Langsung ke konten utama

Mengupas Kebahagiaan Personal


Woks

Kita tahu pasti bahwa setiap orang memiliki subjektivitasnya untuk mengharap kebahagiaan. Ya, bahagia adalah kamus dasar yang sudah tertanam sejak lama di alam bawah sadar manusia. Ia adalah kata yang setiap orang mencarinya. Kebahagiaan adalah kondisi di mana manusia akan menggapainya secara alamiah. Entah bagaimana caranya bahagia menjadi hal utama dari sebuah pencarian. Paling panjang dalam waktu pencarian itu kebahagiaan akan bertabrakan dengan norma atau tidak? tergantung manusianya.

Kita tahu ada ungkapan berbunyi "cari yang haram saja susah apalagi yang halal". Kata-kata tersebut mengandung satire namun terus populer hingga saat ini. Sehingga kita tahu hanyak orang terjebak dengan kebahagiaannya sendiri. Padahal kebahagiaan itu adalah kebahagiaan orang lain atau lebih tepatnya hasil konstruk lingkungan, fashion, budaya, style, gaya hidup dan faktor X yang lain.

Jika dipaksa jujur pasti kebahagiaan kita tak jauh berbeda dengan apa yang kita telah tanam mungkin karena motivasi dari orang lain atau karena banyak hal yang ditemui dalam bahasa sederhananya "apa kata orang", "umumnya gitu" dll. Padahal setiap orang punya kebahagiaannya tersendiri bahkan ber-value unik. Ambil contoh ada seseorang yang merasa bahagia ketika ia mampu ngopeni mushola, walau bayaranya kecil setidaknya kebahagiaan itu tercapai. Dengan melihat mushola selalu bersih, lantai terawat dengan baik, anak-anak gemar mengaji, adzan selalu berkumandang dan ibu-ibu giat rutinan (baca: pengajian) semua itu adalah kebahagiaannya. Tanpa pernah memandang remeh yang lain dari contoh tersebut bahagia adalah sikap kepuasan sekaligus menerima secara lapang dada apa yang diberikan Allah. Intinya jika yang dijalani dengan ikhlas dan membuat hati nyaman itu salah satu bentuk kebahagiaan. Seperti dawuh Ustadz Dr. Teguh, M. Ag bahwa apa yang datang kepada kita sambutlah dengan senyuman, walaupun ia terasa pahit.

Mayoritas orang memaknai bahagia adalah tentang kepuasan yang terpenuhi. Padahal secara hakikat tidak semua kepuasan yang dibalut keinginan itu adalah kebahagiaan. Buktinya masih banyak orang kecewa dan hidup tidak tentram, padahal jabatan, harta benda sudah digenggaman. Bahkan banyak artis meregang nyawa dengan jalan bunuh diri, padahal sedang dalam tingkat popularitas tinggi. Maka tak salah pepetah Pramuka berkata "lebih baik hidup di rumah berbilik bambu dengan keringan-gembiraan dari pada di istana tapi penuh kemuram-durjaan". Dari sanalah kita tahu bahwa bahagia adalah bentuk penerimaan secara total tanpa pernah protes dan inilah yang merupakan ekstraksi dari ibadah.

Saya jadi ingat pesan Emha Ainun Nadjib bahwa jika bisa kebahagiaan itu harus ditekan serendah-rendahnya. Mengapa demikian? karena jika standarisasi bahagia harus berhierarki maka orang tidak akan pernah puas. Sedangkan rasa selalu ingin dan ingin adalah sifat hayawan manusia. Ia bahkan sering muncul sebagai ego dan dorongan nafsu sejak lahir. Maka dari itu keinginan yang bukan kebutuhan harus dikelola dengan baik. Kita punya beragam emosi yang harus dikendalikan salah satunya budaya konsumtif berlebihan. Jika kita tahu permasalahan tersebut mengapa selalu berkelindan, bersembunyi di balik topeng "puas-puasin aja loe, mumpung masih hidup", padahal masih ada kenikmatan besar bernama surga dan pertemuan agung bersama Allah swt.

Pernyataan Emha atau Cak Nun tersebut senada dengan sebuah film yang berjudul "Cita-citaku Setinggi Tanah (2012)". Film besutan sutradara Eugene Panji tersebut bercerita tentang seorang anak kecil dari Muntilan bernama Agus yang bercita-cita bisa makan di warung nasi Padang dengan sajian rendangnya. Seharusnya perkara masakan rendang adalah hal yang mudah. Akan tetapi dalam film tersebut menjawab tidak semua itu, ia harus berjuang mencari uang. Rendang bagi keluarga miskin adalah sesuatu yang mahal. Sehingga dalam film tersebut ceritanya begitu sederhana dan pastinya menguras emosi penonton.

Pamungkasnya kita bisa belajar bahwa kebahagiaan personal itu ada. Ia adalah bentuk penerimaan serta cara bagaimana ia bersyukur atas sebuah nikmat. Kebahagiaan inilah yang menjadi dasar manusia bernilai di hadapan Tuhanya. Apakah ia mampu menjadi hamba pilihanya atau tidak tergantung dengan apa sikap yang diambilnya. Bahagia memang subjektif akan tetapi ia adalah sikap bagaimana kita menghargai diri sendiri. Teruslah menjadi pelayan kebaikan kepada orang lain tanpa melupakan diri kita sendiri.

Komentar

  1. Betul sekali. Bahagia itu tergantung dari cara kita mensyukuri nikmat

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Bukber PKBM Pilar Papat Panggungrejo

Woko Utoro Dua hari sebelum hari raya saya diundang oleh Pak Toni yang tak lain merupakan founder PKBM Pilar Papat Panggungrejo. Kami kenal begitu singkat yaitu saat beliau narik ojek online Maxim. Ya, Pak Toni adalah driver Maxim sekaligus teman baru saya yang bertemu ketika mengantar teman sepulang dari rumah sakit. Singkat kisah Pak Toni bercerita seputar kegiatan pengelolaan pendidikan khusus anak berkebutuhan. Hingga akhirnya pertemuan kami berlanjut di warung kopi depan Bravo. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga akhirnya sampai di tanggal 8 April saya diajak untuk hadir dalam acara metri atau launching PKBM Pilar Papat. PKBM Pilar Papat merupakan pusat kegiatan belajar menyenangkan yang didirikan Pak Toni bersama beberapa kawannya. PKBM Pilar Papat terletak di Desa Panggungrejo arah Karangduren menuju SMA 1 Tulungagung. Atau selatannya PP Al Istighotsah Panggungrejo. Menurut Pak Toni PKBM Pilar Papat tersebut didirikan atas kesadaran bahwa ada anak-anak yang butuh perhatian khusus.

Catatan Srawung Buku Anak Merdeka di Warkop Ngaji Ngopi

Woko Utoro Saya sangat senang ketika bergabung dalam acara Srawung Buku. Kebetulan saya bertindak sebagai penanggap buku. Sebuah tugas yang tentunya kali pertama ini saya kerjakan. Sebelumnya saya hanya sebagai moderator ataupun narasumber. Tapi ini menjadi pembelajaran buat saya kedepannya. Agar selalu siap dalam berbagai posisi.  Mba Fafa sebagai founder Komunitas Belajar Melati Sinebar sekaligus moderator acara Srawung Buku mengajak saya bersama narasumber lainnya dalam diskusi. Di antaranya penanggap buku pertama yaitu Mba Deni (Founder Komunitas Aku Bisa Menulis (ABM) dan tentunya penulis buku Anak Merdeka Mas Narno dan Mba Ulya.  Malam itu di warung Ngaji Ngopi kami pun berdiskusi begitu gayeng. Sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya kami bicara seputar buku Anak Merdeka. Buku yang ditulis terutama ketika masa pandemi. Buku yang dalam hemat saya menarik dan perlu terus dikembangkan.  Buku Anak Merdeka berisi catatan pengasuhan anak yang memerdekakan. Pengasuhan