Kita tahu pasti bahwa setiap orang memiliki subjektivitasnya untuk mengharap kebahagiaan. Ya, bahagia adalah kamus dasar yang sudah tertanam sejak lama di alam bawah sadar manusia. Ia adalah kata yang setiap orang mencarinya. Kebahagiaan adalah kondisi di mana manusia akan menggapainya secara alamiah. Entah bagaimana caranya bahagia menjadi hal utama dari sebuah pencarian. Paling panjang dalam waktu pencarian itu kebahagiaan akan bertabrakan dengan norma atau tidak? tergantung manusianya.
Kita tahu ada ungkapan berbunyi "cari yang haram saja susah apalagi yang halal". Kata-kata tersebut mengandung satire namun terus populer hingga saat ini. Sehingga kita tahu hanyak orang terjebak dengan kebahagiaannya sendiri. Padahal kebahagiaan itu adalah kebahagiaan orang lain atau lebih tepatnya hasil konstruk lingkungan, fashion, budaya, style, gaya hidup dan faktor X yang lain.
Jika dipaksa jujur pasti kebahagiaan kita tak jauh berbeda dengan apa yang kita telah tanam mungkin karena motivasi dari orang lain atau karena banyak hal yang ditemui dalam bahasa sederhananya "apa kata orang", "umumnya gitu" dll. Padahal setiap orang punya kebahagiaannya tersendiri bahkan ber-value unik. Ambil contoh ada seseorang yang merasa bahagia ketika ia mampu ngopeni mushola, walau bayaranya kecil setidaknya kebahagiaan itu tercapai. Dengan melihat mushola selalu bersih, lantai terawat dengan baik, anak-anak gemar mengaji, adzan selalu berkumandang dan ibu-ibu giat rutinan (baca: pengajian) semua itu adalah kebahagiaannya. Tanpa pernah memandang remeh yang lain dari contoh tersebut bahagia adalah sikap kepuasan sekaligus menerima secara lapang dada apa yang diberikan Allah. Intinya jika yang dijalani dengan ikhlas dan membuat hati nyaman itu salah satu bentuk kebahagiaan. Seperti dawuh Ustadz Dr. Teguh, M. Ag bahwa apa yang datang kepada kita sambutlah dengan senyuman, walaupun ia terasa pahit.
Mayoritas orang memaknai bahagia adalah tentang kepuasan yang terpenuhi. Padahal secara hakikat tidak semua kepuasan yang dibalut keinginan itu adalah kebahagiaan. Buktinya masih banyak orang kecewa dan hidup tidak tentram, padahal jabatan, harta benda sudah digenggaman. Bahkan banyak artis meregang nyawa dengan jalan bunuh diri, padahal sedang dalam tingkat popularitas tinggi. Maka tak salah pepetah Pramuka berkata "lebih baik hidup di rumah berbilik bambu dengan keringan-gembiraan dari pada di istana tapi penuh kemuram-durjaan". Dari sanalah kita tahu bahwa bahagia adalah bentuk penerimaan secara total tanpa pernah protes dan inilah yang merupakan ekstraksi dari ibadah.
Saya jadi ingat pesan Emha Ainun Nadjib bahwa jika bisa kebahagiaan itu harus ditekan serendah-rendahnya. Mengapa demikian? karena jika standarisasi bahagia harus berhierarki maka orang tidak akan pernah puas. Sedangkan rasa selalu ingin dan ingin adalah sifat hayawan manusia. Ia bahkan sering muncul sebagai ego dan dorongan nafsu sejak lahir. Maka dari itu keinginan yang bukan kebutuhan harus dikelola dengan baik. Kita punya beragam emosi yang harus dikendalikan salah satunya budaya konsumtif berlebihan. Jika kita tahu permasalahan tersebut mengapa selalu berkelindan, bersembunyi di balik topeng "puas-puasin aja loe, mumpung masih hidup", padahal masih ada kenikmatan besar bernama surga dan pertemuan agung bersama Allah swt.
Pernyataan Emha atau Cak Nun tersebut senada dengan sebuah film yang berjudul "Cita-citaku Setinggi Tanah (2012)". Film besutan sutradara Eugene Panji tersebut bercerita tentang seorang anak kecil dari Muntilan bernama Agus yang bercita-cita bisa makan di warung nasi Padang dengan sajian rendangnya. Seharusnya perkara masakan rendang adalah hal yang mudah. Akan tetapi dalam film tersebut menjawab tidak semua itu, ia harus berjuang mencari uang. Rendang bagi keluarga miskin adalah sesuatu yang mahal. Sehingga dalam film tersebut ceritanya begitu sederhana dan pastinya menguras emosi penonton.
Pamungkasnya kita bisa belajar bahwa kebahagiaan personal itu ada. Ia adalah bentuk penerimaan serta cara bagaimana ia bersyukur atas sebuah nikmat. Kebahagiaan inilah yang menjadi dasar manusia bernilai di hadapan Tuhanya. Apakah ia mampu menjadi hamba pilihanya atau tidak tergantung dengan apa sikap yang diambilnya. Bahagia memang subjektif akan tetapi ia adalah sikap bagaimana kita menghargai diri sendiri. Teruslah menjadi pelayan kebaikan kepada orang lain tanpa melupakan diri kita sendiri.
Betul sekali. Bahagia itu tergantung dari cara kita mensyukuri nikmat
BalasHapus