Langsung ke konten utama

Merawat Pikiran dengan Temu Penulis


Woks

Alhamdulillah dengan penuh kesyukuran Saya bisa mengikuti zoomeeting bersama beberapa Sahabat Pena Kita (SPK) semalam. Pak Ngainun Naim selaku fasilitator sekaligus pembina SPK Cabang Tulungagung saat dibukanya acara langsung memberikan kesempatan kepada saya untuk menyampaikan gagasan sekaligus keluh kesahnya seputar dunia tulisan dan perkembangan grup menulis ke depannya. Saya pun langsung memanfaatkan momen tersebut, padahal sebelumnya tidak ada persiapan apapun untuk disampaikan. Bahkan sesekali juga yang selalu dipikirkan adalah batrai dan paket internet yang hampir habis.

Acara temu penulis yang tanpa jadwal alias sedikit dadakan tersebut menjadi menarik dilakukan terutama di tengah pandemi seperti saat ini. Tentu pertemuan terbatas itu setidaknya bertujuan untuk merefresh kembali semangat menghidupi dunia tulis melalui grup, termasuk juga memberi arah gerak, motivasi, dan menstabilkan mood menulis yang cenderung fluktuatif. Maka dari itu pertemuan seperti ini sangat penting sebagai merawat hubungan silaturahmi dan merawat pikiran.

Sebuah pepatah lawas sering kita tahu bahwa orang yang mencintai akan cenderung dikumpulkan dengan yang dicintainya istilah sabda Nabi المَرْØ¡ُ Ù…َعَ Ù…َÙ†ْ Ø£َØ­َبَّ. Walaupun dalam konteks yang berbeda, akan tetapi pernyataan tersebut benar adanya. Kita ambil contoh orang yang suka ngopi akan dikumpulkan dengan sesama pecinta kopi, pecinta sholawat dengan sesama pecinta sholawat, begitu juga dengan pecinta literasi ia akan dikumpulkan dengan sesama orang yang mencintai literasi. Maka dari itu kuncinya adalah cinta, tanpa cinta pertemuan tatap muka pun akan terasa hampa.

Temu penulis sangat penting dilakukan karena kita perlu orang lain untuk memberi pandangan. Tidak mungkin kita hanya hidup sendiri, menulis dan melulu menulis. Kita sesungguhnya butuh ruang. Pertemuan itulah adalah ruang di mana kita mengisinya dengan berbagai hal seperti diskusi bertukar pikiran. Sebagai manusia biasa sifat dasar bosan dan rutinitas yang monoton lebih sering muncul. Maka dari itu pertemuan barangkali salah satu obatnya. Ibarat para budak senja berkata "seperti padang pasir yang merindukan hujan, lalu dipeluk erat saat rintiknya tiba". Begitulah kiranya permasalahan psikologis penulis yang jika diamati tidak jauh berbeda dengan orang luar yang bergelut di bidang yang sama.

Semoga saja jika tanpa halangan pertemuan asalah sebuah keharusan. Sebab dari pertemuan kita bisa menyapa, menyimak dan menyerap pembahasannya. Ia menjadi salah satu inspirasi yang dapat dijadikan sebagai bahan kita menulis dan terus memperbaiki diri. Jika pun menulis bisa dilakukan sendiri toh tentunya ia tak akan berwarna. Ibarat pelangi dengan satu warna apa bisa disebut pelangi? di mana letak keindahanya. Mari terus menulis, ia adalah salah satu cara agar kita tetap sehat dan tentunya menyelipkan kebahagiaan. Dengan menulis kita terus meremajakan kulit untuk terus awet muda begitu pesan Fatima Mernissi. Mari terus diskusi merawat akal sehat.

the woks institute l 13.10.20




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde