Langsung ke konten utama

Tentang Cinta dan Kehilangan

                      (Foto: doc penulis)

Woks

Kemarin saya menyempatkan ta'ziyah ke salah satu siswa yang keluarganya baru saja meninggal. Dengan diantar mobil sekolah kami pun berangkat menuju ke lokasi. Walaupun telat setidaknya kami bisa ke sana untuk sekadar bersilaturahmi, memanjatkan doa dan menghibur anak yang ditinggalkan itu.

Alangkah terkejutnya saya ketika mendengar bahwa keluarganya tersebut meninggal dengan jarak waktu yang berdekatan. Menurut cerita dari wali kelas hari pertama sekitar pukul 06:00 pagi Mbah Buyutnya yang meninggal. Setelah itu sekitar pukul 02:00 dinihari giliran Mbah Putri yang menyusul, lalu keesokan harinya sekitar pukul 04:00 pagi waktu shubuh disusul oleh Mbah Kakungnya. Sungguh waktu singkat telah memisahkan 3 orang sekaligus di rumah itu.

Jika ditanya apa faktornya? wallahu alam, kita tidak tahu. Yang kita tahu hanya beliau-beliau itu memang sudah udzur, sepuh. Bahkan Mbah Putri sudah lama mengidap diabetes + ginjal dan harus cuci darah setiap dua minggu, begitu pula dengan Mbah  Kung nya yang sudah lama menginfuskan diri di rumah karena sudah tak mau makan. Semua memang tidak bisa ditebak, bisa juga karena tekanan mental di usia senja mereka masih terus berjuang dengan rasa sakit dan ditambah dengan kabar kehilangan Mbah Buyut.

Apalagi saat ini di tengah pandemi pastinya banyak tetangga yang menaruh curiga. Dengan rentetan kasus meninggal secara berurutan itu mereka menganggap ini berkaitan dengan Covid-19. Akan tetapi pihak keluarga memastikan bahwa mereka dinyatakan negatif oleh dokter. Hal itu dibuktikan dengan adanya surat cek hasil Lab bahwa mereka aman dari Covid-19. Sehingga tak usah risau dengan keadaan itu. Pandemi ini memang masih mengaburkan semuanya termasuk membawa pilu dari salah satu keluarga tersebut yang tidak bisa pulang dari Jakarta. Sedangkan penghuni rumah tinggal menyisakan sang cucu dan anak perempuannya (ibu dari siswa) tersebut.

Keadaan tersebut tentu memukul perasaan. Siapa juga yang mampu ditinggalkan orang tersayang dalam tempo yang singkat. Untuk kehilangan satu orang pun kita begitu rapuh apalagi tiga orang sekaligus. Lantas saya berfikir jika hal itu terjadi pada saya bagaimana? apakah saya mampu melewati semua itu. Kekuatan dalam menerima ujian, cobaan dan selalu sabar ikhlas adalah kuncinya. Sebab tanpa hal itu kita hanya akan menyisakan luka sendiri. Kita akan terus berkubang dalam penyesalan, meratapi, dan menyalahkan diri sendiri. Hal itulah yang selalu dikhawatirkan saat kita beradu dengan perasaan di momen kehilangan.

Saya sadar betul ketika di sana sang Ibu masih belum bisa diajak komunikasi. Beliau masih terisak tangis tersedu-sedu menerima kenyataan pahit itu. Sebenarnya perasaan ikhlas pasti sudah ada namun karena pandemi stigma masyarakat yang sulit diterima. Maka dari itu meninggal saat musim pandemi memiliki bobot ekstra terutama di mata masyarakat. Anehnya masyarakat tidak segera sadar bahwa semua itu kehendak Allah swt dan bukan kemauan kita.

Kematian sampai hari ini dan nanti pasti akan terus membawa misteri. Sejak dulu kala baik al Qur'an maupun hadits sudah menjelaskan bahwa kematian tak mengenal apapun, status sosial, usia, strata ekonomi, bentuk tubuh, sakit sehat, atau apapun itu jika sudah tiba waktunya maka ia bersiap saja. Hidup ini memang hanya sekadar menunggu giliran atau dalam bahasa Ahmad Tohari kita sedang menunggu kekalahan. Sehingga bila saatnya tiba kematian tidak bisa dinego, semua sudah ditakdirkan oleh kekuasaan Nya. Perihal kematian itulah seperti tertera dalam al Qur'an di antaranya, Surah Ali Imron 102, 145, 185, Al Anam 61, Al Ahzab 16, Al Mu'minun 99, An Nahl 61, Al Waqiah 60, Al Jumuah 8, dan banyak lagi ayat lainya.

Maka dari itu Nabi SAW bersabda bahwa kategori orang cerdas itu adalah ketika sadar bahwa esok akan mati. “Mereka yang banyak mengingat kematian, dan mereka yang banyak mempersiapkan bekal untuknya, itulah manusia yang paling cerdik, mereka pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan keutamaan akhirat”. (HR. ath Thabrany dan dihasankan oleh Imam al Mundziry).

the woks institute l 2.10.20

Komentar

  1. Misteri kematian yang menuntut kesiapan setiap insan. Terima kasih Mas Woko.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Bukber PKBM Pilar Papat Panggungrejo

Woko Utoro Dua hari sebelum hari raya saya diundang oleh Pak Toni yang tak lain merupakan founder PKBM Pilar Papat Panggungrejo. Kami kenal begitu singkat yaitu saat beliau narik ojek online Maxim. Ya, Pak Toni adalah driver Maxim sekaligus teman baru saya yang bertemu ketika mengantar teman sepulang dari rumah sakit. Singkat kisah Pak Toni bercerita seputar kegiatan pengelolaan pendidikan khusus anak berkebutuhan. Hingga akhirnya pertemuan kami berlanjut di warung kopi depan Bravo. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga akhirnya sampai di tanggal 8 April saya diajak untuk hadir dalam acara metri atau launching PKBM Pilar Papat. PKBM Pilar Papat merupakan pusat kegiatan belajar menyenangkan yang didirikan Pak Toni bersama beberapa kawannya. PKBM Pilar Papat terletak di Desa Panggungrejo arah Karangduren menuju SMA 1 Tulungagung. Atau selatannya PP Al Istighotsah Panggungrejo. Menurut Pak Toni PKBM Pilar Papat tersebut didirikan atas kesadaran bahwa ada anak-anak yang butuh perhatian khusus.

Catatan Srawung Buku Anak Merdeka di Warkop Ngaji Ngopi

Woko Utoro Saya sangat senang ketika bergabung dalam acara Srawung Buku. Kebetulan saya bertindak sebagai penanggap buku. Sebuah tugas yang tentunya kali pertama ini saya kerjakan. Sebelumnya saya hanya sebagai moderator ataupun narasumber. Tapi ini menjadi pembelajaran buat saya kedepannya. Agar selalu siap dalam berbagai posisi.  Mba Fafa sebagai founder Komunitas Belajar Melati Sinebar sekaligus moderator acara Srawung Buku mengajak saya bersama narasumber lainnya dalam diskusi. Di antaranya penanggap buku pertama yaitu Mba Deni (Founder Komunitas Aku Bisa Menulis (ABM) dan tentunya penulis buku Anak Merdeka Mas Narno dan Mba Ulya.  Malam itu di warung Ngaji Ngopi kami pun berdiskusi begitu gayeng. Sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya kami bicara seputar buku Anak Merdeka. Buku yang ditulis terutama ketika masa pandemi. Buku yang dalam hemat saya menarik dan perlu terus dikembangkan.  Buku Anak Merdeka berisi catatan pengasuhan anak yang memerdekakan. Pengasuhan