Langsung ke konten utama

Kiai dan Santri Nakalnya

               (Sumber foto: Yukepo.com)

Woks

Kita tentu pernah mendengar bahwa pesantren adalah bengkel tempat orang diperbaiki ilmu dan akhlaknya. Pesantren juga ibarat tukang servis yang memperbaiki alat-alat elektronik yang rusak. Pernyataan itu memang tidak sepenuhnya salah. Memang selama ini salah satu fungsi pesantren adalah membina karakter santri menjadi manusia yang seutuhnya. Terlepas dari rekam jejaknya seperti apa. Inilah keunikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainya.

Tapi tidak semua pesantren memberlakukan pondoknya laiknya rumah sakit yang menerima segala macam pasien atau santri. Melainkan pesantren tersebut memiliki spesialisasinya tersendiri seperti khusus quran, kitab, enterpreneur, agrobisnis, hingga teknologi. Jadi tidak semua pesantren bisa menerima santri dengan berbagai kalangan lebih lagi santri yang punya track record nakal.

Tidak hanya di pesantren, di manapun tempatnya anak nakal itu pasti ada. Sebab tanpa mereka kehidupan kita tidak berwarna. Anak nakal tidak sepenuhnya salah mereka hanya perlu perlakuan khusus, pun termasuk ketika berada di pesantren. Dalam bahasa pesantren anak nakal sering diistilahkan santri mbeling, ndugal, mblaong dan istilah lokal lainya. Bagaimanapun keadaan santri toh pada akhirnya saat hidayah menghampirinya mereka akan tersadar dengan sendirinya. Bahkan perkara keinsyafan kita tidak pernah tahu. Sering juga kita merasa bingung mengapa Sayyidina Umar bin Khattab orang yang paling kaku, keras dan ditakuti di tanah Arab itu mendadak takluk dengan kelembutan Islam jika bukan karena hidayah Allah. Di sinilah pentingnya kita berkhusnudzan entah tiba waktunya semua bisa saja berubah.

Seperti yang ditulis di laman Tirto.id bahwa ada banyak kisah kiai dan santri nakalnya. Bagaimana kiai tersebut memperlakukan santri nakal tersebut agar menjadi santri seutuhnya. Banyak kisahnya bisa kita temui di sana di antaranya kisah KH Ahmad Umar Abdul Mannan yang meminta nama-nama santri nakal kepada pengurus. Suatu saat pengurus heran mengapa belum ada tindakan kiai terhadap daftar santri nakal tersebut. Ternyata usut punya usut sang kiai hanya melakukan riyadhoh malam untuk mendoakan santri tersebut. Hingga akhirnya si pengurus paham bahwa kiainya melakukan kepasrahan kepada Allah agar bisa membuka pintu hati santrinya itu.

Lelaku semacam itu juga di lakukan oleh KH Ali Maksum Krapyak Yogyakarta. Beliau sering memanggil santri nakal untuk diajak makan ke ndalemnya atau bahkan sesekali diajak jalan-jalan menggunakan sepada motor. KH Baidowi Syansuri juga demikian selalu mengutamakan santri nakal agar mereka insyaf atas perbuatanya, bukan malah dicampakan. Justru pesantren malah merawat mereka agar kembali ke jalan yang lurus.

Saya pun pernah menyaksikan KH Hafidz Baehaqi saat beliau masih sugeng dan menjabat sebagai Rais Syuriah MWC NU Haurgeulis serta sebagai pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Jannah Manggungan. Saya menyaksikan beliau selalu memanggil santri nakal untuk sekadar memijit beliau, disuruh membelikan sesuatu, bahkan sesekali beliau memberi uang untuk santri tersebut memotong rambut atau membeli kopiah. Cara itulah yang beliau lakukan agar santri nakal tidak kabur atau lari. Dengan cara demikian santri nakal diharapkan bisa sungkan dengan kiainya dan seolah diistimewakan sehingga lambat laun hatinya luluh dan lembut. Urusan perubahan kelakuan itu seiring berjalanya waktu. Pastilah seorang kiai akan menyerahkanya kepada Allah swt.

Sebenarnya apa yang dilakukan para kiai tersebut merupakan metode konseling. Sang kiai sebagai konselor mendekati kliennya sesuai dengan problemnya. Beliau-beliau dengan intuisinya menggerakan mereka untuk mau bicara dan harapan besarnya dapat merubah sikap. Pendekatan tersebut dirasa ampuh sebagai upaya seseorang melihat bahwa mereka pun sama dengan yang lain. Seperti yang telah dijelaskan bahwa kita hanya perlu penanganan yang tepat.

Mari mengingat wali nyeleneh KH Hammim Tohari Djazuli atau Gus Miek bahwa memperbaiki anak istri dengan lisan, kata-kata dan nasihat itu sudah bukan musimnya. Yang musim itu dengan getaran bathiniyyah yaitu dengan cara mengiriminya al fatihah satu persatu. Insyaallah karena sinar fatihah bisa terbuka hatinya. Cara itulah yang diharapkan bisa menembus dhohir wa batinan kepada santri nakal tersebut.

Yang perlu diingat pula sebenarnya istilah nakal itu tidak ada. Istilah itu diadakan karena untuk membedakan tentang sikap seseorang yang berbeda dengan orang lain. Tentu jika ada pun kenakalan mereka bisa ditinjau dari berbagai sisi. Biasanya kenakalan itu bukan murni dari dalam dirinya, bisa jadi karena lingkungan, tempat permainan, meniru orang dan faktor X lainya. Perlu diingat bahwa tidak ada kenakalan yang dibawa sejak lahir. Semua anak itu sama, lahir dalam keadaan suci. Urusan perubahan lainya cuma karena faktor pendidikanya. Maka dari itu didiklah anak-anak dengan penanganan yang tepat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde