Langsung ke konten utama

Rasulullah SAW Engkaulah Rinduku


Woks

Seribu tahun lalu nama engkau bersinar antara masyriq dan maghrib
Dunia yang gelap tetiba terang benderang
Langit pun tak kuasa membendung bahagia
Awan-awan pun berjingkrak menurunkan hujan
Ya Rasulullah namamu harum semerbak mewangi
Namamu sejuk meneduhkan di tengah gersangnya tanah gurun
Engkaulah rindu duhai Muhammad ku

Semakin lama tak bertemu
Umatmu justru merindu
Semakin jauh tak berjumpa
Umatmu justru semakin cinta
Engkaulah rinduku duhai Nabi ku

Rasa rindu itu selalu menyeruak kepermukaan
Sekalipun telah tertimbun dalam tanah
Ia terbang bersama angan yang terbawa angin
Ia semerbak bersama putik sari kembang kerinduan
Sudah ku katakan Engkau rinduku duhai rasulku

Kerinduan itu menitis lewat sabdamu
Menjelma menjadi syair yang tersyiar lewat kalam kekasihmu
Akhlak agungmu tersebar lewat sunnahmu
Berlayar lewat sampan sahabat mu bermuara memeluk qolbu
Bolehkah aku merindu mu
Sholawat salam hanya untukmu wahai Muhammad ku

Sang Nabi Pujaan


Ya Rasulullah bulan lahirmu telah tiba
Bulan di mana semua harinya bergembira

Aku melihat kembang api memancar ke langit menyiarkan namamu yang agung
Aku mendengar lantunan syair berpadu hadrah menggema di mana-mana
Mereka bergembira
Mereka melupakan lara
/./

Ya Rasulullah tanggal lahirmu telah tiba
Hari di mana setiap detiknya bermakna

Aku merasakan angin-angin bertiup menghembuskan petuah sejukmu
Aku pun mendengar kicau burung berdzikir mendendangkan maulidmu
Aku juga melihat rumput-rumput menari melukiskan namamu dengan namaNya
/./

Ya Rasulullah apa pula yang dapat kubuat
Selain bershalawat ke atas mu

Mengajak ke seluruh ummatmu berakhlak sepertimu
Menebar benih kedamaian
Membakar segala macam kebencian
Sungguh hanya petunjukmu menumbuhkan segalanya
/./

Ya Rasulullah jika hari telah di ujung
Jika hari sampai dipenghabisan

Kepada siapa aku mengadu
Dengan apa aku bertahan
Siapa pula yang akan ku simpuhkan wajahku
Selain kepadamu sang pemilik telaga

Jika tak punya rasa malu aku akan terus memohon syafatmu
Memohon kepada Allah agar semua umatmu berteduh di bahwa payung teduhmu
Wahai Nabi Pujaan dengarlah derap do'a rinduku

Mati Bersamamu

Di bawah Kubah al Khadra kau bersemayam
Meninggalkan segala kesejukan
Menebar kedamaian
Mengikis segala kebencian

Di tanah Arab kau lahir di sana pula kau mati
Menyimpan segala perjuangan
Menyimpan segala asa
Menumbuhkan bermacam rindu

Jika aku mati nanti ingin sekali mati bersamamu
Agar jasadku ikut mulia karena kemuliaanmu
Agar jasadku tak dimakan api neraka






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde