Langsung ke konten utama

Buku Sebagai Kado Terindah


Woks

Jika ada teman atau saudara yang ulang tahun "kado" dan "traktiran" menjadi dua kata yang paling populer. Saat seseorang ketiban rezeki istilah syukuran pun berkonotasi pada traktiran entah diwujudkan dalam bentuk makan-makan atau hadiah toh semua muaranya satu asal kita senang. Padahal yang mentraktir belum tentu demikian. Kadang di sinilah keunikan masyarakat kita yang selalu ingin untung dalam sebuah peristiwa.

Berbicara tentang kado atau hadiah tentu kita pernah punya pengalaman seputar ini. Anggap saja saat momen ulang tahun tiba secara tidak sadar ada saja yang memberikan hadiah atau sekadar ucapan selamat. Bahkan ada saja yang merawat tradisi primitif berupa surprise pelemparan telur busuk dan tepung saat ulang tahun. Saya sendiri tidak tahu banyak hal kapan sejarah kado dan perayaan ulang tahun dimulai. Yang jelas jika rujukanya Kanjeng Nabi Muhammad saw tentu di saat tiba tanggal kelahirannya, beliau akan berpuasa sebagai ungkapan syukur. Begitu pula dengan tradisi kado atau souvernir dalam tradisi mbecek (kondangan) ke pesta pernikahan.

Ada ungkapan bahwa sebaik-baik hadiah adalah do'a. Tapi bagi barisan para jomblo sebaik-baik hadiah adalah dia (she/he). Namun bagi pecinta literasi (mungkin) sebaik-baik hadiah adalah buku. Ya, buku menjadi kado terbaik yang lengkap, kaya akan pengetahuan tanpa perlu membeli banyak barang. Bagi para biblioholic buku adalah kado sekaligus teman terbaik. Seperti ungkapan bahasa Arab خَيْرُ جَلِيْسٍ فيِ الزَّمَانِ كِتَابٌ "sebaik-baik teman duduk sepanjang masa adalah buku". Maka dari itu jika ada orang maniak buku jangan sungkan untuk memberi kado berupa buku ketika bertepatan dengan momen baiknya.

Saya sendiri pernah beberapa kali merasakan momen diberi hadiah buku oleh para kolega. Buku-buku tersebut masih saya simpan hingga saat ini bahkan tak lupa saya bubui tanda tangan yang bersangkutan termasuk dalam rangka apa buku itu diberikan. Salah satu buku-buku pemberian sebagai kado itu di antaranya; Buku Demi Toleransi Demi Pluralisme Esai-Esai Merayakan 65 tahun Dawam Rahardjo (2007), buku ini adalah pemberian Ibu Lilik Rofiqoh, M. Hum ketika saya berhasil menyelesaikan sebuah challenge berupa menulis seputar psikologi agama. Lalu ada Buku Biografi Prof KH Tolchah Mansoer Pendiri IPNU yang Terlupakan (2009), buku ini adalah kado dari Rekan Iqbal Hamdan Habibi. Beliau adalah putra dari KH Hakim Mustofa yang tak lain merupakan ketua PCNU Tulungagung. Kado tersebut ia berikan saat momen sidang skripsi saya dinyatakan lulus. Buku Resolusi Menulis (2017), buku ini pemberian dari Mas Roni Ramlan yaitu buku kumpulan teman-teman sahabat pena nusantara (SPN) yang menarasikan tentang harapan di tahun mendatang seputar dunia literasi. Ada juga Buku Merayakan Sang Liyan (2013), buku ini dari sahabat seni saya yaitu Rizki Pratama yang juga kolega dari Bunda Tjut Zakiya Anshari (pengasuh Pena Ananda Club). Buku Saya, Jawa, dan Islam (2019), buku ini adalah hadiah dari Bapak Ahmad Fauzan, S.S, M. Pd. I yang merupakan sahabat sekaligus dosen saya ketika kuliah di jurusan Tasawuf Psikoterapi. Buku tersebut hadiah saat saya menyelesaikan wawancara di pondok pesantren Ploso dengan tema ro'an sebagai tradisi lokal tentang kebersihan. Lalu Buku Humor, Perempuan dan Sufi (2019), yaitu buku dari Mas Fauzi Ridwan (kawan jurusan/BM/SPK). Buku ini sebenarnya pesanan saya, akan tetapi karena saya main ke rumah beliau maka kata Mas Fau buku tersebut diberikan kepada saya secara cuma-cuma. Katanya buku tersebut adalah berkah silaturahmi. Selain buku tersebut saya juga masih banyak mendapat kado lainya seperti, koran lawas, buletin, majalah dan tabloid.

Sangat senang sekali saat menerima kado berupa buku tersebut. Sebab buku adalah tentang apa yang kita sukai. Kado memang bersifat subjektif, setiap orang tidak bisa dipaksakan menelan apa yang orang sukai. Begitu pula buku, orang yang suka dengan lipstik tidak bisa dipaksa harus suka dengan buku. Buku hanya dicipta bagi mereka para penikmat pengetahuan, pembuka jendela dunia dan pencari teman sejati. Buku adalah camilan yang dapat mengenyangkan sekaligus praktis bisa dibawa ke mana saja. Maka benar juga bahwa jikalau mampu membeli buku maka mampu juga membeli waktu untuk membacanya. Selamat bersuka ria dengan buku. Ayoo beri saya hadiah buku, niscaya akan saya resensi. hehe

the woks institute l 31/10/20

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde