulis padahal saat itu ia tidak punya skill menulis. Karena kegigihannya akhirnya ia menjadi salah satu wartawan Kompas di Jakarta.

Demikian narasi tentang menulis seolah seperti ada keajaiban. Saat ini tak usah hiraukan apa kata orang, apapun tujuan kita menulis jika itu baik lanjutkan. Jangan menoleh ke arah yang dapat membenamkan cita-cita menulis. Jika tujuan awal kita mulia mungkin saja menulis adalah salah satu jalan yang akan menuntun kita ke sana. Jangan berhenti menulis dan teruslah berkarya. Syukur-syukur jadikan menulis sebagai passion di saat orang memilih menjadi orang lain justru kita memilih menjadi diri sendiri dengan menulis. Jika maqom menulis kita sudah khos maka dapat dipastikan orang atau redaksi bisa saja meminta kita menulis tanpa perlu bersusah payah membranding nama penulis. Bahkan maqom menulis itu menjadikan kita tak berharap apa-apa kecuali keridhoanNya.

the woks institute l 4.10.20


Komentar

  1. 'Kita' adalah buruh. Pekerja kasar menukar pilu dan keringatnya dengan uang. Begitu pun juru tulis. Sehat selalu kaum buruh. 😁

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde