Woks
Pendahuluan
Adanya pandemi Covid-19 telah merubah banyak hal dalam sendi-sendi kehidupan. Aktivitas yang semula normal harus dipaksa dipukul mundur menjadi new normal. Kehidupan baru memang sebuah keniscayaan yang kini masih kita rasakan. Entah sampai kapan semua musibah ini berakhir yang jelas dalam terma positif seseorang akan berfikir bahwa di balik musibah pasti terselip hikmah.
Dampak paling dirasakan dengan adanya pendemi ini adalah di sektor ekonomi di antaranya pada 4 sektor yaitu perdagangan, pariwisata, manufaktur dan pertanian. Sektor dagang dan pariwisata lah yang sangat kentara di mana biasanya para karyawan atau buruh bisa mendapat pesangon yang layak kini justru malah sebaliknya. Para buruh merasakan pahitnya kehidupan ketika mereka menerima kenyataan bahwa status sebagai karyawan telah habis. Dari sanalah keadaan ekonomi memburuk sehingga perubahan itu membuat sebagian orang shock berat. Pemutusan hubungan kerja atau PHK menjadi realitas yang diterima pekerja, sebab dengan kondisi ini banyak perusahaan yang pailit dan gulung tikar. Hal itulah yang mendasari para pengusaha memberhentikan beberapa karyawan. Alasanya sederhana yaitu karena permintaan produksi menurun, harga bahan baku mahal dan pastinya kesulitan membayar gaji karyawan.
Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) hingga Juli 2020 ada sekitar 3,5 juta jiwa pekerja yang terkena imbas Covid-19 baik di PHK maupun dirumahkan (Kompas, Ade Miranti Karunia). Data tersebut tentu bisa saja terus bertambah sebab keadaan saat ini belum benar-benar pulih. Hal itu terbukti dengan makin bertambahnya angka positif Covid-19. Di sinilah kita melihat secara materil, psikologis, dan sosial betapa sulitnya hidup terutama bagi mereka yang menjadi korban PHK.
Alasan untuk bangun kembali dari keterpurukan adalah motivasi tersendiri bagi para pekerja. Mereka mencari cara agar terus bertahan walaupun di kondisi yang serba sulit. Di sinilah mereka berperan dengan melihat tantangan dan peluang.
Pembahasan
Kondisi pasca PHK pasti amat terasa berat bagi para korban. Memulai kehidupan baru dengan menerima rasa traumatik akibat kenyataan pahit tersebut. Sehingga di beberapa kasus para korban PHK merasa gugat pada dirinya, menyalahkan nasib, frustasi, hingga depresi. Keadaan pasca PHK tentu sangatlah psikologis karena mereka diposisi yang tidak menguntungkan bagi personal maupun keluarga untuk mengaktualisasikan dirinya.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) tentu berbeda dengan masa pensiun. Apalagi PHK sepihak dengan tidak mempertimbangkan keadaan merupakan guncangan tersendiri bagi pekerja. Hal itu merupakan kesalahan secara prosedural dan juga etika hukum dalam sistem kerja. Berbeda lagi dengan pengertian PHK di luar konteks pensiun yang dijelaskan Flippo (1981) yaitu Layoff kondisi di mana seseorang dipurnatugaskan, Out placement kondisi di mana perusahaan ingin mengurangi jumlah karyawan, dan Discharge ialah PHK karena kurangcakapnya skill pekerja tersebut. (Flippo, E.B., (terj) 1984:6).
Dalam kondisi apapun PHK tetaplah berdampak terutama pada sisi psikologis individu. Ia membawa kecemasan karena pikiran terganggu bahkan berefek pada pola makan dan tidur. Sehingga individu tersebut mengalami ketidakstabilan emosi terutama dalam bertindak menentukan sikap dan pilihan ke depan. Tentu harapan ke depanya para korban PHK tersebut minimal bisa membawa diri sendiri untuk keluar dari masalah dan menerima keadaan tanpa harus berbuat negatif. Di sinilah urgensi untuk memunculkan stimulus positif agar dapat menciptakan kondisi ternyaman bagi individu. Jadi harus ada suatu cara untuk menyalurkan emosi dalam diri sebelum ia menjadi kontradiktif terhadap perkembangan psikososialnya.
Katarsis Sebagai Solusi
Katarsis dikenal dari bahasa Yunani yaitu "kathoros" yang berarti untuk menyucikan atau membersihkan. Sebuah momen atau cara di mana orang mampu melepas rasa sakit di masa lalu maupun yang baru saja terjadi. Teori katarsis pertama kali diperkenalkan pada kisaran awal tahun 1960 dalam tulisan “The Stimulating Versus Cathartic Effect Of a Vicarious Aggressive Activity” yang dipublikasikan melalui Journal Of Abnormal Social Psychology. Konsep tersebut diketahui berdiri berdasarkan teori psikoanalisa Sigmund Freud. (Sri Wahyuningsih, 2017:2).
Dalam ilmu psikologi katarsis dikenal dalam proses konseling Freud. Menurut Freud rasa emosi, gelisah dan putus asa pada titik tertentu perlu disalurkan supaya tidak meledak dan menghancurkan diri sendiri. Penyaluran emosi tersebut tidak harus disalurkan secara nyata dengan kata-kata namun dapat dilakukan dengan proses katarsis salah satunya dengan berkarya seni. Pelepasan emosi yang terpendam berperan penting bagi orang yang dalam masalah emosional.( Singgih D.Gunars,1992:106)
Kita tahu seseorang yang kesulitan dalam me-manage emosi terutama emosi negatif maka akan cenderung pula terkena beban mental atau masalah destruktif. Hal inilah yang perlu diwaspadai karena emosi manusia cenderung fluktuatif. Permasalahan diri dan emosi lebih sering dikaitkan dengan perasaan. Sehingga perasaan yang mudah naik turun dan bermacam-macam itu diharapkan dapat dikelola dengan baik, meminjam istilah Daniel Goleman dengan Emotional Intelligence.
Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Daniel Goleman mengungkapkan bahwa kecerdasan emosi bukan berarti memberikan kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa melainkan mengelola perasaan sedemikian rupa sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif.
Salah satu metode penyaluran emosi tersebut agar tepat dan efektif ialah melalui katarsis yaitu membuat ruang apresiasi terhadap mental (mood) dengan karya seni rupa baik dengan media kanvas, kertas atau media lainya. Seni rupa tersebut selain membuat pikiran fresh ia juga bahkan mampu mengelola trauma katarsis menjadi sebuah karya seni. (Ernawati, 2019:14).
Selain dengan berkarya seni cara menulis juga bisa membuat kondisi cemas itu dapat terkelola dengan baik. Saat seseorang berkonfrontasi dengan sebuah masalah atau menghadapi suatu tekanan ia dapat menyalurkanya lewat tulisan. Setidaknya dengan hal itu kondisinya bisa membaik. Secara jelas Pennebaker dan Beall (dalam
Baikie & Wilhelm, 2005) menyatakan bahwa
menulis tentang pengalaman traumatis berhubungan dengan peningkatan efek psikologis yang positif dan dalam jangka
panjang dapat menurunkan masalah-masalah kesehatan.(Qonitatin dkk, 2011:36).
Ada juga cara katarsis lainya yaitu tentu kita tahu tentang efektivitas musik sebagai metoda terapi. Selama ini terapi musik banyak digunakan untuk mengatasi berbagai permasalahan seperti untuk menurunkan stres (Rosanty, 2014), terapi musik untuk
menurunkan kecemasan pada pasien yang akan menjalani pengobatan (Savitri, Fidayanti, & Subiyanto, 2016). Musik juga digunakan sebagai media untuk meningkatkan well-being (Weinberg & Joseph, 2017), dan sebagai media intervensi untuk pengembangan kemampuan anak autis. (Alma Marika, 2017:4)
Sebenarnya masih banyak lagi upaya katarsis lainya selain yang telah disebutkan seperti menyanyi, membatik, menganyam, travelling, berolahraga dan lain sebagainya. Jangan lupa pula peran doa dan memperbanyak dzikir merupakan salah satu metode efektif dalam Islam. Karena dengan dzikir atau mengingat Tuhan hati seseorang akan tenang (Ar Rad:28). Termasuk membaca al Qur'an sebagai obat (syifa) (Al Isra:82). Harapan besarnya metode katarsis tersebut bisa membawa dampak bagi perkembangan emosi, psikologi serta peran sosial meraka yang terkena PHK untuk tetap bangkit dan memperbaiki diri. Minimal berdamai dengan keadaan dengan tidak menyalahkan diri sendiri atau justru mampu mengelola emosinya untuk terus termotivasi mengeluarkan energi positif. Jangan sampai gangguan kecemasan pasca PHK menguasai diri sendiri.
Kesimpulan
Keadaan pasca PHK memang sangat menyakitkan hal itu tidak hanya berdampak pada ekonomi tapi menjalar ke psikis dan sosial. Para korban PHK tersebut dipaksa untuk keluar darimasalah secara cepat dan tepat minimal mereka mampu membawa diri yang rapuh itu dalam kondisi tenang.
Metode terapi katarsis adalah salah satu solusi untuk membawa korban memunculkan ide kreatifnya. Mereka diajak untuk tetap berdamai dengan keadaan dan tidak menyalahkan diri. Metode katarsis tersebut menjadi alternatif sebagai sebuah helaing agar seseorang mampu mengelola emosinya dengan bertindak positif. Cara terapi katarsis tersebut di antaranya seperti melukis, menulis, menganyam, bernyanyi, mendengarkan musik, bersepeda, dzikir, baca Qur'an hingga menulis. Output dari metode tersebut diharapkan selain mampu mengelola emosi ia juga bisa berpikir positif dan mampu menstimulus untuk membuat produk yang bernilai ekonomi.
Daftar Pustaka
Al Qur'an (terj) Depag. CV Diponegoro: Bandung. 2010.
Marika, Alma LP UGM. Terapi Musik: Bebas Budaya atau Terikat Budaya Buletin Psikologi vol 25, No. 1 2017.
Ernawati, Jurnal Art and Desain, vol.II, No.2 Desember 2019 UM Hasyim Latif
Flippo, E.B., (terj) 1984. Personnel management. 5th edition. Sydney: McGraw-Hill International Book Company.
Freud, Sigmund. (Terj. Yuli Winarno). Kenangan Masa Kecil Leonardo da Vinci. Jogjakarta: Jendela. 2002.
Goleman, Daniel. 1995. Emotional Intelligence.New York: Bantam
Kompas diakses 22 Oktober 2020 pukul 10:30
Novi Qonitatin dkk, Pengaruh Katarsis Dalam Menulis Ekspresif Sebagai Intervensi Depresi Ringan Pada Mahasiswa. Jurnal Psikologi Undip, FPUndip, vol IX No.1, April 2011.
Sri Wahyuningsih “Teori Katarsis dan Perubahan Sosial” Jurnal Komunikasi Vol XI No. 01, Maret 2017.
the woks institute l 1/11/20
Tulisan yang bagus. Solusi bagi pekerja yang kena PHK
BalasHapusMatursuwun Bu, Mus
BalasHapus